Jumat, Maret 29, 2024

Mengerahkan Youtuber sebagai Alternatif Pengelola Indonesia

Suwatno K3
Suwatno K3
Bapak (muda) tiga anak. Tinggal di Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Seperti kita ketahui bersama, Youtube beberapa tahun belakangan ini menjadi salah satu platform berbagi video yang kemampuan jangkauannya luar biasa di masyarakat, khususnya di Indonesia. Berbagai video dari beragam genre ada di sana dan orang dengan mudah mengaksesnya, mulai belajar agama sampai dengan belajar merakit bom. Hal ini tidak terbayangkan di generasi ‘80an atau (apalagi) generasi sebelumnya.

Dahulu akses informasi, dalam bentuk audio visual terutama, hanya dapat diakses oleh golongan priviliged. Sebagian dari kita tentu ingat, di awal kemunculannya televisi merupakan barang mewah. Ia pernah menjadi simbol “kemapanan” ketika terpasang di ruang tamu. Pak Carik atau Pak Kamitua lebih dihormati kalau di ruang tamunya njogrog televisi tabung. Selain disegani sebagai pamong, mereka juga menjadi (salah satu) penyedia informasi bagi masyarakatnya.

Sempat mencuat skeptisme ketika populer di masyarakat, Youtube kini menjadi platform digital yang memiliki tingkat konsumsi yang sangat tinggi. Hal ini lah yang mendasari saya menawarkan alternatif ini: bagaimana jika Indonesia, sebagai sebuah negara, dikelola oleh para punggawa Youtuber ini?

Tunggu dulu, anda sekalian boleh menertawakan ide ini, tapi sebagai warga negara (yang baik) yang kerap dituntut kontribusinya, saya akan berusaha menjelaskannya kepada anda sekalian.

Sudah lima tahun sejak sebagian dari kita menertawakan bait “Youtube Youtube lebih dari TV *boom*” dalam single Ganteng-Ganteng Swag besutan punggawa Yotuber-Swag Indonesia. Sekarang kita sama-sama tahu, begitu banyak selebritas yang menjadikan Youtube sebagai “sawah ladang” mereka.

Bukan hanya kalangan selebritas, bahkan para aktivis dan politikus pun berlomba-lomba aktif ngonten di sana. Susah dipungkiri bahwa (ternyata) Young Lex dkk adalah sosok visioner dalam hal ini.

Melihat kenyataan pergeseran pola ini, saya membayangkan bagaimana jika kita berikan kesempatan kepada punggawa Youtuber untuk mengelola berbagai sendi kehidupan kontemporer Indonesia.

Kita tentu jengah dengan berita absurditas politik di Indonesia. Dari tingkah polah politikusnya, perilaku korupnya dan tetek bengek lainnya. Sebagai alternatif, mari kita bayangkan jika sistem partai dihapuskan dan diganti oleh punggawa-punggawa Youtuber ini.

Mereka pasti bisa merumuskan RUU yang betul-betul organik dari subscribernya.
Berbagai RUU diangkat melalui sesi QnA dan dirapatkan livestream, netizen akan dengan tangkas beradu jempol berbalas opini dikolom komentar. Kalau “sidang” tersebut mentok, keputusan dapat diambil melalui voting. Kalau ada pihak yang belum puas bisa menyampaikan ketidakpuasannya melalui petisi online. Sungguh bentuk ejawantah suara rakyat yang paripurna.

Beberapa waktu yang lalu masyarakat dan media begitu antusias menyaksikan dan memberitakan pertandingan catur yang digelar livestream di kanal Youtube Deddy Corbuzier sebagai bentuk penyelesaian goro-goro di kancah percaturan (online) internasional. Banyak pihak tidak menyangka konflik yang tadinya begitu panas di media sosial dapat diakhiri dengan happy ending oleh mantan pesulap ini.

Kasus pertandingan catur itu bukan kali pertama Deddy memfasilitasi pihak-pihak yang sedang dirundung masalah ataupun terlibat kontroversi. Maka, bukan tidak mungkin di masa depan, dengan mandat suci dari subscriber, Deddy Corbuzier duduk bersama Menteri Luar Negeri Malaysia untuk menyelesaikan konflik rebutan pulau-pulau Indonesia oleh Malaysia, misalnya.

