Jumat, Maret 29, 2024

KUHP dan Peta Jalan Pelindungan Masyarakat Adat

Christian Rahmat
Christian Rahmat
Christian meraih gelar Sarjana Hukum (S.H.) dari Universitas Sumatera Utara pada tahun 2021.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sudah disahkan. Pasal kontroversial tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) masih dipertahankan. Kenapa para perumus bersikukuh mempertahankan pasal kontroversial ini di tengah perjuangan masyarakat adat yang masih sering tersendat?

Membincang living law memang hampir pasti berarti membincang masyarakat adat dan hukum adat. Meski living law sendiri tak serta-merta bisa disamakan dengan hukum adat. Dalam KUHP, ini jadi satu persoalan.

Tidak ada ada kejelasan perihal peristilahan. KUHP menyebutkan beberapa istilah yang dapat dimaknai sebagai living law, antara lain: hukum yang hidup dalam masyarakat, norma kesusilaan, nilai hukum dan keadilan, kewajiban adat, dan kewajiban adat setempat. Hal ini jelas mendistorsi pemahaman atas hukum adat serta mengacaukan posisi hukum adat dalam pluralisme hukum Indonesia.

Persoalan kedua, pengaturan living law dalam KUHP mereduksi esensi hukum adat, dan mengkerdilkan masyarakat adat. Hukum adat pada dasarnya tidak tertulis. Ini bukan sekadar karakteristik, melainkan esensi dari hukum adat itu sendiri. Bukan kita yang mencirikannya dari luar, melainkan ialah yang mencirikan dirinya sendiri dari dalam. Formalisasi dan kompilasi hukum pidana adat ke dalam Peraturan Daerah sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP akan menghilangkan esensi hukum adat itu sama sekali. Dan oleh karenanya tidak dapat lagi disebut sebagai hukum adat.

Hukum adat adalah sumber keteraturan dalam kehidupan masyarakat adat. Itulah kenapa ia bersifat fleksibel. Karena di atas segalanya adalah keteraturan kehidupan, bukan penghukuman. Sewaktu-waktu hukum adat dilanggar, masyarakat adat pada dasarnya akan mengedepankan pemulihan atas kerusakan yang diakibatkan oleh pelanggaran tersebut. Bukan menghukum si pelanggar secara membabi buta sebagai bentuk balas dendam.

Masyarakat Adat Onan Harbangan di Tapanuli Utara misalnya. Masyarakat adat ini menggantungkan hidup pada produksi getah kemenyan (haminjon) dari hutan adat mereka. Terkadang, ada saja yang kehilangan getah kemenyan. Dalam situasi semacam ini, Raja Patik (orang yang dipercaya menjaga ketertiban di wilayah hutan adat) akan melakukan investigasi. Begitu si pelaku diketahui, mekanisme hukum adat akan dijalankan. Pelaku diwajibkan membagi-bagikan sejumlah daging kerbau atau lembu kepada masyarakat.

Namun, sebelumnya, motif pelaku harus diungkap terlebih dahulu. Tak jarang, pencurian kemenyan ini didorong oleh kemendesakan pemenuhan kebutuhan pendidikan. Dalam kasus-kasus seperti ini, bisa saja ada penyesuaian pada sanksi adat yang dibebankan pada pelaku.

Intinya, tidak ada hukuman yang sedemikian berat yang harus ditanggung oleh pelaku, dan tidak ada tatapan yang sedemikian sinis dari masyarakat terhadap pelaku. Tidak ada dendam, tidak ada pembalasan. Terpenting adalah, pemulihan kehidupan. Inilah persoalan berikutnya dalam KUHP: hukum adat dikerdilkan sebagai dasar pemidanaan dan bentuk pidana alih-alih dipandang sebagai sumber keteraturan. Hukum adat dalam KUHP, dengan demikian, membuat orang semakin mungkin dijatuhi pidana alih-alih dijadikan dasar untuk membebaskan orang dari pidana dan mengutamakan pemulihan sebagaimana prinsip yang dianut masyarakat adat.

