Kamis, Maret 28, 2024

Menapaki Jejak Historis Filsafat Islam (2): Perkembangannya

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.

Jika di perhatikan, sangat banyak kacamata sinis memandang sebelah mata pemikiran Timur sebagai bukan filsafat melainkan sebagai agama, karena dianggap terlampau transenden, surealis, tidak logis dan irrasional, tidak sistematis juga tidak kritis. Jika memang demikian, tentu satu pertanyaan lugu segera bisa kita ketengahkan;

Apakah kriteria radikal (berpikir secara mendalam dan tuntas), sistematis, dan kritis memang berasal dari dan hanya bisa dilakukan oleh Barat? Logika paralel yang bisa diketengahkan adalah: apakah teori emanasi (faidl) al-Farabi, teori iluminasi (isyraq) Suhrawardi, konsepsi safar-nya Mulla Shadra yang ternyata tidak jauh beda dengan pemikiran dan ajaran Buddha, Konfusius dan Lao Tzu tidak termasuk filsafat?

Inilah yang kemudian layak disangsikan, karena memang seringkali kategorisasi filsafat dan bukan filsafat ditentukan oleh Barat yang cenderung selalu memaksakan kriteria-kriterianya terhadap Timur. Padahal, kita tahu al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina telah jauh menggumuli masalah klasik perbedaan antara esensi dan eksistensi ketika Barat masih belum kenal mandi dan buta huruf.

Justru pemikiran-pemikiran Timurlah yang banyak memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan melampaui pemikiran Barat, misalnya Konfusius Lao Tzu dan Siddharta Gautama, meski pemikiran mereka di satu sisi tidak jarang diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis, terkadang hanya dipahami dan ditafsirkan, untuk kemudian diamalkan sebagai way of life atau manhaj al-hayah.

Begitu juga, jika menilik fakta-fakta sejarah dan ilmiah dari tradisi berfilsafat itu sendiri, yakni: kritis, sistematis dan radikal. Maka tak disangsikan lagi bahwa filsafat Timur memenuhi segala kriteria filsafat. Barangkali, satu kegelisahan yang tidak mungkin kita tolak deru-deramnya adalah perbedaan filsafat Timur dengan Barat.

Telah mafhum kiranya, filsafat Barat sejak zaman Yunani kuno hingga post-modernisme menjadikan akal budi sebagai episentrum kajian, filsafat Timur tidak hanya berangkat dari akal budi, tetapi bahkan melampauinya dengan memberi apresiasi dan afirmasi pada roh, hati dan olah jiwa.

Hati, dalam tradisi Timur dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan rasio dan intuisi, serta inteligensia dan perasaan. Sementara, roh adalah spektrum dari kehadiran dan keabadian Tuhan dalam diri dan denyut kehidupan manusia yang serba temporer, cenderung muspra dan centang-perenang.

Konon, dalam berbagai Kitab Suci agama-agama disebutkan bahwa roh dan nafsu senantiasa bergumul dan berperang untuk menuntaskan metamorfosis dari kesejatian masing-masing dalam diri dan di luar diri. Tak mengherankan jika filsafat Timur menembus dinding-dinding waktu dan melintasi rotasi masa sekian ratus generasi untuk kemudian menginspirasi perjalanan sejarah manusia.

Tumbuh dan berkembangnya Filsafat Islam

Dalam teori Ali Sami al-Nasysyar, sesungguhnya, orang-orang Islam telah mengenal filsafat Yunani, tidak hanya pada Masa Abbasiyyah, namun telah ada sejak masa Dinasti Umayyah. Al-Nasysyar mengajukan 2 (dua) alasan penguatnya menyangkut kedinian masuknya filsafat ke dunia Islam.

Pertama, menurutnya telah terjadi kontak intelektual antara orang-orang Islam dengan pemuka-pemuka gereja di Syam dan Mesopotamia, karena pemuka-pemuka agama itu adalah guru-guru filsafat Yunani pada gereja-gereja dan biara-biara.

Kedua, bahwa Khalid bin Walid telah memerintahkan pakar-pakar Yunani yang tinggal di Iskandariyah (Mesir) untuk menerjemahkan Organon (Kitab Logika Aristoteles) ke dalam Bahasa Arab. Dua alasan ini kata al-Nasysyar menunjukkan fakta bahwa orang-orang Islam telah mengenal filsafat Yunani pada masa Bani Umayyah, pada abad pertama Hijriyah.

Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa lain di dunia hampir tak bisa dihindari sama sekali. Implikasi dari semua ini adalah, tidak adanya kemurnian budaya satu pun di dunia ini. Dan biasanya negara besarlah yang memiliki pengaruh dan bersifat hegemonik. Hanya, Islam memiliki originalitas dan otentisitas ajaran.

Oleh sebab itu, ketika Islam bersinggungan dengan budaya Yunani, Persi, China atau yang lainnya, maka tidak otomatis Islam di Yunanikan, di Persikan, di Chinakan dan lainnya. Islam datang pada permulaan abad ke-7 M, kemudian berkembang sampai ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol pada akhir abad tersebut.

