Jumat, Maret 29, 2024

Menakar Efektifitas Pemilu Proposional Terbuka dan Tertutup

Muhammad Alief Farezi
Muhammad Alief Farezi
Fresh Graduate, Law Faculty, University of Lampung

Menjelang Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024, hingga saat ini masih menjadi perdebatan terkait sistem pelaksanaan pemilu yang ideal untuk diberlakukan pada kontestasi politik tahun 2024.

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi batu berpijak pelaksanaan pemilu di Indonesia telah menunjukan jika kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam kegiatan pemilu, rakyat dapat memilih langsung siapa wakil yang dikehendakinya.

Besarnya suara pilihan rakyat menunjukan tingginya legitimasi politik yang diperoleh para calon legislative yang berkontestasi. Hal itu juga yang sebenarnya menjadi latar belakang diterapkannya sistem proposional terbuka pada Pemilu di Indonesia, bahwa rakyat bebas untuk memilih dan menentukan calon anggota legislative yang dipilih.

Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD, provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka. Adapun Belum lama ini sistem proposional terbuka telah dilakukan judicial review yang tercatatat pada perkara nomor 114/PUU-XX/2022 yang melakukan pengujian atas UU Pemilu khususnya pada Pasal 168 ayat (2) yang mengatur terkait pengaturan sistem proposional terbuka.

Pemohon menilai sistem proposional terbuka pada Pemilu 2019 telah mengkerdilkan organisasi partai politik dan pengurus partai politik, hal ini dikarenakan dalam menentukan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar celeg yang dipersiapkan partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak perseorangan.

Pemohon beranggapan sistem tersebut telah menyebabkan para caleg merasa jika partai politik hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.

Perlu diketahui, secara historis sistem proposional terbuka lahir pada Pemilu Tahun 2009 dilatarbelakangi atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24-24/PUU-VI/2008, dalam ratio decidendi putusan tersebut mahkamah memberikan tafsir konstitusinal terkait pelaksanaan pemilu dengan sistem proposional terbuka yakni dasar filosifis dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapatkan suara secara berurutan, dan buka atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Caleg. Berdasarkan pendapat mahkamah tersebutlah kemudian yang melatar belakangi pelaksanaan proposional terbuka dalam sistem pemilu di Indonesia.

Pelaksanaan proposional terbuka kala itu dipercaya secara konstitusional dapat memberikan kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan bagi setiap peserta pemilu.

Pelaksanaan sistem proposional terbuka yang melibatkan langsung rakyat dalam memilih calon legislatif dipercaya dapat mecegah terjadinya konflik internal partai politik peserta Pemilu, sehingga penyelenggaraan Pemilu dapat berjalan lebih adil, jujur, dan beratnggung jawab.

Sistem Proposional terbuka yang telah berjalan selama 3 kali periode Pemilu tentu memberikan catatan tersendiri. Berdasarkan catatan Evaluasi Pelaksanaan Pemilu di Indonesia dengan sistem proposional terbuka sebagaimana yang telah dikaji dalam naskah akademik Undang-Undang Pemilu terdapat beberapa kelemahan pelaksanaan pemilu proposional terbuka diantaranya:

  • Prosedur dan mekanisme suara rakyat menjadi kursi legislatif terlalu komplek sehingga membingungkan pemilih (Jumlah aggota legislatif terlampaui banyak)
  • Proses rekapitulasi hasil penghitungan suara yang memakan waktu lama
  • Proses transaksi jual beli suara (money politic) sering kali terjadi pada sistem proposional terbuka
  • Dalam instrument demokratisasi, sistem proposional terbuka menyebabkan terjadinya kontradiksi antar unsur sistem Pemilu.

Kajian tersebut tentu dengan pertimbangan yang jelas mengingat bangsa Indonesia telah melakukan sistem proposional terbuka pada 3 periode Pemilu tahun 2009, 2014, dan 2019.

Prof. Jimly Asshiddiqie yang pada tahun 2014 menjabat sebagai ketua DKPP menilai penyelenggaraan Pemilu 2014 banyak melahirkan beragam permasalahan, akibat penerapan sistem proposional terbuka.

Penyelenggaraan Pemilu 2014 pun dinilai lebih buruh dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu 2009. Beberapa praktik politik kotor merajalela di masyarakat, hal itulah yang sulit dicegah dari pelaksanaan Pemilu proposional terbuka,

Namun, terlepas daripada kekurangan yang ada, sistem proposional terbuka telah memberikan banyak hal baik dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia seperti meningkatnya jalinan komunikasi secara langsung antar caleg dan pemilih, sistem proposional terbuka menutup ruang oligarki partai politik, proses rekrutmen politik yang lebih demokratis, hingga sistem ini pula yang membuka kesempatan bagi calon legislatif perempuan untuk turut serta terlibat dalam politik dan pemerintahan.

Sementara itu, ada baiknya melihat dinamika hukum pemilu dari sudut pandang lain. Pada perjalanan pelaksanaan Pemilu di Indonesia, tepatnya pada Pemilu orde baru dan masa reformasi pada tahun 2004 pelaksanaan proposional tertutup adalah sistem pemilu yang melekat pada waktu itu.

Adapun berdasarkan kajian pemilu terdahulu, sebenarnya sistem proposional tertutup bukan berarti adalah sistem sempurna tanpa noda. Hal itulah yang melatar belakangi perubahan sistem pemilu legislatif pada tahun 2009. Beberapa kelemahan yang ada pada sistem proposional tertutup diantaranya:

  • Praktik money politic yang justru dilanggengkan, hal itu dapat terjadi pada pemilihan nomor urut calon legislatif
  • Munculnya peristilahan raja-raja baru pada internal partai politik
  • Kekuasaan oligarkis semakin mengakar
  • Sistem demokrasi yang merepresentasikan kedaulatan rakyat dapat memudar

Sebenarnya secara normatif telah diatur sanksi yang diterima bagi pihak yang melakukan pelanggaran money politic dalam proses Pemilu.

Pasal 284 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, memilih pasangan calon tertentu, memilih partai politik peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu, sesuai dengan Pasal 286 maka akan dijatuhkan sanksi administrasi.

Berdasarkan ketentuan tersebut sebenarnya memang terdapat sanksi yang melekat atas pelanggaran money politic yang terjadi, namun harus diakui jika memperhatikan Pasal 286 ketentuan sanksi yang ada sulit untuk dibuktikan dan terlampau longgar apabila dibandingkan dengan tingkat keberhasilan money politic oleh pihak yang berkepentingan.

Pada akhirnya harus dikatakan jika model Pemilu dan demokrasi apapun haruslah senantiasa mengedepankan daulah rakyat atas, itulah yang menjadi ejawantah nilai kerakyatan, permusyawaratan, dan hikmat-kebijaksanaa dalam landasan filosofis dibentuknya undang-undang Pemilu.

Muhammad Alief Farezi
Muhammad Alief Farezi
Fresh Graduate, Law Faculty, University of Lampung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.