Hal ini juga sekaligus mengingkari komitmen pengarusutamaan keadilan restoratif (restorative justice) dalam peradilan pidana kita. Hukum adat adalah sebenar-benarnya keadilan restoratif. Tapi KUHP malah memosisikan hukum adat sebagai alat untuk memenjarakan orang. Rekonstruksi hukum adat dalam KUHP adalah rekonstruksi pilih-pilih (selective reconstruction). Bukan tak mungkin konstruksi hukum adat dalam KUHP kelak akan digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat itu sendiri.

Hal ini jadi persoalan keempat, yakni ancaman kebebasan berekspresi masyarakat adat. Di tengah karut-marut regulasi pelindungan masyarakat adat, KUHP justru membuka peluang kriminalisasi masyarakat adat. Hingga hari ini, kita tahu, regulasi yang diharapkan dapat melindungi masyarakat adat tak kunjung disahkan. Regulasi tersebut seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Anti Slapp (Strategic Lawsuit Against Public Participation).

Sementara, hingga hari ini pula, kita masih sering menyaksikan masyarakat adat berkonfrontasi dengan pihak yang menyerobot wilayah adatnya. Bahkan tak jarang masyarakat adat turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan dan tuntutannya. Dalam banyak kasus, masyarakat adat sangat rentan dikriminalisasi melalui regulasi di sektor kehutanan. Masyarakat adat yang coba menguasai lahannya gampang saja dituduh melakukan perusakan hutan, perambahan hutan, dan sebagainya.

Rumusan living law dalam KUHP hanya akan menambah alat kriminalisasi masyarakat adat. Tidak hanya regulasi di sektor kehutanan, kelak KUHP juga akan digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat oleh kelompok-kelompok yang ingin menjegal perjuangan masyarakat adat. Belum lagi konflik horizontal yang jamak terjadi di dalam masyarakat adat itu sendiri. Elitisme—yang pada gilirannya menciptakan relasi sosial yang timpang—yang terbangun maupun dibangun secara sengaja dalam masyarakat adat bisa membuka peluang diskriminasi dan kriminalisasi.

Pengaturan living law dalam KUHP sama sekali tidak menyasar masyarakat adat sebagai penerima manfaat. Apa yang didapat oleh masyarakat adat dari pengaturan living law dalam KUHP? KUHP justru mengeksklusi hukum adat dari ruang sosio-kultural di mana hukum adat itu hidup.

Rumusan living law dalam KUHP sedikit-banyak memperlihatkan, bahwa hukum adat tidak dipandang sebagai sumber keteraturan dalam kehidupan masyarakat adat, alih-alih sebagai aturan baku dan kaku untuk menghukum orang yang melakukan pelanggaran.

Padahal, masyarakat adat sendiri tidak memperlakukan hukum adat mereka dengan cara demikian. Hukum adat dalam masyarakat adat adalah untuk memulihkan stabilitas kehidupan mereka tanpa menekankan penghukuman atau pembalasan kepada pelaku. Karena dalam praktiknya, penerapan hukum adat dalam masyarakat adat tidak akan terlepas dari berbagai aspek kehidupan mereka.

Sebut saja kita punya peta jalan perlindungan masyarakat adat, seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Anti Slapp. Maka pengaturan living law dalam KUHP justru tidak sinkron dengan peta jalan ini. Sebaliknya, KUHP gagal melihat akar persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat adat selama ini. Masyarakat adat tidak akan terbantu perjuangannya melalui pengaturan living law dalam KUHP ini.

Kemendesakan dalam perjuangan masyarakat adat kita hari ini adalah pengakuan dan perlindungan atas wilayah adat mereka. Dan dalam proses perjuangan “merebut” kembali wilayah adat ini, tak jarang masyarakat adat jadi korban kriminalisasi.

Melihat kembali KUHP, living law, yang di dalamnya termasuk hukum adat, justru dicomot begitu saja oleh negara untuk memperkuat posisinya dalam memberikan hukuman kepada warga negara. Hal ini jelas menjadi ancaman nyata bagi perjuangan masyarakat adat di kemudian hari. Juga berpotensi kontraproduktif dengan kerja-kerja advokasi masyarakat adat di Indonesia. Hukum yang hidup (living law) tak perlu diatur dalam KUHP.

Christian Rahmat
Christian Rahmat
Christian meraih gelar Sarjana Hukum (S.H.) dari Universitas Sumatera Utara pada tahun 2021.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.