Rabu, April 24, 2024

Mengembalikan Hakikat Pendidikan

Nevatuhella
Nevatuhella
NEVATUHELLA, kolumnis kelahiran Medan, 31 Desember 1961. Menamatkan pendidikan sarjana Teknik Kimia di Universitas Sumatera Utara, 1988. Menulis untuk berbagai media massa dan antologi.

Pendidikan dan kebudayaan merupakan dua sisi mata uang. Sama perlunya untuk menyejahterakan kehidupan lahir dan batin manusia. Tujuan pendidikan ialah agar manusia berkebudayaan.

Kreatif, dapat mencipta berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh dari pendidikan. Mengetahui dengan jelas mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau syariat agama menyebut mana yang halal, dan mana yang haram. Mana yang hak, dan mana yang batil.

Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan adalah orang tua dan guru. Tanggung jawab orang tua lebih berat. Sebabnya orang tua akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat atas apa yang telah diberikan pada anak-anaknya.

Orang tua dan anak mempunyai hubungan emosional yang tak berhingga. Hal ini mengingat kita adalah pemeluk agama yang percaya pada hari akhirat. Hari pertanggungjawaban. Kita tidak semata hidup, mati kemudian tiada.

Guru ada menurut bidangnya. Ada guru Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Sosial, Ilmu Alam, Olahraga dan lain-lain. Semua guru––tak ada pengecualian––bertanggung jawab secara penuh atas apa yang diajarkannya kepada siswa. Kondisi sosial saat ini merupakan produk didikan orang tua dan guru.

Pilihan judul di atas adalah berdasarkan fakta, bahwa pendidikan saat ini mengalami pendangkalan tujuan secara umum. Oleh karena itulah, pendidikan harus dikembalikan kepada hakikatnya. Tujuan pendidikan yang hakiki atau pendidikan yang semestinya, tidak terjadi.

Pendidikan saat ini lebih berorientasi materi (material oriented). Pendidikan ditujukan untuk mudah bagi seseorang mendapat pekerjaan, untuk jadi kaya. Tujuan inilah yang banyak dipersepsikan orang tua saat mengantar anak-anaknya bersekolah.

Hasilnya kesejahteraan lahir dan batin bagai angan-angan. Apa yang bersifat fisik dalam bangunan kehidupan manusia menjadi model. Model manusia baru Indonesia, yang jauh sekali berbeda dari manusia Indonesia setengah abad atau tiga perempat abad yang lalu, zaman pra-kemerdekaan.

Hasil dari pendidkan yang diperoleh saat itu adalah pemuda-pemuda yang cerdas dan punya pendirian. Sikap pariotisme yang tinggi. Hingga mereka, para pemuda berhasil menyatukan dan memerdekaan Indonesia.

Sayangnya tujuan kemerdekaan yang mereka proklamirkan melenceng dari tujuuan hakikatnya. Mensejahterakan rakyat Indonesia lahir dan batin sampai kini hanya sekadar slogan.

Sebagian bangsa Indonsia masih terperosok atau berkubang dalam kemiskinan. Sementara yang beruntung secara materi terperosok dalam hedonis dan kesombongan. Lupa sejarah dan pengorbanan para pahlawan.

Pendidikan nilai-filosofis

Kelahiran anak dalam sebuah rumah tangga adalah dambaan setiap pasangan suami-istri. Membesarkan anak merupakan kewajiban. Memberinya makan, mendidiknya hingga ia dewasa. Hingga ia dapat mandiri meneruskan kehidupannya.

Pendidikan yang diberikan pada anak harus sesuai dengan filosofinya. Pertama anak akan meneladani apa yang ada di hadapannya, yakni kedua orang tuanya. Jika ibu dan ayah makan dengan tangan kiri, maka anak pasti menirunya. Kalau ibu di rumah memakai baju minim, maka anak perempuan juga akan memakai baju minim.

Maka orang tua wajib menyadari hal ini. Bekerja dan berkata-kata harus sesuai dengan kaidah agama dan pendidikan secara umum. Korupsi atau manipulasi kebenaran tidak tampak memang secara fisik. Tapi ada dalam jiwa, tertransfer melalui jiwa ke jiwa jua.

Misal yang lumrah terjadi soal membaca di rumah. Kita mengetahui bahwa frasa “membaca berawal dari rumah” sudah umum terdengar di kalangan pendidik. Apakah orang tua sudah melakukannya? Sudah mendisiplinkannya? Setiap hari duduk dengan tertib membaca?

Di saat malam, biasanya orang-orang besar yang ternama dunia, para novelis, ekonom, dan lainnya dengan lampu baca khusus yang lebih terang, membaca buku dengan khidmat. Sementara orang tua dan anak-anak Indonesia sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi atau mendeliki gadget. Padahal membaca adalah jendela dunia, buku adalah senjata, buku adalah pembebasan.

