Kamis, Maret 28, 2024

Menakar Potensi Resesi Ekonomi Nasional 2023

Abi Fadillah
Abi Fadillah
Penulis adalah Peneliti Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada

Prediksi resesi ekonomi pada tahun 2023 telah memicu perbincangan panas pada media massa dan mainstream di dunia. Faktor-faktor yang memungkinkan resesi itu terjadi berasal dari ketidakpastian ekonomi global diantaranya dampak perang Rusia-Ukraina, inflasi barang dan jasa, tingginya suku bunga, serta depresiasi mata uang di beberapa negara berkembang.

Situasi demikian menimbulkan kekhawatiran pemerintah di berbagai negara belahan dunia dan memandang perekonomian global memberikan dampak negatif terhadap ekonomi domestik di negara mereka.

Dalam kasus yang sama, pemerintah Indonesia telah menyatakan terkait ancaman resesi global di tahun 2023 mendatang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Presiden Jokowi bahwa masyarakat Indonesia harus ekstra hati-hati karena tahun depan ekonomi akan berada pada masa krisis.

Namun, apakah kekhawatiran tersebut akan terbukti bagi ekonomi nasional pada tahun depan ? atau mungkin pemberitaan tersebut terlalu dilebih-lebihkan ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada dua hal yang harus di pahami. Pertama, masyarakat harus tahu dan paham apa yang dimaksud dengan resesi ekonomi. Kedua, seberapa besar potensi ekonomi nasional akan masuk dalam jurang resesi di 2023.

Salah satu mata kuliah penting yang ada pada bidang ilmu ekonomi yaitu adalah “Ekonomi Makro”. Ekonomi makro sangat jelas sekali membahas terkait siklus bisnis, yang terdiri dari empat fase yaitu pertumbuhan (growth), puncak (peak), resesi (recession), dan depresi (depression).

Dari keempat fase tersebut, hanya fase depresi yang belum di alami oleh Indonesia. Berkaitan dengan itu, kita dapat menggambarkan fluktuasi perekonomian nasional dari tahun 1987 hingga 2022. Awalnya, ekonomi berada pada fase pertumbuhan dari tahun 1987 hingga 8.2 persen di tahun 1995, yang mencapai titik puncak.

Namun, ekonomi nasional bertahap mengalami fase menurun (decline) hingga pada akhirnya harus menelan kebuntuan yang berbuah krisis ekonomi 1998. Seiring dengan berbagai kebijakan, ekonomi nasional bounceback pada pertumbuhan yang positif pasca krisis 1998.

Sayangnya, setelah beberapa dekade kemudian, ekonomi nasional kembali berfluktuasi hingga akhirnya menelan kemunduran perekonomian akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Tahun tersebut merupakan tahun petaka bagi ekonomi Indonesia, pasalnya rata-rata pertumbuhan pada tahun 2020 hanya -2.1 persen. Di tahun tersebut pula ekonomi nasional harus mengalami resesi, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang dua kali negatif selama dua triwulan berturut-turut.

Fenomena yang dijelaskan itu disebut “siklus bisnis”, suatu kondisi yang di alami oleh semua negara termasuk Indonesia. Siklus bisnis terjadi akibat guncangan faktor internal dan eksternal.

Untuk prediksi resesi 2023 menunjukkan kasus yang disebabkan dari faktor eksternal, yang dalam hal ini dapat membuat ekonomi negara berkembang terkena imbas dari perlambatan ekonomi global. Salah satu kasus yang di anggap menjadi ancaman bagi ekonomi nasional adalah kenaikan tingkat bunga bank sentral Amerika Serikat.

Baru-baru ini The Fed meningkatkan tingkat bunga acuan sebesar 75 bps ke angka 4 persen per November 2022. Kenaikan tingkat bunga tersebut memicu adanya aliran modal keluar (capital outflow) dan depresiasi terhadap mata uang Rupiah terhadap Dollar.

Faktor lainnya adalah kenaikan inflasi barang dan jasa di beberapa negara mitra dagang Indonesia. Kasus demikian dapat berpotensi terhadap kenaikan harga barang impor yang semakin tinggi. Ketika harga barang impor semakin mahal, secara otomatis kontribusi sektor impor akan berkurang terhadap persentase bobot pertumbuhan ekonomi.

