Dewan Perwakilan Rakyat terbilang cukup ngotot terhadap realisasi pembangunan gedung baru DPR. Kegigihan mereka untuk memiliki gedung baru sudah terlihat sejak tahun 2006 silam, berdasarkan data dari Tempo, tahun 2009 DPR sudah memiliki konsep gedung baru berbentuk huruf “U” terbalik yang terdiri atas 36 lantai. Gedung tersebut semakin dinilai mewah ketika diketahui akan memiliki kolam renang, pusat kebugaran, dan spa. Biaya yang dibutuhkan pada waktu itu berkisar Rp 1,6-1,8 triliun.
Pada bulan April 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pembangunan gedung baru tidak perlu dilakukan bila tidak sangat dibutuhkan. Namun Dewan tetap gigih melanjutkan rencana pembangunan gedung. Biaya pembangunan turun menjadi Rp 1,13 triliun. Namun pada bulan Mei, Ketua DPR Marzuki Alie akhirnya membatalkan pembangunan gedung.
Selang tiga tahun kemudian, usul pembangunan gedung baru mencuat kembali pada tahun 2014. Tahun 2015, DPR memastikan akan menjalankan proyek pembangunan gedung baru dilengkapi dengan perpustakaan, pusat penelitian, dan museum dengan biaya yang menghabiskan Rp 1,6 triliun.
Pada bulan Maret 2016, Ketua DPR Ade Komarudin mengusulkan pembangunan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara untuk anggota Dewan senilai Rp 570 miliar.
Berbagai rencana tersebut telah memancing emosi masyarakat. Dengan dana besar, ribuan rumah bisa dibangun untuk masyarakat Indonesia yang tidak mampu memiliki tempat tinggal sendiri. Dana tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai program sosial untuk kepentingan rakyat.
Wacana pembangunan perpustakaan yang akan diklaim terbesar di Asia Tenggara tentunya diharapkan bisa mengembangkan intelektualitas para anggota dewan dalam bekerja maupun melihat dan menyelesaikan berbagai persoalan sesuai dengan bidang komisinya melalui riset. Dengan adanya perpustakaan, anggota dewan tidak asal nyablak ketika menyampaikan suatu pandangan.
Namun kenyataan berbanding terbalik ketika melihat catatan Kompas terkait keberadaan perpustakaan di Gedung Nusantara II. Kompas (23/6/2016) menilai perpustakaan dengan koleksi 105.381 eksemplar buku, majalah, koran dan berbagai arsip peninggalan Belanda itu sepi pengunjung. Hanya kalangan peneliti dari pusat pengkajian dan pengolahan data DPR yang secara intens memanfaatkan fasilitas tersebut. Tentu jika realisasi perpustakaan tidak diimbangi dengan melek perpustakaan para anggota dewan, hal itu hanya sia-sia.
Presiden Joko Widodo pada tanggal 29 Februari 2016 mempertahankan moratorium pembangunan gedung baru lembaga Negara termasuk untuk DPR. Pada akhirnya pada 25 Juli 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui rapat bersama DPR memutuskan anggaran pagu DPR menjadi 5,7 trilun.
Persoalan gedung baru sebagai bagian dari penataan kawasan parlemen melalui anggaran pagu Rp 5,7 triliun kembali menimbulkan polemik, meskipun pihak parlemen menyebutkan bahwa proses pembangunan akan dilakukan pada tahun 2018 dengan anggaran senilai Rp 500 miliar.
Kesempitan, menjadi alasan utama anggota DPR untuk menjalankan proyek tersebut. Hal itu dikarenakan mengganggu kinerja para staf ahli, asisten dan sekretaris pribadi anggota dewan di ruangan 4×4 meter. Sementara anggota dewan menempati ruang 4×6 meter.
Beberapa lift di DPR yang sudah tua kerapkali juga mengundang ketakutan dan potensi kecelakaan bagi para penghuni gedung parlemen. Memang akan mengundang rasa iba, namun rasa iba itu bisa menciut ketika tidak diimbangi dengan kinerja yang membaik. Pasalnya, DPR selalu ‘konsisten’ memperoleh predikat lembaga negara dengan citra dan kinerja yang buruk. Hal itu semakin membuat publik mengernyitkan jidat dan menaikkan alis ketika DPR mengemukakan rencana itu.
