Dalam Negara Demokrasi seperti Republik Indonesia, setiap golongan seharusnya mendapatkan tempat. Tetapi sejak 1965, golongan yang bervisi komunisme tidak mendapatkan tempat. Eks anggota Partai Komunis Indonesia, PKI, yang partainya dibubarkan setelah kemelut peristiwa G 30 S terus diawasi hingga ke liang kubur dengan dana Negara atas perintah TAP MPRS No 25 tahun 1966.
Begitu Orde Baru jatuh, pemerintahan transisi BJ Habibie di tengah arus reformasi dan tuntutan demokratisasi justru semakin mempertegas dilarangnya Partai Komunis Indonesia dan ajaran-ajarannya dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara yaitu Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I Buku 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d, Pasal 107 e, dan Pasal 107 f.
Pada pasal 107a misalnya berbunyi: Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Setelah Orde Baru jatuh, dengan jelas MPR hasil reformasi masih berketetapan untuk mempertahankan TAP MPRS No 25 tahun 1966: dengan demikian masih meneruskan politik menghapus golongan komunis dari percaturan politik Republik. Ketetapan ulang ini bisa dilihat pada ketetapan MPR RI No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 Pasal 2 dengan “catatan”: kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Tampaknya politik menghapus golongan di masa reformasi ini seperti jargon politik yang sering kita dengar yaitu “potong satu generasi”. Ketika Gus Dur berkuasa, litsus untuk menghalangi orang-orang yang bervisi komunisme dengan metode biologis dicabut. Akibatnya keturunan eks anggota PKI pun berkesempatan untuk maju mengisi jabatan-jabatan kenegaraan. Sementara itu sambil tetap mengukuhkan TAP MPRS no 25 tahun 1966, pelan-pelan pemerintah membiarkan generasi PKI yang dianggap paham Marxisme-Leninisme yang sudah tua-tua itu menuju liang kubur dengan damai.
Hari-hari ini mereka bisa ditemani dengan pengobatan gratis sebagai bagian dari program LPSK dan berbagai program kemanusiaan. Program yang manusiawi ini menunjukkan pada dunia bahwa menghapus golongan dengan memenjarakan tanpa pengadilan dan bahkan tanpa tanggung-jawab sebagaimana yang ditunjukkan oleh Orde Baru adalah salah dan harus dikoreksi. Tetapi dengan jelas bahwa program kemanusiaan yang terbatas ini pun seringkali diganggu dengan berbagai peringatan yang disertai intimidasi dengan kekerasan. Peringatannya jelas yaitu bahaya akan kebangkitan politik Partai Komunis Indonesia.
Ini adalah ancaman politik dan tentu saja bukan soal PKI bangkit atau tidak tetapi lebih kepada menutup ruang kembalinya politik kelas yang dapat mewakili aspirasi kaum tani dan kaum buruh di Indonesia. Tindakan politik mengancam dan mengingatkan bahaya kembalinya politik kelas ini mendapatkan perlindungan hukum dari TAP MPRS no 25 tahun 1966 dan penetapan ulangnya oleh TAP MPR RI No I tahun 2003 tersebut.
Walau sebagian warga Republik menganggap bahwa saat ini Demokrasi Indonesia sudah bebas, bahkan cenderung liberal, dan Presiden Jokowi menganggap kebablasan, demokrasi Indonesia dari sudut kemanusiaan universal atau Hak Asasi Manusia sedunia masihlah terbatas. Kemanusiaan Indonesia yang berkembang saat ini dikendalikan oleh selera manusia tertentu. Dari sudut kelas atau yang berpijak pada filsafat Marxisme, tentu akan menuduh selera borjuislah yang berkembang sebab aliran inilah yang paling banyak diadili berdasarkan TAP MPRS no 25 tahun 1966 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara. Padahal Marxisme sebagaimana ajaran yang lain secara saintifik tentu akan berkembang dan berubah mengikuti penemuan-penemuan materi baru di bidang ilmu pengetahuan.
Dengan begitu bisakah politik menghapus golongan komunis ini efektif seperti “blue print” yang saat ini berjalan yaitu potong satu generasi itu karena model tumpas kelornya Orde Baru pun ternyata tidak efektif di samping mengganggu dan menyinggung kemanusiaan universal; bahkan menyinggung Kemanusiaan Indonesia yang merdeka yang seharusnya lepas dari berbagai ketakutan-ketakutan?