Rupa-rupanya, pada wilayah ini peradaban yang sudah ada tetap dikembangkan dan disemangati oleh karakteristik ajaran Islam. Karena sesuai dengan watak ajaran Islam itu sendiri, yaitu memberikan kesempatan kepada pemeluknya untuk menyerap ide-ide dari banyak sumber. Kontak dengan wilayah baru itu menyebabkan umat Islam menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan juga China. Mereka mentransfer ilmu-ilmu tersebut dalam paradigma baru dan kemudian berkembang sehingga menjadi bagian dari peradaban Islam.

Setelah di integrasikan ke dalam struktur dasar yang berasal dari wahyu Tuhan. Warisan Yunani itu sendiri untuk sebagian besar merupakan campuran pandangan-pandangan kuno di sekitar Laut Tengah yang disistemasikan dan di susun dalam bentuk dialektika oleh orang-orang Yunani.

Dari Aleksandria (Mesir) warisan itu dibawa ke Antioch, kemudian ke Nisibis dan Edessa oleh orang Kristen Monofisit dan Nestorian hingga sampai Persia (melalui penterjemahan). Baghdad adalah sebuah kota yang merupakan pusat studi ilmu pengetahuan yang populer saat itu. Di kota ini berdiri lembaga ilmu pengetahuan yang bernama Bayt al-Hikmah.

Pusat studi yang pada mulanya lahir di Yunani berpindah ke Iskandariyah dan selanjutnya ke Antioch dan berakhir ke Kota Harran pada zaman khalifah al-Mu’tadhid Billah. Ia penguasa yang pemberani dan enerjik. Sebelum ia diangkat sebagai khalifah, ia sudah memiliki kekuasaan tinggi, dan berlanjut sebagai khalifah ia sanggup mengatur pemerintahan. Mesir kembali ke pangkuan khilafah.

Pusat studi tersebut berpindah dari Harran ke Baghdad. Di antara guru besar filsafat yang mengajar di Baghdad saat itu antara lain: Quwairi, guru Abu Basyar Matta dan Yuhanna Ibn Hilan, guru al- Farabi. Dari sinilah kemudian bermunculan para filosuf Muslim dari al-Kindi hingga al-Ghazali.

Sebenarnya kaum muslimin pada masa permulaan Islam tidak bermaksud untuk menukilkan filsafat secara langsung, dengan asumsi yang demikian itu belum dianggap penting, bahkan mereka tidak bermaksud menukilkan ilmu asing. Bilamana ada ilmu-ilmu asing yang telah merembes ke Arab (Islam), hal itu karena adanya hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa sekitarnya.

Hubungan itu telah terjadi pada masa Jahiliyah walau hanya dalam batas tertentu. Sehubungan dengan perpindahan ilmu asing ke Arab pada permulaan Islam, ada suatu cerita yang menarik. Konon pada zaman Rasulullah sudah ada dokter yaitu, Al-Haris Ibn Kildah as Saqafi. Ia dikenal sebagai dokter Arab.

Perlu juga dicatat, bahwa perpindahan ilmu kedokteran dari Yunani ke Jundishapur, serta penerjemahan buku-buku kedokteran ke bahasa Suryani adalah setelah dibangunnya Iskandariyah (Mesir), kota yang menjadi pusat peradaban Yunani. Pada masa kejayaan Iskandariyah ini banyak ilmuawan yang bermunculan di sana.

Mereka itu antara lain adalah Archimedes, Ptolemy, Galen, Euclid dan lain-lain. Mereka telah meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, seperti ilmu geometri, astronomi dan kedokteran. Iskandariyah selanjutnya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan sampai pada abad ke-6 Masehi.

Di sana lahir para ilmuwan generasi kedua yang menyusun kembali, memperbaiki dan menyiapkan buku-buku para ilmuwan generasi sebelumnya untuk diajarkan kepada generasi selanjutnya. Dari generasi kedua inilah orang-orang Arab menukilkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Demikianlah halnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pindahnya filsafat ke Arab adalah setelah Iskandariyah dibangun dan menjadi pusat ilmu pengetahuan, dimana orang-orang Arab menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat baik dari bahasa Yunani maupun dari bahasa Suryani kedalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan orang-orang Arab pada mulanya bukanlah bertujuan untuk mempelajari filsafat.

Sebagai penutup, tahapan-tahapan masuknya filsafat ke dunia Islam, tidaklah berlangsung sekaligus. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya ada 3 tahapan masuknya filsafat ke dunia Islam. Tahap pertama, tahap pemula, yakni tahap penerjemahan filsafat Yunani ke bahasa Arab (abad I H / 7 M).

Tahap kedua, tahap keaktifan terjemahan (abad ke- 8 M). Tahap ketiga, tahap produktif (abad ke-9 M), yang melahirkan para pakar dan filosof di dunia Islam (abad ke-9 M). Pada saat inilah khalifah Abbasiyyah, al-Ma’mun mendirikan pusat pengajaran dan penerjemahan yang terkenal di dalam sejarah Islam, yaitu Wisma Kearifan (Bayt al-Hikmah), pada tahun 215 H/ 830. Harun Nasution menyebut di lembaga itu terdapat 90 orang ahli penerjemah.

Singkatnya, filsafat dalam Islam muncul atau lahir secara tidak langsung. Berbeda dengan kalam, tasawwuf, dan fiqh misalnya, yang menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai “point of center” dari keilmuan mereka. Filsafat Islam justeru memakai (terutama) Filsafat Yunani sebagai dasar konstruksi teoritisnya, paling tidak untuk melegitimasi iman pada al-Qur’an. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.