Pemungutan suara yang telah dilaksanakan beberapa hari lalu ternyata tidak menyudahi terbaginya dua kubu masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan pilihan dalam Pemilihan Umum (Pemilu).
Justru, ketegangan antar dua kubu meningkat dengan masing-masing calon menyelenggarakan “upacara” klaim kemenangan. Klaim kemenangan tersebut didasarkan pada hasil quick count lembaga survei atau exit poll lembaga internal. Peristiwa ini menambah bingung masyarakat awam dan semakin membelah masing-masing pendukung yang fanatik.
Padahal, real count yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berlangsung. Bahkan, rentetan proses penghitungan suara masih berjalan hingga 22 Mei 2019 mendatang.
Proses penghitungan suara yang lumayan lama ini adalah wajar jika melihat jumlah pemilih, persebaran pemilih, dan tingkat kerumitan administrasi karena menggunakan konsep Pemilu serentak yang merupakan “barang baru” di negara ini. Sehingga, seharusnya seluruh pihak dapat sedikit bersabar menunggu real count dari KPU ini,
Selain klaim kemenangan, proses penghitungan suara pun diwarnai dengan berbagai peristiwa lain, seperti kesalahan input oleh KPU, isu kecurangan, juga isu hoax provokatif terkait penyelenggaran Pemilu. Hal ini semakin menambah panas suhu politik baik di elite politik maupun di akar rumput, bahkan dapat menggiring pada upaya delegitimasi Pemilu.
Padahal, penegakan terhadap sengketa Pemilu sebenarnya telah diwadahi dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 (UU Pemilu). Sehingga, pihak yang merasa dirugikan ataupun merasa proses penyelenggaran pemilu tidak adil dapat membawa sesuai aturan hukum yang berlaku.
Di samping itu, para penyelenggara Pemilu serta penegak penyelesaian sengketa Pemilu harus lebih responsif apabila ada indikasi proses pemilu yang tidak adil atau curang sehingga masyarakat dapat percaya sepenuhnya pada upaya penyelesaian sengketa pemilu. Georgina T Wood yang dikutip oleh Ramlan Surbakti menyatakan bahwa, “suatu perangkat penting pengamanan integritas dan keadilan pemilu terletak pada penyelesaian dan penegakan hukum yang adil”.
Sistem Keadilan Pemilu
Sistem keadilan Pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Sistem keadilan Pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakberesan tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran.
Setiap tindakan, prosedur, atau keputusan menyangkut proses pemilu yang tidak sesuai dengan undang-undang termasuk dalam kategori ketidakberesan. Mengingat bahwa ketidakberesan dalam proses pemilu dapat menimbulkan sengketa, sistem keadilan Pemilu berfungsi untuk mencegah terjadinya ketidakberesan dan menjamin Pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Oleh karena itu, desain sistem keadilan Pemilu yang akurat sangat penting untuk menjamin legitimasi demokrasi dan kredibilitas proses pemilu.
Buku “Keadilan Pemilu: Buku Acuan International IDEA”, memberikan panduan bahwa setidaknya terdapat dua mekanisme dalam sistem keadilan Pemilu. Pertama, terkait pencegahan.
Pencegahan diusahakan dengan mendorong semua pihak untuk mengikuti ketentuan dan peraturan Pemilu melalui, a) kerangka hukum yang sederhana dan jelas; b) badan penyelenggara Pemilu dan penyelesaian sengketa Pemilu yang independen, profesional, dan tidak memihak.
Kedua, terkait metode formal dan informal dalam upaya penyelesaian sengketa Pemilu. Mekanisme formal dapa ditempuh melalui upaya korektif misalnya mengajukan dan memproses gugatan Pemilu.
Jika dilaksanakan, mekanisme ini akan menghasilkan keputusan untuk membatalkan, mengubah, atau mengakui adanya ketidakberesan dalam proses Pemilu. Selanjutnya, mekanisme penghukuman atau punitif misalnya dalam kasus pelanggaran pidana.
Jika dilaksanakan, mekanisme ini akan menjatuhkan sanksi kepada pelanggar, baik badan maupun individu yang bertanggung jawab atas ketidakberesan tersebut, termasuk tanggung jawab pidana atau administratif terkait dengan Pemilu. Sedangkan mekanisme informal, ditempuh melalui mekanisme alternatif. Mekanisme ini dapat dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Budaya Politik
Selain itu, faktor budaya politik juga mendorong perilaku taat hukum dan penghormatan terhadap norma demokrasi. Hal ini dapat membantu mengurangi potensi timbulnya sengketa Pemilu. Langkah rekonsiliasi dengan bertemunya dua calon menjadi solusi dalam meredam ketegangan yang terjadi di akar rumput.
Hal ini juga dapat menanggulangi penyebaran konten-konten provokatif di media yang disinyalir oleh Polri meningkat tajam sekitar 40% pada waktu Pemungutan Suara beberapa hari yang lalu. Para elite politik harus sedemikan rupa menahan langkah-langkah politik yang membelah dan menimbulkan ketegangan politik. Elite politik harus kembali merajut persatuan bangsa.
Sistem keadilan Pemilu dan pembangunan budaya politik yang bijak diharapkan dapat mewujudkan Pemilu yang damai. Sehingga isu kecurangan dan hoax provokaif terkait penyelenggaran Pemilu dapat dicegah dan diselesaikan sesuai hukum yang berlaku. Dampak positif lainnya yaitu dapat mengantisipasi terbelahnya masyarakat masing-masing pendukung secara ekstrim karena keadilan Pemilu dan politik yang tauladan dijamin sepenuhnya.