Peluncuran layanan pengaduan “Lapor Pak Purbaya” melalui nomor WhatsApp 0822-4040-6600 oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa telah menciptakan efek kejut di lingkungan birokrasi fiskal dan menuai pujian dari publik. Inisiatif yang resmi diaktifkan pada 15 Oktober 2025 ini, berfungsi sebagai kanal langsung untuk keluhan masyarakat terkait masalah pajak dan bea cukai, termasuk aduan terhadap perilaku maladministrasi atau penyimpangan petugas. Hal ini mencerminkan semangat akuntabilitas dan responsivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Namun, dari sudut pandang tata kelola pemerintahan yang baik, layanan yangsangat bergantung pada sosok pribadi dan saluran komunikasi informal inimemunculkan dilema fundamental: antara tuntutan kecepatan respons publik dengankewajiban mematuhi asas legalitas dan prosedur baku administrasi pemerintahan.
Tren Pengawasan Personal dan Tumpang Tindih Kewenangan
Layanan “Lapor Pak Purbaya” bukanlah fenomena baru. Gaya komunikasi dan pengawasan yang dipersonalisasi ini mengikuti pola serupa yang digunakan pejabat tinggi lainnya, seperti “Lapor Mas Wapres”. Pola ini muncul karena masyarakat cenderung lebih percaya bahwa pengaduan mereka akan ditindaklanjuti secara serius jika langsung mencapai perhatian pimpinan tertinggi.
Dalam tata kelola pemerintahan, langkah Menkeu Purbaya dapat dibenarkan sebagai bentuk diskresi dan pelaksanaan Pengawasan Melekat (Internal Control). Sebagai bestuursorgaan (badan/pejabat tata usaha negara) tertinggi di kementerian, ia berhak mengambil kebijakan yang dianggap paling efektif untuk menjamin kualitas pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Menkeu Purbaya sendiri mengonfirmasi bahwa layanan ini dikelola oleh tim khusus yang bertugas memvalidasi laporan dan memilih aduan yang paling signifikan untuk ditindaklanjuti, tujuannya untuk menghindari laporan yang hanya “capek-capekin saya aja,” mengutip ungkapan khas Purbaya.
Meski dianggap meniru jejak Wapres, terdapat perbedaan esensial. “Lapor Pak Purbaya” memiliki fokus yang sangat spesifik (Pajak dan Bea Cukai) dan didukung oleh kewenangan langsung Menkeu untuk menindak internal. Berbeda dengan layanan personal Wapres yang bersifat lebih koordinatif lintas sektor, layanan Menkeu memiliki potensi kekuatan eksekusi yang lebih besar, namun juga risiko tumpang tindih yang lebih tinggi dengan sistem pengaduan yang sudah mapan, seperti LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat) yang merupakan sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional dan fungsi pengawasan Ombudsman RI.
Perbandingan ini penting untuk menilai sejauh mana pendekatan personal dapat bertahan dalam sistem hukum administrasi yang bersifat impersonal.
Ujian Hukum: Kepatuhan pada Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
Efektivitas sejati sebuah instrumen pengawasan diukur dari kemampuannya untuk beroperasi secara berkeadilan dan terlembaga, sesuai dengan AUPB yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pernyataan tegas Menkeu Purbaya, “Kalau petugasnya yang salah kita sikat petugasnya, kalau yang lapor yang salah kita hajar yang lapornya,” menunjukkan komitmen kuat terhadap asas profesionalitas dan asas keadilan. Namun, pernyataan ini menyimpan dua tantangan hukum utama:
- Risiko Pelanggaran Due Process (Prosedur Hukum): Kecepatan yang dijanjikan berisiko mengabaikan prosedur hukum yang ketat. Meskipun pengaduan melalui WhatsApp dianggap sebagai pemantik atau informasi awal yang telah disaring tim, penjatuhan sanksi kepada petugas harus melalui proses pemeriksaan yang cermat, mendalam, dan terverifikasi oleh aparat pengawasan internal, memberikan kesempatan bagi pihak yang diadukan untuk membela diri. Penindakan yang didasarkan pada laporan informal, tanpa didukung Berita Acara Pemeriksaan (BAP) formal dan bukti nyata, rentan digugat sebagai tindakan sewenang-wenang.
- Ancaman terhadap Whistleblowing: Meskipun berniat baik untuk mencegah laporan palsu, ancaman “menghajar pelapor” berpotensi menimbulkan efek gentar (chilling effect). Efektivitas whistleblowing system sangat bergantung pada asas perlindungan pelapor yang dijamin oleh undang-undang. Kekhawatiran akan dibalas (retaliation) dapat menghambat masyarakat yang berniat baik namun memiliki keterbatasan alat bukti, sehingga mengurangi volume laporan berkualitas yang masuk.
Efektivitas Jangka Panjang dan Kelembagaan
Dalam jangka pendek, layanan ini sangat efektif memberikan efek kejut dan meningkatkan citra kementerian. Namun, efektivitas dalam jangka panjang perlu dipertanyakan dari sisi kelembagaan. Layanan yang melekat pada nama pribadi pejabat akan menjadi rapuh dan tidak berkelanjutan.
Prinsip administrasi pemerintahan menghendaki sistem pengawasan yang permanen dan berbasis institusi, bukan berbasis personalitas. Tanpa Standard Operating Procedure (SOP) yang formal dan Peraturan Menteri yang mengikat, nomor WhatsApp ini berpotensi menjadi “layanan musiman” yang akan mati begitu Menkeu berganti.
Kesimpulan dan Rekomendasi Hukum
Layanan “Lapor Pak Purbaya” adalah alat pengawasan inovatif, sekaligus menjadi cerminan dari tuntutan masyarakat akan birokrasi yang lebih terbuka. Namun, agar tidak sekadar menjadi gimmick politik yang hanya efektif sesaat, layanan ini harus segera diangkat statusnya dari inisiatif pribadi menjadi Sistem Administrasi yang Terintegrasi secara Legal.
Rekomendasi hukum yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Legalisasi dengan Permenkeu: Melembagakan layanan ini melalui Peraturan Menteri Keuangan yang secara eksplisit mengatur prosedur validasi, waktu respons, dan alur penindakan yang sinkron dengan UU Administrasi Pemerintahan.
- Dualisme Sistem: Menggunakan WhatsApp sebagai front-end yang ramah pengguna, tetapi memastikan back-end (proses validasi, tracking laporan, dan pengarsipan) terintegrasi dengan sistem pengaduan resmi Kemenkeu yang menjamin kerahasiaan pelapor dan prosedur hukum yang cermat bagi pihak yang diadukan.
- Jaminan Perlindungan: Memastikan narasi publik dan prosedur internal secara tegas menjamin perlindungan bagi pelapor yang beritikad baik, sehingga layanan ini menjadi saluran pengawasan yang kokoh dan berkeadilan.
Layanan ini adalah peluang emas untuk memperbaiki birokrasi fiskal. Akan tetapi, harus berjalan di atas landasan hukum yang kuat agar tujuan utamanya untuk menciptakan administrasi negara yang akuntabel dan berkeadilan dapat tercapai secara berkelanjutan.