Apa itu tetek bengek konferensi PBB?. Mas Cahyadi sudah membuktikannya. Konflik skala lokal dan internasional bisa Ia tengahi. Dengan reach dan engagment sebesar itu, Iklan Visit Indonesia bisa nongol tipis-tipis di jeda podcast. Sungguh sebuah gebrakan yang fenomenal di bidang hubungan internasional.

Di tataran yang lebih serius dalam pengelolaan negara, para Youtuber ini juga patut kita berikan kesempatan. Di bidang pengadaan peralatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti simulator SIM, alat-alat kesehatan atau (bahkan) alutsista, kita dapat mengerahkan punggawa Youtuber Review produk.

Bayangkan jika seorang David GadgetIn menyapa Anda sekalian di akhir tahun dengan kalimat pembuka, “Halo Gaes, David di sini, dari hasil QnA di video kemarin, kita butuh alat simulator SIM untuk tahun depan. Nah di depan saya sudah ada lima alat dari lima perusahaan yang berbeda yang telah menawarkan produknya, mari kita review sama-sama!”

Di akhir video komentar netizen dikumpulkan, dianalisa, kemudian plus-minus setiap produk dibandingkan. Di video berikutnya David akan colabs dari para pundit bidang IT untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan netizen dan alasan-alasan kenapa pilihan jatuh di tangan sebuah produk. Tidak ada tetek bengek sidang paripurna. Apa itu studi-studi banding ke luar negeri?.

Sungguh sebuah perwujudan transparansi dan simplicity organisasi yang begitu nyata.
Anda sekalian boleh menganggap ini cuma lucu-lucuan semata, tapi tidak dengan saya. Saya optimistis dengan alternatif ini.

Sudah berkali kali kita disuguhi drama-drama penegakan hukum di Indonesia, mulai dari Edi Tansil, Gayus Tambunan, sampai drama penyiram air keras ke Novel Baswedan. Belum lagi adu kuat antar lembaga penegak hukum yang disajikan lewat drama penggembosan, kriminalisasi dan saling serang di media.

Jika penegakan hukum kita mau mengadopsi budaya kolaborasi ala Youtuber, bukan tidak mungkin hal lembaga penegak hukum kita akan mengalami lompatan capaian yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Kalau memang tujuannya untuk keadilan, dari pada kompetisi adu kuat antar lembaga kenapa tidak kolaborasi saja?

Tentu jangan cuma kolaborasi abang-abang lambe. Kita kerahkan punggawa Youtuber perwakilan antar lembaga untuk livestream investigasi, misalnya. Atau ketika proses livestream interogasi tersangka korupsi dibuka fitur tanya jawab dan testimoni dari netizen, misalnya. Wah, saya bisa bayangkan betapa antusias masyarakat kita untuk berpartisipasi.
Saat ini kita hidup di era keterbukaan.

Maka sudah seharusnya kita meninggalkan pola (ke)tertutup(an) dalam penyelesaian konflik. Bayangkan jika kita kirim travel youtuber untuk membuat siaran langsung dengan format daily vlog ke daerah konflik, Papua, misalnya. Masyarakat di belahan Indonesia lain bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana, dan apa yang sebenarnya diinginkan oleh rakyat Papua.

Kita siapkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini enggan didengarkan oleh pemangku kepentingan kepada travel youtuber yang berangkat ke daerah konflik tersebut. Jangan lupa merchandise untuk netizen dengan pertanyaan terbaik. Setelah itu kita evaluasi bersama lewat video berseri kolaborasi Najwa Sihab dengan para ahli di bidang konflik.

Generasi ‘60an pernah punya Hippie sebagai alternatif gerakan sosial. Generasi ‘70an punya Punk sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi dan dekadensi generasi tuanya.
Sebagai generasi millenial, saya menawarkan kolaborasi ala youtuber sebagai sebuah alternatif gerakan.

Jika alternatif ini berhasil terwujud, kita bersama bisa dengan mantap menunjukan kepada pak Tifatul Sembiring “Internet cepat buat apa?”.

Suwatno K3
Suwatno K3
Bapak (muda) tiga anak. Tinggal di Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.