Apakah kita pernah melihat dan mendengar hadiah lampu baca atau sebuah buku menjadi hadiah dalam berbagai perlombaan? Saya kira tidak. Hadiahnya selalu piala dan uang tak seberapa. Piala sebagai bentuk materil tidak berguna yang sebenarnya hanya pencitraan.

Penguatan pendidikan

Penguatan pendidikan menjadi penting karena ada yang lemah di dalam sistemnya. Selama ini sistem pendidkan ala Barat yang coba dicocok-cocokkan dengan budaya Indonesia. Istilah pembelajaran sebelum ini tak dikenal dalam sistem pendidikan Indonesia.

Yang ada pengajaran. Dulu Dinas Pendidikan disebut sebagai Dinas Pendidikan dan Pengajaran. Guru, sebagai pengajar adalah setingkat lebih rendah saja dari dewa. Guru mengetahui segala-galanya di depan para murid.

Namun saat ini, dengan sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), guru menjadi pasif. Justru siswa yang di aktifkan. Kurikulum terakhir bermodel siswa berkelompok pula dalam waktu yang ditentukan. Meja dan kursi dalam kelas di tata. Siswa pun sibuk malakukannya. Artinya sarana dan prasarana untuk belajar dengan cara kurikululm CBSA belum memadai.

Lalu kendala budaya orang Indonesia yang berjiwa gotong-royong, suka ngobrol, tak cocok dengan cara CBSA ini. Murid bahkan dalam kelompoknya akan ngobrol tentang keseharian mereka. Merasa lebih asyik. Hasil diskusi hampir mendekati nol.

Alhasil, salah satu siswa yang rajin, pintar dan berbakat menjadi tumpuan kelompoknya. Siswa pintar makin pintar, siswa bodoh makin bodoh. Inilah yang terjadi dalam sistem Kurikulum CBSA saat ini.

Guru berkualitas jadi tak lahir. Bahkan guru terpinggirkan saat ini, sebab masuknya peraturan atau undang-undang yang tidak membolehkan lagi guru menjewer murid. Guru menjadi si Buruk Rupa bila melakukan hukuman fisik kepada siswa. Guru dan komunitasnya tak mampu lagi melakukan pembelaan diri. Kedaulatan guru sudah tak ada lagi.

Berbeda dengan komunitas kedokteran. Profesi ini masih mempertahahankan kedaulatan sesamamanya. Tak mudah lembaga manapun masuk untuk menyatakan dokter melakukan mal-praktek.

Kembali ke khittah

Di rumah, selama ini ayah-ibu beradat otoriter terhadap anak-anaknya. Kalimat yang diakhiri tanda seru masih mendominasi tuturan ayah-ibu. Lahirlah anak-anak yang tidak mandiri. Maka di sekolah, yang bebasis CBSA yang berpola Barat, anak-anak jadi terheran-heran menghadapi kenyataan. Kita harus ingat bahwa anak-anak di Barat sejak kecil sudah di didik untuk mandiri. Anak-anak di Barat tidak mempunyai karakter untuk mencontek pekerjaan kawannya. Teramat beda dengan budaya yang di tanamkan pada anak-anak kita.

Kesenjangan budaya telah terjadi dalam kurikulum pendidikan kita. Pemerintah harus jangan lengah akan hal ini. Pendidikan saat ini banyak merugikan anak-anak untuk menyongsong masa depannya. Kalau anak orang kaya, bisa les atau kursus di sana-sini dengan biaya sangat tinggi untuk memenuhi ketertinggalan akademisnya. Lalu anak rakyat miskin atau yang sederhana sekalipun jauh panggang dari api kalau bisa menjangkau pembayaran uang les yang sungguh mahal itu.

Kembalilah ke khittah pendidikan yang disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia, sebagai bangsa Timur. Utamakan pengajaran etika dan akhlak, baru kemudian ilmu dan pengetahuan lainnya. Kamis (12/4) lalu, baru berakhir Ujian Nasional tingkat SMA. Dari daerah terpencil di Sumatera Selatan, kakak saya yang berprofesi sebagi guru honor mata pelajaran Kimia berkeluh, “Capek sekali aku mengerjakan soal-soal ujian anak-anak hari ini. Soalnya berbeda untuk seorang murid. Bayangkan itu!”

Memberi kunci jawaban yang dikerjakan guru untuk siswa di Ujian Nasional sudah lazim dimana pun, di seluruh seantero NKRI. Ini salah satu busuknya pendidikan kita. Kapankah kita mengajarkan kejujuran pada generasi muda? Sebagai guru, mulai dari diri sendiri, dan setiap waktu sampai umur di kandung badan mestilah terus-menerus mengkritisi sistem  pendidikan yang ada.

Nevatuhella
Nevatuhella
NEVATUHELLA, kolumnis kelahiran Medan, 31 Desember 1961. Menamatkan pendidikan sarjana Teknik Kimia di Universitas Sumatera Utara, 1988. Menulis untuk berbagai media massa dan antologi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.