Senin, Desember 2, 2024

Menghentikan Kebencian Berpolitik

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM
- Advertisement -

Partai Setan dan Partai Tuhan. Inilah istilah yang sekarang paling keras dilontarkaan ke publik oleh Amien Rais, sehingga memanaskan suhu politik Nasional. Elit politik tampaknya tidak ingin kehilangan momentum untuk mendongkrak popularitas. Pelbagai manuver dilakukan di sana-sini.

Menaikkan popularitas di mata publik tentu tidak bisa dilarang oleh siapapun. Bahkan kongkalikong dengan siapapun juga tidak bisa dilarang oleh siapa pun. Hanya saja kadang terdapat manuver yang berbuah manis, terkadang menohok dirinya sendiri. Suhu Politik nasional mendekati Pileg dan Pilpres 2019 semakin panas.

Manuver politik kadang membuat gaduh suhu politik. Bisa saja ini yang diharapkan oleh sang pembuat manuver sebagai “terapi kejut” apakah yang dilakukan itu mengagetkan ataukah biasa saja respons public. Jika publik terkejut itulah keberhasilannya. Jika publik diam maka gagal terapi kejut yang dilakukan. Hanya sayang “terapi kejut” yang dilakukan kadang juga menggunakan kata atau kalimat yang mengandung makna negatif bahkan mengarah pada kebencian kepada kelompok lain. Inilah yang mestinya tidak perlu dilakukan.

Penggunaan kata-kata kasar (vulgar) untuk lawan politik dengan semangat kebencian harus dihentikan. Istilah Partai setan dan partai Tuhan misalnya, sesuatu yang tidak perlu dilakukan! Pileg dan Pilpres adalah mekanisme politik yang paling mutakhir di dunia kontemporer. Penggunaan kata-kata kasar, vulgar dengan semangat kebencian bukan memperbaiki situasi politik demokratis, tetapi “membunuh demokrasi itu sendiri”. Inilah sebenarnya pecundang demokrasi tetapi mendaku sebagai kampiun demokrasi Indonesia.

Menjelang Pilkada 2018 ini semangat kebencian, permusuhan serta dendam kesumat sudah semestinya dihentikan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus berani bertindak tegas pada pasangan calon Kepala Daerah. Jika mereka dan tim sukses melakukan penghakiman, persebaran permusuhan, kebencian serta fitnah politik melalui akun mendia sosial bahkan kampanye terbuka.

Kampanye terbuka seringkali dilakukan di hadapan para pendukung di lapangan, di tempat-rumah ibadah dengan model indoktrinasi yang tak terbantahkan karena tidak ada diskusi. Di dalam tempat-rumah ibadah yang melakukan agitasi, indoktrinasi kebencian, serta permusuhan harus dihentikan. Jika Bawaslu dan para pemantau kampanye menemukan segera diproses secara hukum siapapun pelakunya.

Pelaku indoktrinasi kebencian, permusuhan dan agitasi seringkali dilakukan oleh pimpinan partai lawan. Bahkan yang paling menyedihkan adalah agitasi kebencian dan permusuhan dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai ahli, tokoh serta panutan organisasi keagamaan. Oleh sebab dilakukan pemimpin organisasi keagamaan dan dianggap ahli agama, maka yang hadir sebagai simpatisan dengan bangga mengakuinya sebagai kebenaran mutlak.

Perilaku kebencian dan permusuhan semacam itu harus dihentikan oleh panitia penyelenggara Pemilu (Pilkada). Tahun politik ini harus lebih bermartabat-bermarwah. Kita sekarang ini telah dengan mudah mendapatkan akun-akun bersifat mengagitasi warga Negara dengan penuh kebencian, permusuhan dan fitnah murahan palsu alias hoax. Semua ini harus segera dihentikan!

Jika tidak dihentikan dengan tegas akan merembet. Pengehentiannya, dengan cara memberikan hukuman yang keras. Jika tidak dihentikan, maka akan munculnya kampanye kebencian melalui media sosial, kampanye terbuka di tempat-tempat ibadah akan terus berjalan, karena dikemas dalam rangkaian ritual keagamaan. Hal ini sungguh mengerikan. Sakralitas berobah menjadi profanitas mutlak, angkaran murka.

Pemerintah, dalam hal ini Kominfo, aparat keamanan (polisi), Bawaslu, tidak bisa bekerja sendiri untuk menghentikan perilaku agitasi kebencian, permusuhan serta fitnah murahan. Pemerintah harus dibantu oleh warga masyarakat yang menghendaki terjadinya proses politik lebih baik di Indonesia. Proses politik melalui Pilkada harus berjalan dengan elegant. Politik harus bermartabat. Hentikan berpolitik model Durno dan Sengkuni, si Tukang adu domba dan penyebar fitnah kebencian!

- Advertisement -

Politik Pilkada harus dikerjakan yang mengutamakan moral dan etika politik bukan moralitas kebencian dan permusuhan karena berbeda pilihan calon kepala daerah. Apalagi sekedar berbeda partai politik. Fatsoen politik adalah sebuah keadaban demokrasi yang sesuai dengan etika politik Pancasila dan tentu saja etika agama-agama. Kita tidak perlu mencontoh perilaku politik yang tidak sesuai dengan etika politik Negara sendiri.

Politik murahan dengan menyebarkan pemberitaan bohong, agitasi kebencian serta permusuhan harus segera dihentikan demi menuju proses politik yang bermartabat. Kita berpolitik bukan berpolitik seperti zaman antah berantah. berpolitik era Ken Arok dan Tunggul Ametung harus dihentikan.

Siapa yang kuat itulah yang menang tidak bermartabat! Berpolitik adalah persaingan memang demikian. Namun, berpolitik yang bermartabat merupakan proses politik yang sejatinya mengangkat derajat serta martabat para politisi.

Sementara melakukan agitasi kebencian, permusuhan serta penyebaran fitnah merupakan cerminan moralitas politkus yang tuna moral-etika. Politik tuna etika rela melakukan segala cara keburukan, kebencian, dan permusuhan dilakukan demi meraih kemenangan politik.

Gejala semacam ini telah terjadi pada Pemilihan Presiden tahun 2014 dan Pilkada tahun 2017. Tidak boleh terulang agar bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat secara politik bukan hanya dihadapan publik dunia tetapi sekaligus dihadapan Tuhan sang khalik.

Akankah kita berpolitik tetapi meninggalkan etika berpolitik karena lebih memilih berpolitik dengan penuh kebencian pada lawan-lawan politik? Jika pilihannya adalah yang kedua, yakni menebarkan kebencian politik pada lawan-lawan politik kita maka disinilah sejatinya kita sedang menggali kubur demokrasi di Indonesia yang telah disemaikan sejak tahun 1998 pasca orde otoritarian.

Seharusnya kita meninggalkan berpolitik dengan kebencian menuju berpolitik yang beretika-bermoral sehingga berpolitik itu bermartabat.

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.