Selasa, April 23, 2024

Mengapa Harus Golput?

Rizaldy Rahadian
Rizaldy Rahadian
Mahasiswa akhir Sejarah dan Peradaban Islam Uin Jakarta.

Wacana mengenai golput atau golongan putih ini selalu didengungkan ketika kita akan menghadapi suatu proses pemilihan presiden atau pemilihan legislative. Wacana ini tidak bisa dihiraukan begitu saja mengingat Indonesia adalah negara demokrasi. Dilihat dari sejarahnya, istilah golput ini sudah populer semenjak tahun 1971.

Ketika itu, Orba akan mengadakan pesta demokrasi mereka yang pertama pada tanggal 5 juli 1971. Dengan dibubarkannya partai politik seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), membuat animo masyarakat terhadap pemilu menurun.

Pada zaman ini, istilah golput bisa diartikan menurut padangan politis dan apolitis. Padahal pada kemunculan pertamanya, menurut ekspres edisi 14 Juni 1971 adalah sebuah gerakan untuk datang ke kotak suara dan menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan gambarnya. Nah, penusukan di area putih di sekitar gambar tersebut yang menjadikan suara tersebut tidak sah. Pemilihan golongan ini bukan tanpa sebab apolitis tapi lebih berdasarakan bentuk protes dan sifatnya lebih ke aspek ideologis.

Pada pemilu pertama di era orba tersebut, Ada delapan parpol lama, satu parpol baru, dan satu organisasi peserta Pemilu yang ikut Pemilu 1971. Parpol lama antara lain Partai Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Persatuan Tarbiah Islamiah (Perti), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Sementara parpol baru adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Muncul juga Golongan Karya (Golkar) untuk pertama kalinya sebagai peserta Pemilu.

Seperti yang ditulis oleh Tempo edisi 19 Juni 1971, Presidium dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) kala itu, Max Wajong, mendeklarasikan istilah yang berbunyi “menjadi penonton yang baik”. Tapi istilah tersebut belum dinamai sebagai golongan putih. Istilah golput itu nantinya dipopulerkan oleh Imam Walujo Sumali yang kala itu sebagai bekas Ikatan Mahasiswa Kebayoran.

Seperti yang ditulis majalah Tempo edisi 19 Juni 1971 dan juga yang telah dilansir dari Tirto.id, Imam menulis artikel tentang “Partai kesebelas untuk Generasi Muda”. Di situ Imam menamai Partai Kesebelas tersebut sebagai Partai Putih dengan gambar hanya putih polos.

Dari sejarahnya saja kita bisa melihat kalau golput itu dikarenakan ketidakpuasaan terhadap pemerintah yang kala itu dikuasai oleh rezim orde baru. Dan wacana golput ketika itu tidak digubris oleh rezim karena pada dasarnya mereka tidak menghendaki demokrasi. Nah, meskipun demikian, transformasi dari orde baru ke reformasi tidak serta merta meningkatkan kecenderungan masyarakat untuk ikut aktif dalam pemilihan.

Seperti yang dilansir dari Merdeka.com dan tirto.id, pada pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,6 persen dengan jumlah golput 7,3 persen, setelahnya, golput selalu melebihi angka 15 persen dari jumlah pemilih pada Pemilu legislatif maupun eksekutif. Pada Pemilu legislatif (Pileg) 2004, jumlah golput mencapai 15,9 persen. Angka itu meningkat pada pemilu presiden putaran pertama dan kedua.

Angka golput saat Pilpres 2004 mencapai 21,8 persen dan 23,4 persen. Pada Pileg 2009, jumlah golput meningkat hingga 29,1 persen. Pada Pilpres tahun yang sama, jumlah pemilih yang tak menggunakan suaranya berjumlah 28,3 persen. Keberadaan golput berlanjut di Pileg 2014, dengan 24,89 persen pemilih masuk kategori ini. Pada saat Pilpres 2014, angka golput mencapai titik tertinggi yakni 30 persen lebih dari jumlah pemilih.