Membela hak hidup secara demokratik golongan yang selama ini terlarang untuk tampil legal adalah juga bagian dari menjadi manusia seutuhnya yang telah “dibolehkan” memakan buah pengetahuan baik dan jahat dengan segala konsekuensinya itu. Karena itu politik menghapus tampilnya golongan komunis secara legal di panggung Republik Indonesia yang terus dipertahankan sejak TAP MPRS no 25 tahun 1966 hingga hari ini sejatinya adalah menghapus sebagian dari kemanusiaan kita sendiri. Dan kita tidak pernah tahu, sampai di manakah kemanusiaan Indonesia yang telah diantarkan para pejuang pergerakan kemerdekaan ke depan pintu gerbang kemerdekaan ini kecuali ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh golongan yang oleh sejarah menjadi bagian dari para pengantar kemerdekaan itu sendiri!
Ketakutan-ketakutan inipun semakin jelas ketika Presiden Jokowi mulai berbicara di luar hukum dalam soal menyikapi isu kebangkitan komunis dengan menggunakan kata gebuk.
“Banyak yang menyampaikan kepada saya, ada kebangkitan komunis dan PKI di Indonesia. Saya ingin bertanya, di mana? Tunjukan kepada saya lokasinya di mana?” ujar Jokowi dalam silaturahim di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (10/6/2017).
“Kalau memang ada betul, ya tunjukan ke pemerintah. Detik itu juga akan saya gebuk,” lanjut dia. (http://nasional.kompas.com/read/2017/06/10/11104321/jokowi.sebut.gebuk.komunisme.santri.dan.ulama.tepuk.tangan)
Mengapa ya Presiden RI Jokowi masih membaca TAP MPRS 25 Tahun 66 dengan nada lama seakan-akan tidak ada perubahan sebagai akibat dari gerakan reformasi 1998. Padahal jelas TAP MPR RI hasil reformasi walaupun menetapkan kembali TAP MPRS 25 tahun1966 telah memberikan catatan-catatan bagaimana Tap itu dilaksanakan. Dengan jelas: TAP MPRS No 25 tahun 1966 ditetapkan ulang pada ketetapan MPR RI No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 Pasal 2 dengan “catatan”: kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
***
Biodata Penulis:
Nama Lengkap : Antun Joko Susmana
Disingkat : AJ Susmana
Tempat Tanggal lahir : Klaten, 20 November 1971
Tinggal : Jl Jati VI E 17/15 Pondok Rejeki , Pasar Kemis, Tangerang 15560
Email : ajsusmana@yahoo.com
Hp : 082124614776
Norek Bank: BCA 0306255961 a.n. Antun Joko Susmana
NIK: 3310122011710005
NPWP:35.219.661.2-525.000
Pendidikan Formal
1978 – 1984 SDN Keden I Pedan, Klaten, Jawa Tengah
1984-1987 SMP Kristen 7 Pedan Klaten
1987-1991 SMA Seminari Menengah Mertoyudan Magelang
1991-1998 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Aktivitas Yang pernah Diikuti
1. Pers Kampus Pijar Fakultas Filsafat sebagai staf redaksi
2. Teater di sekolah menengah dan Universitas
3. Menulis artikel Opini dan pernah dimuat di beberapa Media Nasional seperti Kompas dan Media Daerah seperti Solopos, Lampung Post dan Media Online seperti berdikarionline.com
4. Penerbitan Jaker- Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat
Buku-Buku Yang dihasilkan
1. Kota Ini Ada di Tubuhmu, Kumpulan Puisi, Terbitan Jaker tahun 2008
2. Perempuan Tangguh, Kumpulan Cerpen, Terbitan Jaker 2009
3. Mengobarkan Kembali Perang Kemerdekaan, Kumpulan Esai, Jaker 2009
4. Lelaki Bernama Karsa, Kumpulan Cerpen, Jaker 2011
5. Jaman Edan, Korupsi dan Persatuan, Kumpulan Esai, Jaker
6. Menyusuri Jalan Perubahan, Biografi dr Ribka Tjiptaning, Jaker