Dari dinamika di atas, apakah Indonesia dapat bertahan dengan berbagai guncangan ekonomi global tersebut ? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 5.72 persen (y-o-y) per Triwulan III 2022.

Secara tahunan, ekonomi nasional menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat menuju ke arah pemulihan. Hal tersebut ditandai dengan semua sektor PDB lapangan usaha tumbuh positif, kecuali sektor jasa kesehatan yang masih negatif pada angka – 1.74 persen.

Bahkan, seluruh leading sector seperti industri, pertambangan, pertanian, perdagangan, dan konstruksi tumbuh pesat dengan distribusi hingga 66.18 persen dari total distribusi PDB lapangan usaha. Pada PDB sektor pengeluaran menunjukkan semua kenaikan sektor kecuali, konsumsi pemerintah yang negatif 2.88 persen. Komponen tertinggi berasal dari ekspor dan impor yang tumbuh hingga di atas 20 persen, yang membuat neraca perdagangan Indonesia surplus hingga US$ 4.99 di triwulan III 2022.

Sedangkan, ekonomi nasional juga mengalami pertumbuhan yang cukup baik secara triwulanan. Hampir semua sektor PDB lapangan usaha tumbuh positif dan memberikan kontribusi pertumbuhan hingga 1.81 persen (q-to-q).

Demikian juga dari sisi PDB sektor pengeluaran yang masing-masing tumbuh positif, kecuali sektor pengeluaran konsumsi rumah tangga yang negatif – 0.30 persen. Sektor konsumsi yang tumbuh negatif disebabkan oleh lemahnya daya beli masyarakat akibat dari kenaikan harga BBM dan biaya bahan dasar pokok. Penurunan sektor konsumsi sangat sejalan dengan tingkat inflasi IHK Indonesia yang saat ini berkisar 5.71 persen.

Semua kondisi ekonomi nasional di atas jelas sekali menggambarkan bahwa ekonomi nasional berada pada tahap pertumbuhan yang baik. Apakah mungkin dengan kondisi ekonomi yang baik itu dapat membuat ekonomi nasional resesi pada tahun 2023?

Jika kita analisis secara growth diagnosis, pemerintah seharusnya menargetkan pertumbuhan pada batas yang aman dan terkendali. Beberapa minggu lalu, International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi Indonesia mencapai pertumbuhan hingga 4.7 persen pada tahun 2023.

Artinya, ekonomi nasional tetap tumbuh walaupun terkontraksi. Kontraksi yang diperkirakan oleh IMF tentu saja berasal dari faktor global yang telah disebutkan di atas.

Sejalan dengan hal itu, pemerintah juga telah memprediksi ekonomi nasional melalui asumsi APBN 2023, yang menargetkan pertumbuhan hingga 5.3 persen (y-o-y). Target sebesar 5.3 persen mengharuskan Indonesia mencapai PDB harga konstan sekitar Rp 2.900 triliun s/d Rp 3.000 triliun untuk setiap triwulan pada tahun 2023. Dari kisaran tersebut, Indonesia akan memperoleh total PDB harga konstan sekitar Rp 11.600 triliun untuk satu periode.

Jumlah prediksi PDB harga konstan itu sama seperti PDB harga konstan yang telah dicapai oleh Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Bayangkan, total PDB harga konstan Indonesia berkisar dari Rp 10.723 triliun hingga Rp 11.118 triliun dari 2019 hingga 2021.

Statistik tersebut telah menggambarkan bahwa ekonomi nasional cukup berpotensi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan oleh pemerintah, asalkan kinerja makroekonomi dapat menyentuh fundamental ekonomi nasional dan tumbuh secara inklusif pada tahun depan. Oleh karena itu, berita terkait resesi ekonomi pada tahun 2023 merupakan isu elitis dan tidak perlu terlalu khawatir akan hal itu. Namun, tidak dapat menutup kemungkinan ekonomi nasional akan terjebak dalam jurang resesi dengan berbagai kondisi.

Abi Fadillah
Abi Fadillah
Penulis adalah Peneliti Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.