Angka-angka statistik barusan mengindikasikan bahwa kecenderungan untuk tidak memilih (undecided-voters) masyarakat terus meningkat pada setiap putaran pilpres dan pileg. Hal ini cukup memprihatinkan karena pada dasarnya, orang yang menyatakan golput ini, baik dengan alasan politis maupun apolitis, akan beranggapan bahwasannya suara mereka tidak punya pengaruh terhadap dinamika kebijakan negara ke depannya.

Soalnya, para undecided-voters ini merasa bahwa parpol yang maju sebagai kontestan pemilu sama sekali tidak akan bisa merubah nasib golputers ini ke depannya. Anggapan bahwa parpol itu adalah sebuah dinasti yang ingin berkuasa tidaklah mengherankan.

Dinasti-dinasti kecil ini hanya mementingkan kesejahteraan kadernya dengan sedikit perhatian ke masyarakat kecil di luar kader mereka pada umumnya. Perubahan yang terjadi ketika sebelum dan sesudah menjabat, tidak seperti apa yang diharapkan. Kondisi ekonomi, politik, dan pendidikan cenderung stagnan kalau tidak mau disebut menurun.

Program-program yang dipromosikan juga tidak membuat ketertarikan masyarakat komunal. Justru diperparah dengan adu debat yang tidak bermanfaat. Munculnya campaign ad atau iklan kampanye seperti Nurhadi-Aldo disebabkan karena kegaduhan elite politik yang sibuk akan sentiment antar parpol dan paslon, daripada antar gagasan yang argumentative dan solutif.

Ruang publik disesaki oleh kampanye yang menarik secara emosional akan tetapi tidak menarik untuk dinalar. Akhirnya masyarakat lebih memilih untuk “menjadi penonton yang baik”. Penonton yang menghindari perdebatan tidak perlu, penonton yang memilih tontonan lebih lucu, dan penonton yang mendengar omongan lebih seru.

Dari situlah masyarakat Indonesia mengalami decline terhadap aspek political will masing-masing individu, sehingga impact-nya adalah semakin lesunya political contribution dari masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Tidak heran apabila tingkat apatisme masyarakat semakin melonjak.

Dan untuk golputers, walaupun kita tidak mempunyai pilihan yang cocok dengan hati nurani kita, pada dasarnya kita pasti tahu pilihan yang mudhorotnya tidak terlalu banyak. Istilah the lesser of two evils atau diantara kemungkinan yang buruk pasti ada yang lebih buruk antara satu dengan yang lain, mungkin bisa dijadikan landasan teori untuk menentukan pilihan kita.

Meskipun golput itu sah secara hukum yang mengacu pada pasal 28 UUD dan pasal 23 UU tentang HAM, akan tetapi nantinya untuk golputers, kalian tidak akan bisa mempertanyakan tentang suara yang telah kalian pilih untuk dipertanggung jawabkan oleh orang-orang yang telah kalian pilih. Karena jika hal tersebut terjadi, secara tidak sadar kalian telah bertindak immorality atau menurut etika politik itu dianggap tidak etis untuk dilakukan.

Jadilah pemilih yang tidak hanya cerdas tapi juga bijaksana. Mungkin jalan tengah adalah pilihan yang terbaik tapi itu belum tentu bijaksana. Mungkin menghindari obrolan politik yang terkadang membuat kita tidak suka dengan pilihan teman dekat kita atau bahkan keluarga kita itu yang terbaik tapi itu belum tentu bijaksana.

Kita dikaruniai akal pikiran dan perasaan oleh Tuhan karena kita bisa membedakan yang baik atau yang buruk. Segala keputusan memang patut untuk dihromati dan dihargai, tapi semua itu tetap mempunyai tanggung jawab dan konsekuensinya masing-masing. Walaupun tidak menemukan yang terbaik, setidaknya telah menemukan yang terburuk.

Rizaldy Rahadian
Rizaldy Rahadian
Mahasiswa akhir Sejarah dan Peradaban Islam Uin Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.