Akhir tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 Desember 2021 warga Lumajang dibuat panik dengan turunnya awan panas disertai dengan hujan deras di kaki Gunung Semeru hingga radius 20 km. Waktu yang saat itu menunjukkan sekitar pukul 14.30 WIB dalam sekejap langit menjadi gelap gulita.
Warga yang berada pada jarak terdekat dengan Gunung Semeru, yakni salah satunya Dusun Kamar Kajang berhamburan menyelamatkan diri. Bahkan sebuah video yang viral menunjukkan seorang anak kecil berlari menyelamatkan diri dari kepulan asap wedhus gembel yang tak jauh mengejar di belakangnya.
Hingga saat ini dilaporkan terdapat sebanyak 62 korban jiwa serta 3.844 pengungsi dengan setidaknya 1.027 rumah huni yang mengalami kerusakan. Menanggapi hal tersebut Bupati Lumajang yang akrab disapa Cak Thoriq ini, telah menyiapkan upaya relokasi pengungsi yang difasilitasi dengan hunian sementara (Huntara) dan hunian tetap (Huntap) dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, seperti fasilitas sekolah, fasilitas ekonomi, dan fasilitas kesehatan.
Tidak berjarak begitu jauh, lokasi yang dipilih berada di Desa Sumbermujur tepatnya di atas tanah milik Perhutani seluas 88,55 hektar yang telah dihibahkan. Cak Thoriq menargetkan akan ada 2.000 bangunan yang selesai sebelum Hari Raya Idul Fitri tahun 2022 nanti (sumber: lumajangsatu.com).
Relokasi pengungsi semeru merupakan salah satu bentuk forced migration atau migrasi terpaksa. Dalam konsepnya forced migration didorong oleh berbagai faktor, salah satunya bencana alam. Ketika sekelompok orang terancam keamanan insaninya, maka baik secara sukarela maupun terpaksa mereka akan berpindah menuju ke tempat yang dinilai lebih aman.
Akan tetapi, di daerah tujuan umumnya pengungsi akan dihadapkan pada permasalahan baru. Belum lagi pekerjaan rumah untuk bangkit dari trauma dan membangun kembali kehidupan sosialnya. Ibarat keluar dari mulut buaya kemudian masuk ke mulut harimau. Oleh karena itu, tidak jarang banyak pengungsi yang memilih untuk tetap tinggal di rumahnya.
Berkacamata pada kasus erupsi Gunung Semeru, relokasi ribuan pengungsi dapat dikatakan sebagai suatu exodus yang berpotensi menimbulkan konflik. Puluhan hektar tanah milik Perhutani bakal pemukiman baru mereka, ternyata telah lama dimanfaatkan oleh petani sekitar untuk berkebun.
Sebagai akibatnya, berbagai tanaman siap panen terpaksa rusak diratakan demi proyek darurat ini. Hal ini menunjukkan bahwa ada tumpang tindih pemanfaatan lahan. Meskipun status kepemilikan tanah secara resmi dikuasai oleh Perhutani, namun tidak ada solusi yang diberikan pemerintah sehingga bukan tidak mungkin kedepannya dapat berpotensi meletuskan konflik antara penduduk asli dengan pendatang atau pengungsi. Tidak hanya pada lahan, tetapi berbagai sumber daya alam lain yang konteksnya adalah milik bersama seperti sungai, dapat berpotensi menjadi sumber perebutan yang berujung pada terjadinya konflik.
Menyadari sebuah kenyataan bahwa rata-rata pengungsi semeru adalah petani tradisional, maka fasilitas ekonomi yang dibicarakan pada proyek relokasi perlu dipertanyakan. Lahan pertanian yang menjadi satu-satunya tulang punggung mereka, kini telah tersapu material vulkanik, sementara sejauh ini belum ada tanggapan yang diberikan pemerintah untuk memahami kondisi tersebut. Pengungsi yang telah terbiasa dengan kehidupan agraris tentu akan sangat sulit beradaptasi dengan bentuk pola nafkah yang baru.
Pada skenario terburuk, kebuntuan nafkah cenderung mendorong seseorang untuk melakukan berbagai upaya illegal, misalnya dengan merambah hutan hingga melakukan kejahatan. Selain itu, sebagai pendatang mereka akan dipertemukan dengan penduduk asli dalam persaingan ekonomi pada satu wilayah yang sama. Dalam berbagai kasus, situasi ini tidak jarang dapat memicu gesekan hingga konflik. Terlebih lagi jika ternyata pendatang tumbuh lebih sukses dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah sehingga akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Sama seperti entitas manusia pada umumnya, ribuan pengungsi bukanlah jumlah yang sedikit sebagai calon penghasil limbah. Timbunan sampah pada titik jenuh, ketika efek buruk yang ditimbulkan menyebarluas merupakan sebuah permasalahan bersama. Belum adanya antisipasi tata kelola sampah di antara warga akan mendorong ketidaktertiban perilaku membuang sampah. Untuk itu, masalah pengelolaan sampah juga menjadi potensi konflik selanjutnya. Ketegangan ini tidak hanya akan berkecamuk di antara para pengungsi, namun juga dapat melibatkan penduduk asli.
Upaya relokasi meskipun merupakan proyek darurat tetap harus diperhatikan secara holistic dan komprehensif, mulai dari persiapan hingga pasca-proyek. Tentunya, proyek ini tidak diharapkan untuk menimbulkan permasalahan baru. Penulis yakin pemerintah Kabupaten Lumajang telah memperhitungkan setiap langkahnya, akan tetapi fokus pada hal besar terkadang melewatkan hal-hal kecil yang pada suatu saat dapat menjadi permasalahan serius.
Proyek relokasi tidak hanya melibatkan pengungsi sebagai objek yang dipindahkan, akan tetapi perlu menangkap perspektif penduduk asli sebagai subjek penerima para pendatang/pengungsi ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun relasi sosial antara pengungsi dengan penduduk asli terutama dalam hal pengelolaan masalah dan sumber daya bersama.
Model pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan partisipasi aktif warga dapat menjadi langkah preventif atas terjadinya konflik. Dalam pengelolaan model ini, penduduk asli dan pengungsi bersama-sama membangun kelembagaan untuk menciptakan sistem pemanfaatan sumberdaya bersama secara berkeadilan dan berkelanjutan. Dengan demikian, tercipta hubungan baik antara kedua pihak sehingga potensi konflik dapat dihindarkan.