Anda bisa bayangkan apa yang terjadi di masa sepak bola industri andaikata kita tak mengenal sebuah situsweb micro-blogging bernama Twitter? Kalau anda sudah lupa, biar saya bantu anda membayangkan fase pra-Twitter. Sejak sepak bola mulai menuju era sepak bola industri yang ditandai dengan Premier League yang ditemukan oleh Sky Sports pada 1990-an, klub mulai berpikir bagaimana mencari uang melalui penggemarnya.
Sialnya, di fase ini juga penggemar, yang merupakan darah dan nyawa bagi suatu klub, kemudian diabaikan dan ditinggalkan. Dalam catatan Anthony Sutton di Sepakbola: The Indonesia Way Of Life, Anthony sempat bercerita tentang fase ini di saat ia membandingkan dengan sepak bola Indonesia. Di fase tersebut, sangat sulit untuk protes terhadap klub kesayangan anda jika tim anda sedang bermain payah. Atau memberikan pujian setinggi langit saat tim anda sedang menang atau pemain idola anda sedang jago-jagonya. Satu-satunya wujud komunikasi bagi fans adalah melalui zine. Sialnya, tak banyak zine yang sampai kepada klub langsung. Biasanya zine hanya berputar kepada penggemar kepada penggemar.
Lalu apa yang dilakukan oleh klub-klub atau para pemain di awal fase pra-Twitter ini? Karena sepak bola industri telah menjadikan sebuah klub menjadi sebuah brand, mereka hanya mengenal satu jenis media komunikasi. Media massa adalah cara bagi klub dan pemain berkomunikasi dengan penggemarnya. Melalui surat kabar atau melalui televisi dan radio. Dengan jenis komunikasi yang bersifat satu arah seperti itu, “musuh” klub dan pemain sebagai sebuah brand hanya jurnalis-jurnalis yang banyak tanya.
Klub sebagai sebuah brand hanya perlu menjaga hubungan baik dengan awak media sehingga pada akhirnya tidak ada pemberitaan buruk yang dapat membuat brand klub menjadi buruk. Hingga berdampak pada turunnya profit bagi klub. Semua ini disebabkan karena hanya media massa-lah yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini penggemar sepak bola di masa tersebut.
Hal ini kemudian berubah di masa Twitter muncul. Twitter dan sepak bola adalah sepasang sejoli. A match made in heaven. Twitter sangat cocok, jika dibandingkan dengan sosial media seperti Facebook atau Instagram, karena ia bisa merespons dengan cepat. Dengan 160 tweets, anda bisa memberi pesan kepada klub anda. Dan Rowles, dalam bukunya berjudul Digital Branding, sempat menjelasan bahwa mengapa sosial media Twitter menjadi penting bagi kita. Sebabnya karena Twitter telah membawa komunikasi yang dahulunya bersifat satu arah menjadi dua arah.
Dengan tren di mana akun-akun sepak bola menjamur di Twitter, dengan memes, hashtag, tweet, hingga foto atau video, sebagai efeknya, penggemar sepak bola kini memiliki kekuatan yang sama kuatnya dengan media massa karena munculnya sosial media Twitter. Penggemar sepak bola memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini selain media dengan fitur Treding Topics. Sehingga penggemar sepak bola tak dapat lagi dipandang remeh oleh klub atau pemain.
Seorang PR Guru, Max Clifford, juga sempat menjelaskan mengapa Twitter menjadi penting bagi klub atau pemain di masa ini. Beliau berkata, sebagaimana dikutip dari The Guardian, “Twitter membuat para pemain dapat mengetahui apa yang orang-orang katakan. Mereka bisa merespons secara instan. Ini juga memberikan keleluasaan untuk merespon berita dalam suratkabar. Rasanya hampir mustahil untuk mendapatkan sebuah tabloid dengan permohonan maaf atau penarikan artikel yang rupanya salah kutip. Karena dengan Twitter, pemain bisa merespons secara langsung. Dan kalau mereka cerdas, mereka bisa memberikan nama jurnalis yang bertanggung jawab (kepada pemberitaan yang salah).”
