Jumat, November 28, 2025

Menganalisis Keefektifan KUHP baru bagi Indonesia

Ainul Ismah
Ainul Ismah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya
- Advertisement -

Selasa, 18 November 2025, DPR secara resmi mengesahkan Undang-Undang Kitabh Hukum Acara pidana (KUHAP) bersamaan denga KUHP yang akan berlaku mulai dari 2 Januari 2026. Reformasi hukum pidana Indonesia melalui pengesahan KUHP baru tentunya menjadi salah satu perubahan legislasi paling signifikan sejak masa kolonial.

KUHP yang terlah berlaku selama lebih dari satu abad akhirnya diperbarui dengan tujuan membangun sistem hukum yang lebih konstekstual dan mencerminkan nilai-nilai Indonesia modern. Namun, reformasi sebesar ini tidak hanya berdampak pada aspek legal, namun juga pada stabilitas sosial, keamanan domestik, dan bahkan reputasi Indonesia di panggung internasional. Lalu, seberapa efektif KUHP baru bagi Indonesia?

Untuk menilai sejauh mana keefektifan strategi ini, digunakan teori policy implementation effectiveness yang menawarkan kerangka analisis yang kuat dan komprehensif. Teori ini menekankan bahwa implementasi kebijakan yang efektif harus memenuhi beberapa indikator, yaitu clarity, administrative capacity, public acceptability, dan implementation outcomes.

Selain itu juga perlu menggunakan kacamata konsep Human Security, yang memusatkan pada keamanan manusia (people-centered) dimana saat memutuskan kebijakan, masyarakat tetap mendapatkan kebebasan berpendapat, privasi, dan rasa aman dari kriminalisasi berlebih. Dengan menggunakan teori-teori ini sebagai kacamata isu, kita dapat melihat bahwa keberhasilan KUHP baru tidak ditentukan oleh substansi hukumnya saja, melainkan juga oleh bagaimana negara menyiapkan strategi implementasi yang komprehensif dan responsif.

Dari aspek clarity, KUHP baru masih memunculkan berbagai persoalan interpretasi. Beberapa pasal yang menyangkut kohabitasi, penghinaan terhadap pemerintah, dan kebebasan berekspresi dipandang multitafsir. Dalam kebijakan publik, aturan yang tidak jelas akan menurunkan efektivitas implementasi karena aparat penegak hukum kesulitan menerapkan standar yang konsisten. Ketidakjelasan ini juga menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat memperkuat persepsi negatif, bukan hanya di tingkat domestik tetapi juga internasional. Kejelasan norma hukum merupakan syarat agar hukum dapat menjadi instrumen keamanan, bukan sumber potensi konflik.

lalu pada aspek administrative capacity, yaitu kesiapan institusi penegak hukum dalam menjalankan KUHP baru. Aparat kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan harus memahami paradigma hukum baru, sementara fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelatihan dan sosialisasi masih minim.

Teori implementasi kebijakan menekankan bahwa bahkan kebijakan terbaik sekalipun akan gagal apabila institusi yang menjalankannya tidak siap. Lemahnya kapasitas administratif berpotensi menciptakan variasi interpretasi di tingkat daerah, konflik antara hukum nasional dan peraturan daerah, hingga meningkatnya peluang penyalahgunaan wewenang. Tanpa peningkatan kapasitas institusional secara sistematis, implementasi KUHP baru berisiko memperburuk ketidakpastian hukum.

pada aspek ketiga, yaitu public acceptability, menjadi tantangan yang signifikan. Penolakan terhadap pasal-pasal tertentu telah muncul bahkan sejak tahap perumusan RUU KUHP. Demonstrasi dan protes-protes meningkat baik di sosial media maupun masyarakat yang turun langsung ke lapangan. Resistensi publik merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi legitimasi kebijakan.

