Rabu, April 24, 2024

Memperjuangkan Warisan Sumpah Pemuda

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

28 Oktober 1928 cikal-bakal lahirnya gerakkan pemuda Indonesia. Meskipun gerakan pemuda sudah mulai tumbuh jauh sebelum itu akibat penindasan kolonialisme-imperialisme asing. Namun baru pada tanggal 28 Oktober itu pergerakan pemuda dari berbagai daerah bersatu memprokrlamirkan sumpah pemuda.

Sejak saat itu, setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai peringatan sejarah pergerakan pemuda. Dengan semangat yang dilandasi sikap patriotisme dan nasionalisme, pemuda Indonesia berani mengambil sikap menentang dan mengkritik sikap pemerintah kolonial.

Apa yang diproklamirkan dan diperjuangkan ialah persatuan pemuda dan cita-cita luhur bangsa yakni pembebasan dari segala macam penindasan. Sebagai sebuah bangsa yang hidup dari sejarah masa lalu, bangsa Indonesia bersyukur atas perjuangan pemuda. Bukan berarti hal ini mengurangi perjuangan generasi yang lebih tua, namun semangat perjuangan pemuda memiliki sumbangsih besar bagi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Karena itu, memperjuangkan warisan sumpah pemuda dan semangat pergerakkannya bagi pemuda zaman sekarang menjadi penting. Hemat saya, warisan sumpah pemuda tahun 1928 itu menjadi tanda awal kebangkitan semangat pergerakan pemuda melawan segala bentuk ketidakadilan.

Sudah dan sampai pada titik mana  warisan sumpah pemuda tahun 1928 menjadi spirit bagi pergerakkan pemuda itu sendiri terutama bagi pemuda generasi sekarang? Saya berargumen, warisan sumpah pemuda justru tidak melekat dan diilhami oleh para pemuda sekarang. Sebaliknya, menurut saya, pemuda sekarang mengalami kemunduran total memahami warisan sumpah pemuda.

Ada beberapa hal yang tentu turut menyurutkan semangat pergerakan pemuda dalam memperjuangkan warisan sumpah pemuda tahun 1928.

Tiga masalah

Pertama, dibaca dari perspektif transisi demokrasi dari otoriter ke rezim reformasi, semangat pergerakan pemuda lebih bersifat sporadis dan terkotak-kotak. Bukannya menunggangi demokrasi bagi terbentuknya pergerakkan pemuda yang kuat, solid dan mandiri, justru sebaliknya pergerakan pemuda terdistorsi dan dilemahkan bersama proses transisi demokrasi.

Warisan sumpah pemuda tahun 1928, menurut pembacaan saya terhenti sampai pada tumbangnya Soeharto, sementara setelahnya kita tidak menemukan pergerakkan pemuda yang terorganisir secara baik dan tepat. Malah sebaliknya, pergerakkan pemuda banyak ditunggangi dan dimanfaatkan oleh kepentingan aktor predatoris dalam memperkuat basis politik mereka.

Sialnya, dalam kondisi dan dinamika yang carut-marut itu, hampir-hampir pemuda tidak menyadari situasi tersebut. Hal ini tentu disebabkan pula oleh perpecahan internal pemuda yang tentu saja memperlemah basis pergerakan pemuda.

Sehingga yang muncul ke permukaan ialah suatu gerakan yang mudah rapuh dan bersifat lokalitas (kedaerahan), dalam arti memperjuangkan kepentingan dalam lokalitas tertentu. Sementara lokalitas lain tidak mengalami pergerakkan sebagai akibat dari lemahnya warisan sumpah pemuda tahun 1928. Kondisi ini tentu memungkinkan aktor-aktor tertentu mampu menguasai dan mancaplok hampir semua sumber daya di daerah dimana pemuda kehilangan daya tawar untuk memperjuangkan atau menjadi aktor tandingan.

Kedua, dibaca dari perspektif desentralisasi dan ini mungkin perspektif yang jarang dibicarakan terutama dalam memotret pergerakkan pemuda. Menurut saya, desentralisasi pada aspek lain memberikan kerentanan terhadap rapuhnya gerakkan pemuda.

