Baru-baru ini, sejumlah aktivis keagamaan menyerukan #BoikotTrans7 dan demo terhadap Trans7. Mereka menuntut pertanggungjawaban moral dan etika redaksional atas tayangan program Xsensor yang menampilkan pesantren. Tayangan itu dianggap menyinggung citra lembaga pendidikan agama. Meskipun sebagian publik menilai reaksi itu berlebihan, secara sosiologis dan evolusioner, fenomena ini menunjukkan sesuatu yang lebih dalam yaitu manusia secara alami memiliki dorongan untuk mempertahankan identitas keagamaannya.
Perspektif Evolusioner: Agama Sebagai Mekanisme Bertahan Hidup
Dalam pandangan evolusioner, agama tidak hanya sistem kepercayaan, tetapi juga hasil adaptasi sosial yang membantu manusia bertahan hidup dalam kelompok. Salah satu konsep utama di sini adalah group selection atau seleksi kelompok. Kelompok dengan rasa solidaritas tinggi, moral yang kuat, dan kepatuhan terhadap aturan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dibanding kelompok yang tidak teratur. Agama menyediakan mekanisme itu melalui ritual, simbol, dan norma bersama.
Durkheim menyebut ritual keagamaan sebagai bentuk “perekat sosial.” Namun dalam biologi evolusi, hal itu bisa dilihat sebagai strategi bertahan kolektif. Ketika anggota kelompok berbagi keyakinan yang sama, mereka cenderung saling mempercayai dan bekerja sama. Itulah mengapa agama berkembang di hampir semua kebudayaan, meskipun bentuk dan isinya berbeda.
Konsep lain yang relevan adalah costly signalling — gagasan bahwa kepatuhan terhadap ajaran atau ritual berat menjadi sinyal kejujuran dan loyalitas. Orang yang berpuasa, menutup aurat, atau rela berkorban untuk agamanya memberi pesan bahwa ia dapat dipercaya karena mau menanggung “biaya sosial” demi keyakinannya. Dalam konteks ini, mempertahankan identitas agama bukan hanya ekspresi pribadi, tapi sinyal keanggotaan sosial yang bernilai tinggi.
Selain itu, identitas agama memenuhi kebutuhan psikologis manusia akan kepastian. Evolusi membentuk manusia dengan kecenderungan mencari makna dan pola di balik peristiwa hidup. Agama menjawab pertanyaan eksistensial seperti “mengapa kita ada” atau “apa makna penderitaan.” Karena itu, ketika agama atau simbolnya dianggap dihina, manusia tidak hanya bereaksi logis, tapi emosional—seolah makna hidupnya sendiri diguncang.
Kasih dan Loyalitas Sebagai Perekat Komunitas
Dari sudut sosiologi—pertahanan terhadap identitas agama dapat dilihat sebagai ekspresi cinta kolektif. Agama bukan hanya kumpulan doktrin, tetapi juga ruang emosional tempat orang merasa dicintai, diterima, dan memiliki makna.
Durkheim menjelaskan bahwa agama menumbuhkan collective consciousness, kesadaran bersama bahwa “kita” adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Namun pendekatan cinta menambahkan lapisan emosional: manusia bertahan dalam agama karena di sanalah ia menemukan kasih—baik dari sesama penganut maupun dari Tuhan yang diyakini
Dalam komunitas keagamaan, kasih hadir dalam bentuk dukungan sosial, rasa aman, dan pengakuan identitas. Ketika media menampilkan sesuatu yang dianggap menodai simbol agama, anggota komunitas merasa bukan hanya agamanya diserang, tetapi juga cinta dan kehormatan mereka sebagai bagian dari kelompok itu. Reaksi emosional seperti marah, kecewa, atau menuntut keadilan adalah bentuk kasih yang terancam—usaha untuk melindungi nilai yang mereka cintai bersama.
Konsep identity fusion dalam psikologi sosial menjelaskan fenomena ini lebih jauh. Individu yang sudah “berfusi” dengan identitas agamanya tidak lagi membedakan antara “aku” dan “kami.” Ketika kelompok mereka diserang, rasa sakitnya terasa pribadi. Karena itu, meskipun seruan boikot terhadap Trans7 mungkin tampak politis, di dalamnya tersimpan reaksi emosional yang dalam yaitu cinta terhadap komunitas dan kebutuhan mempertahankan martabat yang ia yakini.