Dalam teori policy implentation ini, kebijakan yang tidak diterima publik cenderung tidak efektif karena menimbulkan minim kepercayaan hingga hilangnya rasa percaya, resistensi, dan bahkan potensi ketidakstabilan sosial. KUHP baru, dengan pasal-pasal moralitas yang dianggap mengatur ranah privat, menimbulkan kekhawatiran dari kelompok perempuan, aktivis HAM, akademisi, hingga komunitas internasional. Tanpa dialog yang intensif dan edukasi publik yang memadai, efektivitas hukum akan terus dipertanyakan.

Implikasi KUHP yang baru tidak hanya akan berdampak secara nasional, namun juga pada ranah internasional. Kritik yang didesak secara domestik, dengan kekuatan globalisasi dapat berpotensi mempengaruhi global image Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung kebebasan sipil dengan memunculkan respons dari institusi internasional seperti PBB, Amnesty International, Human Rights Watch dan media global. Indonesia, sebagai negara berkembang seharusnya lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan, sebab negara-negara modern dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan norma internasional, termasuk hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.

- Advertisement -

Persepsi negatif terhadap KUHP dapat menghambat investasi, menurunkan daya tarik pariwisata, dan mempengaruhi hubungan diplomatik. Efektivitas strategi implementasi KUHP juga harus dipahami sebagai bagian dari strategi diplomasi hukum, bukan hanya persoalan domestik.

Implikasi lain muncul dalam aspek ekonomi-politik. Negara-negara dan investor global mengutamakan legal predictability, yaitu kepastian hukum yang menjamin bahwa regulasi tidak berubah secara tiba-tiba atau bersifat ambigu. Pasal-pasal moralitas dalam KUHP yang multitafsir berpotensi menciptakan keraguan bagi pelaku bisnis internasional. Dalam jangka panjang, ketidakpastian hukum dapat menghambat investasi asing, mengurangi pemasukan negara, dan melemahkan daya saing Indonesia di pasar global.

Keefektifan strategi implementasi KUHP baru juga dapat dilihat dari implementation outcomes. Meski baru disahkan dan direncanakan berlaku penuh pada 2026, tanda-tanda awal efektivitasnya masih belum terlihat kuat. Belum adanya pedoman teknis, SOP turunan, serta modul pelatihan yang seragam untuk aparat penegak hukum. Tidak sedikit masyarakat mulai mengekspresikan kekhawatiran mengenai potensi conflict of norms antara pasal-pasal KUHP baru dengan peraturan daerah berbasis budaya lokal atau syariat, dan hak-hak sebagai warga negara demokratis yang dapat menciptakan ketidakselarasan hukum.

Dampak KUHP baru terhadap keamanan nasional dapat dianalisis melalui konsep human security, yang menekankan bahwa keamanan negara bukan hanya tentang ketiadaan ancaman militer, tetapi juga tentang perlindungan terhadap kebebasan fundamental warga negara. Pasal-pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi atau mengkriminalisasi perbuatan tertentu dapat menimbulkan ketakutan dan menurunkan rasa aman masyarakat. Human security menempatkan warga negara sebagai pusat keamanan, sehingga jika implementasi KUHP baru melemahkan hak-hak individu, berarti ada ancaman terhadap keamanan nasional yang lebih luas.

Pada akhirnya, keberhasilan KUHP baru tidak hanya ditentukan oleh keberanian negara dalam melakukan reformasi, namun juga kemampuannya dalam mengimplementasikannya. KUHP baru dapat menjadi instrumen untuk memperkuat keamanan nasional jika dilaksanakan dengan strategi yang matang atau malah dapat menjadi bumerang jika dilaksanakan tanpa strategis tersebut. Dalam era dimana keamanan nasional semakin ditentukan oleh legitimasi domestik dan persepsi internasional. Efektivitas dari KUHP bukan sekedar persoalan hukum, melainkan bagian vital dari strategi keamanan dan stabilitas Indonesia ke depan.

Ainul Ismah
Ainul Ismah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.