Meminjam kerangka berpikir Vedi Hadiz (2005), desentralisasi yang terjadi pasca runtuhnya Orde Baru Soeharto justru melahirkan dan memperluas jaringan elit predatoris di berbagai daerah. Elit-elit ini memanfaatkan situasi desentralisasi untuk memperkuat posisi politik dan ekonomi di daerah yang semula berada dibawah rengkuhan Soeharto (Hadiz, 2005).

Karena itu, menyebarnya kekuasaan elit di daerah ditengah perampasan ruang hidup masyarakat lokal, mendorong pergerakkan pemuda ditingkat lokal berani tampil memperjuangkan kepentingan lokal. Sementara pada isu nasional, kita menemukan pergerakkan pemuda kehilangan daya tawar sebagai konsekuensi logis dari merosotnya solidaritas pemuda dari berbagai daerah karena harus berurusan dalam memperbaiki keadaan material di tingkat lokal. Karena itu, tepat saya kira bahwa pergerakkan pemuda lebih bersifat lokalitas.

Kondisi ini alhasil tidak mampu membendung kekuatan aktor korup yang bermain dilingkaran nasional. Disinilah mengapa saya menyebut bahwa pergerakan pemuda bersifat sporadis, terkotak-kotak dan lokal. Bukannya membawa penguatan terhadap pergerakkan pemuda ditingkat daerah, desentralisasi justru melicinkan kekuasaan elit ditingkat nasional merampok sumber daya bagi kepentingan individu dan kelompoknya ditengah minimnya resistensi dan perjuangan pemuda.

Sebagai akibatnya, kita menemukan pergerakan pemuda tidak mampu mendorong gelombang demokratisasi dan warisan reformasi serta desentralisasi kearah perbaikan bagi kepentingan masyarakat.

Ketiga, tersedotnya pemuda kedalam lingkaran oligarki tentu membawa konsekuensi buruk terhadap pergerakkan. Meskipun beberapa pergerakkan pemuda hadir seperti gerakkan revisi UU KPK dan gerakkan disahkannya UU Omnibus Law.

Namun, menurut catatan beberapa pengamat gerakan tersebut banyak ditunggangi kepentingan tertentu yang dibuktikan dengan tetap disahkannya kebijakan revisi UU KPK dan Omnibus Law. Ini membuktikan bahwa pergerakan pemuda tidak mampu membendung kekuatan oligarki, sementara justru sebaliknya, pemuda terjerat dan paling mungkin tersedot kedalam lingkaran oligarki.

Bukannya membawa perbaikan kondisi material lebih baik, justru pemuda tersedot kedalam jejaring oligarki dan paling jauh juga menjadi bagian dari aliansi oligarki yang sedang tumbuh. Ketiga argumen tersebut diatas hemat saya turut menggembos pergerakkan pemuda sekarang ketimbang memperkuat. Sementara itu, menurut saya, hal tersebut disebabkan oleh lemahnya warisan sumpah pemuda diilhami dan dipraktikan.

Warisan sumpah pemuda haruslah menjadi kiblat perjuangan dan alat yang mempersatukan pergerakan pemuda di berbagai daerah menuntaskan masalah di negeri ini. Lemahnya praktik warisan sumpah pemuda justru melahirkan dampak buruk, seperti tercerai-berainya pergerakkan pemuda, mudah dipolitisasi, bersifat lokal, sporadis dan terkotak-kotak. Sementara jika berkiblat pada warisan sumpah pemuda, disana memuat banyak hal, yakni mempersatukan pemuda dan mengikhtiarkan satu sumpah yakni bangsa yang satu.

Menghidupkan kembali

Apa yang penting dilakukan? Pembacaan saya yakni diperlukan usaha dan perbaikan dalam menghidupkan kembali warisan sumpah pemuda kedalam pergerakkan pemuda. Warisan sumpah pemuda selain sebagai kiblat perjuangan, tentu saja adalah nafas yang memberikan tenaga bagi perjuangan pemuda, menumbuhkan solidaritas dan mempersatukan kekuatan pemuda.

Jika kita memahami mendalam sumpah pemuda, kita menemukan bahwa sikap nasionalis dan patriotis tumbuh untuk memperjuangkan suatu bangsa yang adil, makmur dan sejahtera. Tentu saja ini harus meresep kedalam peristiwa sehari-hari pemuda dalam memperjuangkan kepentingan bangsa.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.