Fenomena mengemis sudah lama menjadi bagian dari wajah kota-kota di Indonesia. Hampir di setiap sudut jalan, lampu merah, hingga pelataran rumah ibadah, kita sering menemui orang-orang yang menadahkan tangan.
Jika dicermati, aktivitas ini ternyata tidak sederhana. Ia melibatkan berbagai lapisan masyarakat: mulai dari anak kecil, penyandang disabilitas, lansia terlantar, hingga mereka yang sebenarnya sehat namun memilih jalan pintas mencari belas kasihan. Mengemis akhirnya bukan hanya sekadar praktik mencari uang di jalanan, melainkan persoalan sosial yang multidimensi.
Di satu sisi, masyarakat kita masih kerap memandang memberi uang kepada pengemis sebagai amal kebaikan. Ada keyakinan bahwa menolak memberi sama saja menutup pintu pahala. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang resah karena melihat praktik mengemis seakan diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak yang sejak kecil diajak mengemis akan tumbuh dengan pola pikir serupa, menciptakan lingkaran kemiskinan yang tak pernah selesai.
Dua Wajah Pengemis
Secara umum, pengemis bisa dibagi dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang sebenarnya mampu bekerja namun memilih jalan mengemis. Kelompok ini sering kali menipu, misalnya berpura-pura cacat agar menarik belas kasihan. Dalam perspektif agama, tindakan seperti ini dianggap haram karena didasari kebohongan.
Kedua, mereka yang memang layak disebut pengemis: orang tua yang sudah renta, penyandang disabilitas yang benar-benar tak mampu bekerja, atau korban musibah yang kehilangan segalanya. Bagi kelompok ini, masyarakat biasanya lebih menerima untuk memberi bantuan. Mereka dianggap memang membutuhkan uluran tangan, bukan karena malas, melainkan karena keterbatasan.
Perbedaan dua kelompok ini penting untuk dibahas, sebab sering kali publik menilai pengemis secara hitam putih: ada yang bersikap iba tanpa syarat, ada pula yang tegas menolak. Padahal, persoalannya lebih kompleks.
Dalam Islam, mengemis atau meminta-minta dikenal dengan istilah tasawwul. Banyak hadits menegaskan bahwa meminta-minta tanpa alasan jelas adalah perbuatan tercela. Rasulullah SAW bahkan menyebutkan bahwa orang yang terbiasa meminta-minta kelak akan datang pada hari kiamat dengan wajah tanpa daging, sebuah perumpamaan betapa rusaknya kehormatan orang tersebut (HR. Bukhari: 1474, Muslim: 1040).
Hadits lain juga menekankan, lebih baik seseorang mencari nafkah dengan memikul kayu bakar di punggungnya ketimbang mengemis. Prinsip yang diangkat jelas: bekerja, sekecil apa pun hasilnya, lebih mulia daripada menadahkan tangan (HR. Bukhari: 2074).
Namun Islam juga memberikan pengecualian. Ada tiga kelompok yang dibolehkan meminta-minta: mereka yang menanggung beban berat di luar kemampuannya, korban musibah yang kehilangan harta, serta orang miskin yang diakui oleh lingkungannya. Artinya, ajaran Islam tidak menutup mata pada kenyataan bahwa ada orang-orang yang memang benar-benar membutuhkan. Di sini terlihat keseimbangan: mengemis bukan profesi yang dibenarkan, tapi bantuan kepada fakir miskin tetap menjadi kewajiban sosial umat.
Hukum Positif: Antara Larangan dan Realitas
Selain pandangan agama, hukum positif Indonesia juga mengatur soal mengemis. Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, siapa pun yang meminta-minta di tempat umum dapat dipidana kurungan hingga enam minggu. Jika dilakukan berkelompok oleh tiga orang atau lebih yang sudah dewasa, hukumannya bisa mencapai tiga bulan.
