Awalnya, penulis memahami Distrik Ikebukoro Kota Toshima sebagai pusat perdagangan dan hiburan modern. Wajar, karena Toshima sendiri sebagai salah satu wilayah Tokyo Metropolis. Sekarang, baru tersadar bahwa tidak jauh dari lokasi Hotel Sunshine Price tempat menginap terdapat pengolahan sampah modern.
Masyarakat Jepang secara individu dan kolektif, serta secara perilaku sederhana dan modern telah menerapkan pendidikan lingkungan (environmental education) yang sesungguhnya khususnya dalam mengelola sampahnya yang berwawasan lingkungan dan menjadi sumber daya yang bermanfaat.
Berbeda dengan masyarakat kita pada umumnya yang baru menerapkan pendidikan lingkungan hanya sebatas pada capaian pengetahuan. Tidak heran jika pendidikan lingkungan baru sebatas pengajaran, bukan pembudayaan, dan ilmu lingkungan atau ekologi.
Masalah sampah di manapun, paling tidak semua orang akan berpikir dampak negatifnya terdahap lingkungan hidup. Begitu pun sampah rumah tangga yang paling dekat dengan kita.
Nyatanya sering menjadi masalah akibat ketidakpedulian kita terhadap sampah yang sampai menggunung di depan rumah jika satu hari saja telat diambil mobil penjemput sampah. Walaupun setiap tahun diperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) pada 21 Februari.
Mungkin juga belum banyak yang mengetahui bahwa hari itu merujuk pada sebuah bencana longsor sampah yang menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah pada 2005. Lagi-lagi karena ketidakpedulian terhadap sampah yang korbannya kembali kepada manusia sendiri seperti pesan Allah dalam Surah al-Rum [30]: 41.
Masyarakat paham bahaya sampah terhadap keselamatan seluruh makhluk hidup melalui pendidikan yang telah diterimanya secara formal dan informal. Jika ditinjau dari sejarahnya, pendidikan lingkungan telah ada sejak 1960 dan bahkan jauh sebleum itu. Istilah awalnya dikenal dengan nature studies dan hari ini populer dengan Education for Sustainable Development Goals.
Pendidikan lingkungan di Idonesia telah ada sejak tahun 1975 dengan merintis Adiwiyata Green School hingga kini masih ada Program Sekolah Adiwiyata. Ini merespons hasil International Environmental Workshop di Belgrade, Yugoslavia yang menghasilkan Belgrade Charter, rumusan tujuan pendidikan lingkungan “… is to develop a world population that is aware of, and concerned about, the environment and its associated problems, and which has the knowledge, skills, attitudes, motivations, and commitment to work individually and collectively toward solutions of current problems and the prevention of new ones”
Hampir setengah abad, harusnya semakin meningkatkan kepedulian terhadap sampah. Namun kebalikannya, bisa dilihat perilaku yang paling sederhana bagaimana kita memilah sampah sendiri. Belum lagi perilaku secara massal pengelolaan sampah di sebuah wilayah. Perilaku yang pertama mungkin tidak memerlukan berbagai usaha yang besar, hanya kemauan saja. Fasilitas tempat sampah terpilah pun sudah disediakan di berbagai titik lokasi publik yang mudah dijangkau.
Misalnya, tempat sampah warna hijau lengkap dengan tulisan dan gambar untuk jenis sampah organik dan sisa makanan. Tetapi, jika dilihat isinya penuh dengan sampah plastik, B3 (berbahaya dan beracun), dan lainnya. Apakah orang masih belum paham dengan pesan yang sudah begitu jelas tertulis?
Perilaku kedua lebih kompleks dan melibatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir yang saling terintegrasi untuk dapat mengelolanya secara massal dan modern menjadi produk yang bermanfaat dalam mendukung kehidupan umat manusia. Tetapi bukan mustahil kita dapat melakukannya karena berdasrakan data SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) sudah banyak yang menerapkannya di berbagai wilayah.
Kembali ke pembahasan pengelolaan sampah di Jepang, nyatanya telah menerapkan dengan baik baik perilaku pengelolaan sampah yang bersifat sederhana maupun modern. Masyarakatnya memiliki kesadaran untuk memilah sampahnya menjadi berberapa bagian. Di sebuah pusat perbelanjaan mudah sekali menemukan tepat sampah terpilah berdasarkan tiga jenis sampah seperti yang ditemukan di pusat perdagangan dan hiburan terkenal Sunshine City di Ikebukoro.
Tidak jauh dari Teikyo Henshei University sekitar 600 meter, terdapat Toshima Incineration Plant sebagai pusat pengolahan sampah menggukanan proses thermal. Sampah diolah menjadi sumber daya energi listrik dan produk konstruksi lainnya yang bermanfaat, di samping berkontisbusi meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan.
Penampungan sampah mampu mengolah 400 ton sampah per hari untuk menghasilkan energi sebesar 7.800 Kw. Hasilnya digunakan Kenko Plaza Toshima untuk memanaskan air yang di dalamnya ada fasilitas olahraga kolam renang, studio kebugaran, dan gymnasium. Energi listriknya dijual ke perusahaan listrik setempat.
Tentu saja orang akan mengira bahwa gas hasil pembakaran menimbulkan masalah polusi udara. Tetapi melalui beberapa penyaringan, gas yang dilepaskan ke udara tidak membuat polusi. Sedangkan abu hasil pembakaran juga digunakan untuk material konstruksi seperti produk seperti aspal dan paving blok.
Penggunakan teknologi pembakaran sampah semakin meningkat setiap tahun (1990-2008) dan sudah begitu umum untuk mengurangi keterbatasan TPA dan pengurangan volume sampah. Di sisi lain, pengolahan sampah daur ulang (recycle) juga mengalami tren meningkat setiap tahun.
Pembelajaran dari manapun termasuk Jepang, semoga ada rasa ingin meniru nilai budaya baiknya sehingga dapat mengubah perilaku sederhana kita dalam mengelola sampah yang berwawasan lingkungan dan menjadi sumber daya yang bermanfaat. Ini selaras dengan tema HPSN 2022, Kelola Sampah, Kurangi Emisi, Bangun Proklim.