Jumat, April 19, 2024

Mengatur Privasi di Negara Demokrasi

Iswanda Fauzan Satibi
Iswanda Fauzan Satibi
Dosen Departemen Informasi dan Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga | Kandidat Ph.D in Library and Information Science - University of Malaya, Malaysia. | Alumnus Victoria University of Wellington, Selandia Baru. Aktif sebagai akademisi di bidang perpustakaan dan informasi. Bidang yang ia tekuni adalah Information Politics, Societal Knowledge Management, dan Institutional Repository.

Tepat tanggal 31 Oktober 2017 kemarin pemerintah kembali mewajibkan pengguna kartu prabayar (SIM card) untuk melakukan registrasi. Pemerintah sebelumnya pernah memberlakukan wajib daftar untuk kartu prabayar pada tahun 2005 dan 2014 lalu.

Dasar hukum yang mengatur hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 23 Tahun 2005 tentang Registrasi Terhadap Pelanggan Jasa Telekomunikasi. Ancaman pemblokiran pun membayangi pengguna kartu prabayar jika tidak melakukan pendaftaran ulang kartu prabayar hingga 28 Februari 2018 dengan tiga tahapan grace period selama 60 hari.

Hal menarik yang patut menjadi perhatian adalah proses validasi data. Berbeda dengan proses sebelumnya, pendaftaran ulang kali ini dilakukan dengan sinkronasi data pemilik kartu dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Kementerian Dalam Negeri.

Hingga saat ini, berdasarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, perekaman KTP elektronik sudah mencapai 96 persen. Artinya hanya tersisa kurang lebih 3 juta masyarakat yang belum melakukan perekaman. Dengan kondisi demikian, kemungkinan besar proses validasi data dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.

Keamanan Identitas di Era Digital

Perlu diketahui bahwa usaha pemerintah dalam mewujudkan National Single Identity Number memang cukup terjal. Di mulai dari peluncuran KTP elektronik pada tahun 2010, dukungan regulasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disempurnakan melalui UU Nomor 19 Tahun 2016, serta pemberlakuanuang elektronik (e-money) untuk pembayaran jalan tol, dan program-program peningkatan industri digital atau e-commerce.

Tidak dapat dipungkiri bahwa framework digital memberikan keleluasaan bagi pemerintah atas kontrol data personal masyarakat secara sistematis terhadap segala bentuk aktivitas sosial, ekonomi, bahkan politik warga masyarakat. Isu terkati pengawasan oleh negara (state surveillance) terhadap masayarakat memang selalu menjadi perdebatan sejak awal milenium.

Cristian Fuchs dalam artikelnya tahun 2013 menyatakan bahwa kegiatan pengawasan oleh negara tidak hanya untuk menangkal tindakan kriminal dan menghalau aksi teroris, tetapi membuka peluang terhadap pelemahan privasi data personal warga masyarakat. Hal ini menurut Fuchs, telah menggerus kebebasan masyarakat modern yang memiliki orientasi tinggi akan teknologi dalam konteks keamanan data personal.

Selain itu, masih menurut Fuchs, pengawasan oleh negara memunculkan kontradiksi baru terhadap penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang seolah-olah membatasi ekspresi dan kebebasan berpendapat.

Konteks pengawasan (surveillance) sejak milineal baru merupakan titik awal komodifikasi neo-liberal atas segala sesuatu maupun imperialisme baru yang berlandaskan interaksi isu kapitalisme, keuangan, dan peperangan global. Peningkatan kekhawatiran negara dalam menanggulangi berita bohong (hoax) dan aksi preventif terhadap kriminalisme maupun terorisme telah mendorong kepanikan moral di tengah-tengah masyarakat. Dengan kondisi demikian, hegemoni yang diciptakan oleh Pemerintah melalui segala bentuk (dominasi) melalui jalur transformasi digital perlu dipertanyakan.

Mengawal Pengawasan Massal

Melihat gencarnya Pemerintah kita saat ini dalam melakukan kontrol terhadap masyarakat tidak terlepas dari preseden yang terbentuk dari Pemerintah sebelumnya. Fenomena ‘mendadak digital’ dan hegeomoni pengawasan secara masal menjadi topik yang selalu menarik sepanjang tahun 2017.

Mencermati perkembangan yang ada, terdapat arus balik paradigma masyarakat di era informasi yang ‘dimanfaatkan’ Pemerintah untuk menegaskan bahwa transparansi harus bersifat dua arah. Aspek keterbukaan komunal dalam platform digital menjadi amunisi utama Pemerintah dalam menjalankan pengawasan terhadap warga masyarakat.

Secara garis besar, masyarakat kita akan legowo ketika melakukan pelaporan data personal ke pemerintah atau perusahaan jika hal tersebut memilki implikasi ekonomis dan sosial. Namun demikian, hegemoni transparansi yang ditawarkan oleh ruler class memiliki konsekuensi logis terhadap kelompok dan individu tertentu.

Pada titik ini isu privasi dan demokrasi berbenturan dengan kepentingan keamanan negara. Jika hal ini terjadi, ketakutan masyarakat akan menyeruak atas segala bentuk pengawasan oleh negara. Alternatif yang dapat dilakukan Pemerintah atas upayah peningkatan digital ditengah isu privasi dan pengawasan masal adalah dengan meletakkan aspek moral dan etika sebagai orientasi sosial terhadap teknologi.

Iswanda Fauzan Satibi
Iswanda Fauzan Satibi
Dosen Departemen Informasi dan Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga | Kandidat Ph.D in Library and Information Science - University of Malaya, Malaysia. | Alumnus Victoria University of Wellington, Selandia Baru. Aktif sebagai akademisi di bidang perpustakaan dan informasi. Bidang yang ia tekuni adalah Information Politics, Societal Knowledge Management, dan Institutional Repository.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.