Aturan ini sekilas tampak keras, bahkan seolah tidak manusiawi. Namun menurut penjelasan ahli hukum R. Soesilo, larangan ini bukan bermaksud menghalangi orang miskin mencari bantuan, melainkan mencegah praktik mengemis di ruang publik yang dianggap mengganggu ketertiban. Jika meminta di rumah warga, misalnya, pasal ini tidak berlaku. Dengan kata lain, KUHP lebih menyoroti aspek keteraturan sosial. Mengemis di jalan raya atau pasar dianggap tidak pantas, karena bisa menimbulkan keresahan dan mengganggu kenyamanan masyarakat.
Meski ada ancaman pidana, kenyataannya praktik mengemis tetap marak. Jarang sekali kasus pengemis berakhir di pengadilan. Aparat biasanya hanya melakukan razia, lalu memulangkan pengemis ke daerah asal. Setelah beberapa waktu, mereka kembali lagi.
Hal ini menunjukkan bahwa sanksi pidana tidak efektif. Alih-alih memberi efek jera, penindakan hukum justru berisiko memperburuk stigma terhadap kaum miskin. Di titik ini, sanksi sosial dinilai lebih tepat. Misalnya melalui edukasi publik, kampanye moral, hingga penguatan nilai kerja keras di masyarakat. Cara-cara ini lebih membangun kesadaran, bahwa mengemis bukanlah pilihan yang bermartabat.
Peran Negara: Menjamin Kesejahteraan
Namun kita tak bisa hanya menyalahkan individu. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam persoalan ini. Kemunculan pengemis tidak lepas dari ketimpangan sosial dan gagalnya sistem jaminan kesejahteraan berjalan maksimal.
Hingga kini, Indonesia belum sepenuhnya menerapkan sistem jaminan sosial sesuai prinsip perlindungan sosial. Padahal, jaminan sosial adalah instrumen penting untuk mencegah kemiskinan, melindungi kelompok rentan, dan memberdayakan masyarakat. Tanpa itu, wajar jika sebagian warga terpaksa turun ke jalan, bahkan dengan cara yang melanggar norma.
Kebijakan yang ada selama ini cenderung reaktif: pengemis dirazia, dikirim ke panti, lalu dilepas kembali. Solusi jangka panjang—seperti pemberdayaan ekonomi, akses pendidikan bagi anak jalanan, serta pemerataan kesempatan kerja—sering kali terabaikan.
Mengemis memang persoalan pelik. Ia menyentuh sisi kemanusiaan, agama, hukum, sekaligus ekonomi. Namun satu hal jelas: membiarkan praktik ini terus berlangsung hanya akan menimbulkan persoalan baru. Generasi penerus bisa tumbuh dengan mentalitas ketergantungan, sementara kualitas moral masyarakat kian menurun.
Oleh karena itu, pemerintah bersama masyarakat harus mencari jalan keluar yang lebih menyeluruh. Negara wajib hadir lewat kebijakan jaminan sosial yang nyata, bukan sekadar program sementara. Sementara masyarakat perlu lebih kritis dalam memberi bantuan, agar sedekah tidak justru melanggengkan praktik mengemis.
Kita bisa mengarahkan bantuan melalui lembaga resmi, panti sosial, atau program pemberdayaan, sehingga sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Dengan begitu, nilai kebaikan tetap terjaga, tanpa harus memperkuat mata rantai kemiskinan.
Mengemis, baik menurut ajaran Islam maupun KUHP, jelas bukan tindakan yang ideal. Agama menegaskan bahwa bekerja lebih mulia, sementara hukum positif menilainya sebagai gangguan ketertiban umum. Namun larangan semata tidak cukup. Dibutuhkan kombinasi antara penegakan hukum, sanksi sosial, dan kebijakan kesejahteraan.
Jika semua pihak mau berperan, ada harapan bahwa jalanan kita suatu saat bisa terbebas dari pemandangan anak-anak kecil menadahkan tangan atau orang tua renta duduk di trotoar meminta belas kasihan. Karena sejatinya, setiap warga negara berhak hidup layak, dilindungi, dan disejahterakan oleh negaranya—tanpa harus menjadi pengemis.