Pertahanan Identitas Sebagai Tanda Kasih dan Adaptasi Sosial
Dari dua perspektif di atas evolusioner dan sosial bisa disimpulkan bahwa mempertahankan identitas agama bukanlah hal irasional. Ia adalah bagian dari mekanisme bertahan hidup, baik biologis maupun emosional. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, di mana agama menjadi sumber moral publik, identitas keagamaan berfungsi ganda: sebagai jaring sosial yang menghubungkan, sekaligus benteng yang melindungi.
Namun, masalah muncul ketika cinta terhadap identitas memiliki kecenderungan mengarah gejala yang kurang adaptif. Evolusi budaya justru menunjukkan bahwa kelompok yang paling bertahan bukan yang paling keras, tapi yang paling adaptif—yang bisa menjaga nilai sambil tetap terbuka terhadap perubahan. Dalam konteks media seperti Trans7, idealnya bukan pertentangan, tetapi percakapan yaitu bagaimana keduanya bisa tetap menjaga kehormatan simbol agama sambil tetap menghormati kebebasan berekspresi.
Redaksi yang memberikan informasi dengan gaya “bar-bar” ini sudah dikritisi berbagai sudut. Akan tetapi, bagaimana selanjutnya? Perlu diketahui bahwasanya selain itu, ia juga hadir sebagai satu sudut yang melawan arus dari status quo yang selama ini jarang sekali disadari oleh masyarakat yang dominan.
Redaksi mungkin tampak sebagai pihak dominan di ruang media, tetapi dalam realitas sosial, suara masyarakat Muslim justru merupakan kelompok paling dominan dalam jumlah dan pengaruh.
Karena itu, permintaan maaf dari redaksi sering kali terlihat, tapi akan menjadi sia-sia—pesan utamanya tetap tak sampai ke lembaga yang ia ingin tuju. Mungkin sudah saatnya kita memprioritaskan persoalan utama yang ingin disampaikan media yaitu apakah pendidikan adab yang ditayangkan tersebut masih benar-benar diinginkan oleh publik dan jika ternyata kurang diinginkan oleh publik, bagaimana sikap dari lembaga pendidikan pesantren menanggapi isu ini?
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memegang tanggung jawab besar untuk menunjukkan dasar dan indikator keberhasilan dalam meningkatkan pengetahuan dan adab santrinya- sebagai tanggung jawab untuk mendidik warga negara atau calon generasi masa depan. Jika redaksi atau publik mengungkap bahwa nilai-nilai adab di masyarakat mulai bergeser, dan cara pengajaran adab pesantren yang ditayangkan dianggap kurang relevan di jaman sekarang bahkan memicu kekhawatiran di publik, lembaga pendidikan tersebut biasanya perlu berani meninjau kembali metode dan dampaknya. Dialog antara redaksi dan pesantren semestinya tidak berhenti pada permintaan maaf atau kecaman, tetapi berkembang menjadi percakapan yang terbuka yaitu bagaimana seharusnya pendidikan moral dibangun di tengah masyarakat yang berubah?
Karena pada akhirnya, mempertahankan identitas agama selain tentang menjaga simbol suci, ia juga berkaitan untuk memastikan nilai yang dibela itu tetap hidup, relevan, dan benar-benar secara praktek memberi manfaat bagi masyarakat yang mencintainya.
Saya mendukung pesantren terus hidup dan percaya diri tentang pengajarannya dan terus berkembang sebagai pemberi manfaat untuk solusi atas isu pendidikan yang relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Saya belum pernah mondok, tapi saya pernah ikut pengajian dan identitas agama bagi saya adalah salah satu ekspresi spiritual yang lama sudah melekat di dalam kehidupan saya dan kehidupan masyarakat. Besar harapannya saya sebagai warga sipil yang peduli isu pendidikan agar niat baik praktisi pendidikan dari lembaga resmi tetap memprioritaskan hak-hak penerima manfaat berbanding lurus dengan dampaknya demi mencentak generasi bangsa yang lebih baik.