Sebelum Program Organisasi Penggerak (POP) diluncurkan, ada dua bentuk organisasi yang lebih dahulu dikenal dalam dunia pendidikan. Pertama, organisasi profesi seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan Federasi Guru Seluruh Indonesia (FGSI).
Ada juga organisasi profesi berbasis guru mata pelajaran seperti Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), tempat penulis bergabung di dalamnya, Asosiasi Guru Teknologi dan Informasi Indonesia (AGTIFINDO), dan lain-lain. Belakangan muncul organisasi profesi berbasis ormas, seperti Forum Guru Muhammadiyah (FGM) dan Persatuan Guru Nahdhatul Ulama (PERGUNU).
Kedua, organisasi binaan pemerintah yang dikenal dengan nama Kelompok Kerja Guru (KKG) di jenjang PAUD dan SD serta Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di jenjang SMP, SMA, dan SMK. Ada juga Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) untuk tingkat dasar dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) untuk tingkat menengah. Organisasi ini berbasis pada wilayah pemerintahan, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk jenjang PAUD/TK, SD, dan SMP dan Dinas Pendidikan Propinsi untuk jenjang SMA/SMK.
Ada perbedaan mendasar antara organisasi profesi dan binaan. Organisasi profesi berlatar belakang dorongan berserikat sebagai media perjuangan guru. Karenanya secara filosofis organisasi profesi lebih berorientasi pada advokasi profesi guru. Keanggotaan pada organisasi profesi bersifat sukarela.
Sebaran keanggotaan organisasi profesi tidak merata di setiap wilayah. Bahkan organisasi profesi berbasis mata pelajaran sekalipun. Misalnya guru PAI di kabupaten X, bisa jadi ada yang bergabung di AGPAII, ada juga yang aktif di PGRI, bisa juga ada yang menjadi anggota IGI ataupun FGSI. Demikian juga dalam satu satuan pendidikan, terdapat beragam keanggotaan organisasi profesi di dalamnya.
Sementara organisasi binaan berfungsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam proses sosialisasi dan penerapan kebijakan pendidikan. Ada garis instruktif dari institusi pemerintah penyelenggara pendidikan kepada organisasi binaan. Organisasi binaan biasanya diberdayakan dalam melaksanakan ataupun mendampingi program kegiatan yang bersumber dari APBN maupun APBD. Organisasi binaan juga biasa terlibat dalam proses seleksi guru inti serta keinstrukturan dan kepesertaan dalam kegiatan pelatihan guru, meskipun hanya sekedar memberi rekomendasi saja.
Karena itulah selama ini program hibah dari pemerintah disalurkan melalui organisasi binaan, bukan melalui organisasi profesi guru. Penyaluran dana bantuan melalui organisasi binaan akan mampu menyasar semua guru di suatu wilayah. Minimal ada keterwakilan di setiap wilayah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk program pengimbasan di wilayah terkecil.
Sejauh ini beberapa program hibah melalui organisasi binaan berjalan dengan baik. Bahkan tidak sedikit guru, melalui KKG dan MGMP, rela mengeluarkan biaya mandiri sebagai dana pendamping pada saat dana APBN/APBD tidak mencukupi.
Potensi kegaduhan POP
Dari berbagai informasi yang beredar, beberapa organisasi guru yang lolos program POP semuanya berbasis organisasi profesi. Ada PGRI (yang kemudian ikut mengundurkan diri), IGI, dan FGSI. Tidak ada satupun organisasi binaan yang lolos, atau mungkin memang tidak ada yang mendaftar.
Bisa jadi ini dikarenakan legalitas organisasi profesi yang lebih kuat. Organisasi binaan hanya berbekal Surat Keputusan (SK) dari organisasi pembina, yakni Dinas Pendidikan atau, dalam kasus guru PAI, Kementerian Agama. Sementara organisasi profesi memiliki legalitas hukum yang tercatat di Kementerian Hukum dan HAM.
Pengelolaan program berbasis organisasi profesi seperti konsep POP, atau bahkan melibatkan banyak organisasi non-pendidikan, berpotensi menyebabkan berbagai persoalan di lapangan.
Pertama, membuka ruang konflik antar organisasi profesi. Misalnya terpilih satu sekolah penggerak yang berada dalam program salah satu organisasi profesi. Sementara sebagian guru di sekolah tersebut berasal dari organisasi profesi yang berbeda, akan menimbulkan kesenjangan informasi yang berpotensi menimbulkan ruang konflik, seperti ketidaknyamanan komunikasi, miskoordinasi, dan lain sebagainya.
Kedua, keberadaan organisasi non-pendidikan atau organisasi yang belum memiliki pengalaman mengelola pendidikan akan kesulitan memahami persoalan teknis di lapangan. Ini bisa mengakibatkan adanya kesenjangan antara pelatihan dan implementasi hasil pelatihan di lapangan. Akibatnya pelatihan hanya berada di level teori yang sulit diimplementasikan di tingkat satuan pendidikan. Apalagi jika kegiatan pelatihan tidak diikuti dengan pendampingan, pemantauan, dan penilaian yang berkelanjutan.
Ketiga, setelah mundurnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI, POP akan kehilangan legitimasi. Ini akan memicu beragam kegaduhan, mulai dari kegaduhan politik sampai konflik horisontal di lapangan. Banyak energi yang akan terserap untuk meredam kegaduhan di ranah politik maupun publik atau bahkan di tingkat satuan pendidikan. Bekerja di tengah kegaduhan seperti ini tentu tidak akan produktif. Dampaknya program tidak dapat berjalan efektif sesuai dengan yang direncanakan.
Menggerakkan infrastruktur yang sudah ada
Pilihan yang lebih rasional dalam menggerakkan guru adalah melalui organisasi binaan, yakni KKG, MGMP, K3S, dan MKKS. Memang selama ini tidak semua wilayah memiliki hubungan dan komunikasi yang harmonis antara organisasi binaan dengan instansi pembina. Namun keberadaan KKG, MGMP, K3S, dan MKKS sebagai organisasi binaan memiliki kemudahan jalur koordinasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan program pemerintah. Jika koordinasi dan komunikasi ini dimaksimalkan, organisasi binaan bisa menjadi organisasi penggerak yang efektif.
Selama ini organisasi binaan menjadi pihak yang mendukung program pelatihan berjenjang yang diselenggarakan Kemdikbud melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK).
KKG dan MGMP berkontribusi memproduksi guru inti di daerah masing-masing dalam mengimbaskan berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh LPMP dan P4TK. Hanya saja karena ketiadaan pendampingan dari institusi penyelenggara pendidikan, dalam hal ini Dinas Pendidikan melalui lembaga pengawasan sekolah, berbagai pelatihan yang diselenggarakan jarang sampai pada tahap evaluasi dan penilaian yang berkelanjutan.
Karena itu, selain pemberdayaan organisasi binaan, peran pengawas sekolah juga harus difungsikan secara benar. Pengawas sekolah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam mengawal kualitas pendidikan di satuan pendidikan. Pengawas sekolah memiliki tugas untuk membina, membimbing dan melatih, serta menilai guru secara berkelanjutan. Peran dan fungsi ini jika dimaksimalkan akan menjadi kekuatan penggerak yang sangat efektif.
Infrastruktur organisasi penggerak pada dasarnya semuanya sudah dimiliki dan sudah tersedia di dalam struktur kementerian. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh Kemdikbud adalah mengorganisasi infrastruktur ini agar bisa mendorong perbaikan kualitas pendidikan nasional. Bukan mensubordinasikan pekerjaan ke pihak ketiga yang belum jelas pengalamannya dalam mengelola dunia pendidikan.