Minggu, Desember 8, 2024

Memilih Mereka yang Bekerja dengan Hati

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais
- Advertisement -

Tiga nama yang unggul dalam survei, Ganjar, Prabowo, Anies, memiliki peluang sangat besar untuk menang. Jika Pilpres dilakukan sekarang. Tapi itu ilusi. Karena survei itu semacam snapshot yang hanya membidik fenomena temporal.

Kita tahu, kecenderungan suara pemilih Prabowo Subianto saat ini terus tergerus. Ia adalah simbol dari masa lalu. Sebuah kisah epik perlawanan yang berakhir dengan kekalahan. Berkali-kali kekalahan.

Padahal sejarah itu ditentukan oleh pemenang. Sebagaimana diskursus Foucault tentang power and knowledge itu. Kekuasaan melahirkan pengetahuan, kebenaran. Dan sebaliknya, ilmu pengetahuan, narasi dominan, melahirkan kekuasaan.

Sementara Ganjar Pranowo masih tersandera restu partai. Bahkan kode terbaru untuk menekan laju dukungan untuknya terkesan opresif. Kelompok internal yang memberikan dukungan kepada Ganjar itu disebut celeng atau babi hutan.

Ini adalah sebuah sinyal perlawanan yang keras. Ada resistensi dari old guardian PDIP. Dan jika tidak ditangani dengan hati-hati, efeknya akan mirip memotong kabel pada bom. Salah pilih, meledak.

Di sisi lain, Anies Baswedan mengalami kelembaman. Dalam bahasa fisika, kelembaman dipahami sebagai hambatan terhadap perubahan kecepatan. Persis seperti itu, Anies juga mengalami perlambatan. Masih terus bergerak, namun cenderung stagnan.

Apalagi jika nanti masa bakti gubernurnya berakhir pada 2022. Ia akan meluncur jatuh dan dilupakan. Yang masih kekal darinya barangkali adalah serangkaian kekonyolan.

Tiga tokoh teratas itu ternyata belum benar-benar aman. Mereka memiliki masalahnya masing-masing. Dan sedang berjuang keras untuk mengatasinya dengan berbagai cara.

Maka dalam politik, tidak ada sesuatu yang ajeg. Segalanya cair, sampai detik-detik terakhir. Kemunculan sosok baru dari papan tengah dan bawah masih sangat berpeluang memberikan kejutan.

Meskipun sampai saat ini pergerakan elektabilitas mereka masih belum cukup menggembirakan. Bahkan RK misalnya, sosok yang sebelumnya cukup kuat, mendadak mengalami penggembosan.

- Advertisement -

Ada Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, AHY, Erick Thohir, dan lainnya. Dari sekian nama itu, saya akan mengambil satu contoh tentang potensi yang bisa dimaksimalkan. Dengan catatan, hambatan yang menimpa tiga kandidat terkuat akan terus terjadi.

Erick Thohir bisa dijadikan contoh yang mudah. Sebenarnya Erick ini punya potensi yang kuat. Sama halnya potensi yang dimiliki Airlangga Hartarto atau AHY itu. Ada basis kapital yang bisa dimaksimalkan. Tapi belum dilesatkan dengan presisi.

Mereka masih menembak ke segala arah. Tidak jelas target apa yang dibidik dan hasil apa yang hendak diperoleh.

Jika melihat fenomena saat ini, peluang terbesar mereka memang menjadi pendamping, untuk menguatkan kandidat utama. Meskipun tidak tertutup kemungkinan papan elektabilitas akan berubah, jika respons pemilih berjalan sebaliknya.

Namun tokoh-tokoh ini sepertinya masih terjebak dalam kolam permainan mereka sendiri. Apalagi jika di kanan-kirinya tidak cukup jeli dan berani menawarkan ide.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, publik itu tidak menilai capaian teknokratis. Itu poin penting dalam struktur pemerintahan. Tapi dalam tujuan untuk memacu elektabilitas, dibutuhkan sesuatu yang lebih egaliter. Sesuatu yang lahir dari imajinasi rakyat.

Sebuah simbol yang diterima dengan tanpa sadar. Dalam semiologi ini disebut mitos. Sebuah wacana yang diyakini khalayak, dari pemaknaan sistem tanda yang sengaja dikonstruksi.

Tentu saja tidak melalui baliho. Sebab zaman berubah. Baliho penting untuk mengingatkan orang-orang dusun yang tidak kenal internet. Tapi ada pertanyaan di belakangnya, what next?

Baliho hanya akan menjadi batu sandungan jika dipajang berlebihan. Ia menjadi polusi mata. Apalagi dengan tagline yang terlalu mriyayi dan elitis. Bahasa yang tidak dipahami kuli bangunan, petani dan nelayan.

Dalam hal ini, Erick misalnya, harus memulai komunikasi politik dengan kandidat terkuat, saran saya tentu dengan sosok nasionalis seperti Ganjar Pranowo. Sebab sosok Erick bisa melengkapi kekurangan Ganjar. Karena ia diterima di kalangan Islam modern.

Kelebihan dalam mengelola dimensi teknokratis telah terlihat dengan perombakan BUMN. Itu membuktikan kemampuan Erick dalam memberikan komando. Sinyal untuk meneruskan pencapaian Jokowi selama dua periode.

Dan para pendukung Jokowi akan dengan mudah menerima narasi demikian.

Tapi kemampuan teknokratis tentu saja tidak cukup. Ini pemilihan langsung. Setiap orang harus menciptakan mitos mereka masing-masing. Mereka harus membuktikan dirinya layak dipilih.

Dan itu harus diciptakan, dikonstruksi. Tidak serta-merta jatuh dari langit berupa pulung.

Siapapun dari nama-nama di atas itu layak untuk dijagokan. Yang penting tidak menjual narasi yang memecah-belah. Menipu pemilih dengan kedok agama. Sudah cukup pertarungan tempo hari yang berdarah-darah.

Pemilih hari ini mestinya lebih cerdas dan tak mudah dikibuli. Mereka harus paham, pemimpin yang tampil di baliho dan yang membumi. Pemimpin yang pura-pura dan yang benar-benar bekerja dengan hati.

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.