Sebagai imbasnya, klub dan pemain kini harus mau tidak mau mendengar apa yang penggemar mereka katakan di Twitter. Dan tantangannya, klub atau pemain harus merespons secepat mungkin tanpa celah dan harus mampu memposisikan diri sesuai dengan apa yang dirasakan penggemar. Klub dan pemain, mudahnya, kini harus membangun interaksi dengan penggemar sepak bola. Baik itu kepada komunitas penggemar sepak bola, atau kepada penggemar sepak bola secara individual.
Oke, agar tidak hanya berteori, mari kita langsung bicara mengenai penerapannya di dunia per-Twitter-an.
Ini adalah fenomena yang lumrah, tapi selalu menarik di Twitter. Saat kedua akun resmi melakukan banter seperti yang akun resmi AS Roma dan Manchester City lakukan untuk meramaikan laga City versus Roma di tahun 2014 lalu. Manchester City menertawakan Totti dan ia yang tak pernah membobol jala gawang tim-tim Inggris di ajang Champions League. Sementara AS Roma menertawakan status City yang tak punya sejarah di Eropa.
We're looking forward to hosting you @OfficialASRoma, and a legendary player such as Totti. He's never scored in England, has he? #CityvRoma
— Manchester City (@ManCity) September 30, 2014
Thanks for the hospitality last night @mcfc. Looking forward to seeing you in Rome. You've never won a European game in Italy, have you?
— AS Roma (@OfficialASRoma) October 1, 2014
Di kasus lainnya, ada kasus club statement di mana sebuah klub memberikan penjelasan mengenai isu yang beredar di sosial media. Di musim lalu, ada Ranieri dan Leicester City yang pada akhirnya harus berpisah setelah performa buruk dan imej yang buruk yang dapat dilihat di Twitter.
Club statement: #lcfc and Claudio Ranieri part company: https://t.co/C5qnSVxDgU pic.twitter.com/VqlHy1I6Ut
— Leicester City (@LCFC) February 23, 2017
Atau jika ingin berkaca di dalam negeri, ada tagar #DjanurOut yang sempat pada akhirnya membawa pada akun resmi Persib untuk merespons langsung melalui club statement. Serta jangan lupakan kampanye #FootballWithoutFansIsNothing sebagai wujud protes atas harga tiket yang melambung tinggi di Liga Inggris.
Untuk kisah antara interaksi klub dengan pemain, Anda masih ingat dengan bocah yang mengenakan kantong plastik sebagai jersey yang sempat viral di Twitter dahulu? Bocah bernama Murtaza Ahmadi pada akhir 2016 lalu pada akhirnya bertemu dengan idolanya, Lionel Messi. Atau akrabkah anda dengan kisah yang sangat menyentuh dari Bradley Lowery? Bocah enam tahun yang melawan kanker ini mendapat simpati dari berbagai tim dan pemain di Premier League. Ia kini sangat dekat dengan Jermain Defoe, sebagai akibat dari namanya yang tenar di Twitter. Atau saat Lucas Leiva marah-marah dengan penggemar Liverpool karena penggemar ini tak ingin Lucas turun bertanding.
don't you get tired to criticise me mate ? Enjoy the win today and clean sheet .
— Lucas Leiva (@LucasLeiva87) February 11, 2017
Atau bagaimana Douglas Costa merespons tweet dari penggemar FC Bayern.
Hahahahahahahahahahahahaha
— Douglas Costa (@douglascosta) June 25, 2017
Pada akhirnya, kehadiran Twitter membawa warna baru pada dunia sepak bola. Tentu tidak semuanya positif, di mana bisa saja seorang pemain di bully habis-habisan hingga tutup akun seperti Dejan Lovren saat musim buruknya pada 2014/2015. Namun Twitter kemudian mengakomodir kebutuhan paling esensial seorang penggemar sepak bola. Untuk menunjukkan perasaannya terhadap klub dan pemain idolanya, dan juga, untuk diperhatikan oleh klub dan pemain idolanya.