Penelitian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia yang dirilis pada tahun 2013 menyimpulkan kinerja DPR RI periode 2009-2014 dinilai sangat buruk. Dari 519 anggotanya, 83,3 persen dinilai buruk, sedangkan yang dinilai berkinerja baik hanya 6,4 persen, dan 9,8 persen anggota DPR memiliki kinerja cukup.
Penelitian dilakukan berdasarkan dengan menganalisa berbagai sumber data, seperti dokumen resmi DPR, daftar hadir komisi, risalah rapat komisi, dokumen fraksi, dokumen partai, dokumen anggota, dan situs milik anggota DPR.
Sementara untuk mengukur kinerja, Formappi bergerak berdasarkan 6 indikator yakni melakukan kunjungan ke daerah pemilihan (dapil), memiliki rumah aspirasi di dapil, menghadiri rapat-rapat komisi, melaporkan harta kekayaan, dan melaporkan kegiatan selama masa sidang dan reses.
Tahun 2013, Institut Riset Indonesia mengeluarkan hasil jajak pendapat dengan hasil responden yang menjawab citra DPR tidak baik sebanyak 38,5 persen, semakin tidak baik 26,1 persen dan baik 29,2 persen, semakin baik 1,9 persen dan tidak menjawab 4,3 persen.
Citra buruk itu diperoleh atas respon publik terhadap anggota dewan yang dinilai tidak memiliki moral kuat, minimnya komitmen pemberantasan korupsi, tingkat kehadiran, hingga kinerja legislasi yang dilakukan oleh DPR.
Bahkan yang terbaru, Lembaga Polling Center bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi Indonesia Coruption Watch (ICW) mengeluarkan hasil Survei Nasional Antikorupsi 2017 mencatat DPR memiliki tingkat kepercayaan publik yang rendah. Hal itu dikarenakan citra buruk yang telah melekat lama serta ketidakmampuan publik dalam memperoleh transparansi kinerja setiap anggota DPR.
Beberapa respon publik yang telah disampaikan lewat berbagai survei harusnya menjadi cambuk anggota dewan untuk kapok dan malu terhadap predikat buruk dari berbagai sisi. Namun predikat itu rasanya tidak mempan ketika di tahun ini kita masih melihat beberapa anggota DPR terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Kasus megakorupsi KTP-el yang melibatkan Setya Novanto semakin mencoreng citra DPR selaku wakil rakyat. Terlebih beberapa anggota maupun pimpinan DPR yang cukup nyinyir dan konsisten ngeyel dalam menyampaikan pandangannya lewat berbagai pemberitaan. Tak jarang hal itu membuat publik sewaktu-waktu bisa emosi dengan tingkah laku anggota dewan.
Melihat kondisi kesempitan para anggota DPR dan para stafnya dalam bekerja membuat kita merasa maklum atas kebutuhan pembangunan gedung baru. Namun bukan berarti pembangunan tidak mempertimbangkan sisi moral dan efisiensi penggunaan anggaran yang cukup besar. Sementara di sisi lain, munculnya persepsi publik terhadap besaran anggaran yang masih bisa dialokasikan untuk keperluan yang jauh lebih produktif juga patut diperhatikan. Kepekaan dan moral anggota dewan akan diuji jika mempertimbangkan sisi tersebut.
Pemanfaatan anggaran yang cukup besar juga rasanya perlu diawasi secara ketat oleh lembaga masyarakat sipil ataupun lembaga pengawas seperti Pusat Pelaporan dan Transaksi Analisis Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rencana pembangunan yang diserahkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) rasanya patut diapresiasi agar proses pembangunan tetap menciptakan kelegaan di masyarakat karena anggaran bisa diawasi secara transparan serta menutup celah potensi korupsi proyek pembangunan gedung.
DPR juga harus memiliki kemauan untuk memperbaiki citra dan kinerja mereka yang dinilai buruk katika pembangunan gedung baru atau renovasi gedung DPR telah direalisasikan. Akan memalukan jika renovasi gedung yang dikatakan miring berhasil dilakukan, tidak memperbaiki kemiringan kinerja dan cara berpikir anggota dewan.
Sumber data:
DPR Bakal Bangun Gedung Baru, Harian Kompas, 12 Agustus 2017
DPR Sudah Minta Gedung Baru Sejak 2006, Tempo 11 Agustus 2017
DPR Ingin Bangun Perpustakaan Terbesar Se-Asia Tenggara, Kompas, 22 Maret 2016
Urgensi Membangun Perpustakaan Terbesar, Harian Kompas, 27 Maret 2017