Sabtu, April 20, 2024

Memilih Kutub Ekonomi yang Tepat?

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Perjalanan gerakan ekonomi dari zaman skolastik (pertengahan), merkantilis, dan fisiokrat menimbulkan beragam corak sejarah. Zaman skolastik yang sangat kental nuansa teologis, zaman merkantilis yang fokus pada perdagangan (merchant), dan zaman fisiokrat yang kental narasi pemanfaatan potensi sumberdaya alam, khususnya pertanian sebagai nafas ekonomi, memberikan potret beragam di tengah masyarakat.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa zaman merkantilis, adalah awal mula penjajahan negara kaya terhadap negara berkembang yang memiliki sumber daya alam melimpah, terutama emas.

Merkantilian berkata, “Kemakmuran diukur dari banyaknya jumlah emas yang bisa dikumpulkan”. Para konglomerasi yang berkolaborasi dengan penguasa akhirnya berbondong-bondong mengeksploitasi negara-negara berkembang yang memiliki pundi-pundi emas.

Masa merkantilian disebut juga masa kapitalisme-merkantilis. Sebutan ini diungkapkan oleh Sumitro Djojohadikusumo, ekonom legendaris Indonesia, untuk membedakan istilah kapitalisme-industrial yang digagas oleh Adam Smith, seorang dosen filsafat moral asal Oxford University.

Tepat pada tahun 1776, sang dosen filsafat moral yang setiap harinya berdiam diri dalam ruangan yang penuh dengan buku-buku filsafat tebal, merenung di tengah potret kesenjangan ekonomi akibat ulah merkantilian (Skousen, 2015).

Smith merasa geram karena para konglomerasi yang punya berjibun pundi-pundi materi, dengan mudah mendapat lisensi perdagangan, sedangkan para pedagang kecil dan pekerja rendahan hanya mendapat sedikit kue ekonomi.

Berbekal keresahan dan kegeraman, Adam Smith menggagas self-interest, sebuah teori kebebasan manusia yang belakang hari justru dituding sebagai gagasan yang menimbulkan kesenjangan. Kritik paling pedas datang dari anak yang jarang bergaul di tengah masyarakat karena terlalu cinta pada buku: Karl Marx, kawan karib friedrich Engels.

Tentu saja, kritik Marx pada Adam Smith yang dituduh membangun gagasan yang mengarahkan pada kesenjangan sosial, ternyata berasal dari sebuah kritik atas kesenjangan pula. Teori Adam Smith yang awalnya ditujukan untuk mengkritik kesenjangan merkantilian, ternyata gagal juga, bahkan malah menimbulkan kesenjangan yang tidak karuan hingga hari ini.

Di awali dengan revolusi industri di abad 18, gagasan self-interest Adam Smith terus membuana di seluruh pelosok dunia. Menjadi gagasan yang mondial dan dianggap yang terbaik. Fundamentalisme pasar diagung-agungkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Beleid perekonomian, semuanya meminimalkan peran pemerintah, meski dosis setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia, muncul Mafia Berkeley yang dianggap menyebarkan ideologi fundamentalisme pasar (Kwik Kian Gie, 2016).

Sejarah panjang dua kutub ideologi ekonomi dunia ini tentu berdampak banyak pada aspek dalam kehidupan manusia di beberapa belahan dunia lainnya. Hasil pemikiran dan penelitian yang menjadi postulat dan teori, menjelma menjadi basis ideologi yang diyakini dan diperjuangkan. Dua kutub terbesar di atas: kapitalisme dan sosialisme, menjadi dua entitas yang paling kuat menyembul. Berbagai kebijakan ekonomi negara di pelosok dunia didasarkan pada dua kutub ideologi tersebut.

Kapitalisme menganjurkan resep, “Pasar biarlah berjalan, negara tidak perlu ikut campur, biarlah masyarakat menentukan keseimbangannya sendiri…” Sementara itu, sosialisme yang digawangi oleh Karl Marx, menyebut, “negara harus hadir disetiap aktivitas ekonomi apapun, termasuk apa yang harus diproduksi pun ditentukan oleh negara, sudah barang tentu, kepemilikan alat produksi pun begitu…”

Dua resep itu, dibeli, dipertukarkan, direnovasi, dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, sehingga suatu negara seolah tidak ada pilihan lain kecuali kapitalisme dan sosialisme. Fukuyama, dengan tegas dan percaya diri menyebut bahwa kedua kutub ideologi ekonomi tersebut adalah pungkasan sejarah (Rahardjo, 2010), sehingga tidak mungkin ada sejarah baru lagi.

Walau begitu, tesis Fukuyama perlu dibaca secara kritis, sehingga kita tidak terjebak dalam kejumudan. Sebab, di Indonesia sejatinya muncul satu gagasan yang sangat luar biasa, yaitu ekonomi pancasila. Sebuah gagasan ekonomi genuine Indonesia. Secara sederhana tercermin dari Pasal 33 Ayat 1-3 Undang Undang Dasar.

Dalam hal ini, pendeknya, ekonomi pancasila bisa dimaknai sebagai sebuah gagasan pengaturan ekonomi yang difokuskan pada upaya pemakmuran dan pensejahteraan kehidupan rakyat, penggerusan ketimpangan dan pemerataan pendapatan materiil.

Nilai-nilai universal agama menyelimuti aktivitas ekonomi pancasila. Menjelma menjadi basis nilai bersama dalam menentukan aras kebijakan ekonomi. Menentukan arah produksi. Dan menentukan arah distribusi. Semua kalangan menjadi bahagia karena ekonomi. Bukan sengsara karena ekonomi.

Sungguh pun begitu, upaya-upaya intelektual pemunculan ekonomi pancasila yang sudah dimulai sejak tahun 80’an oleh Prof Mubyarto, Sri-Edi Swasono, dkk., ini masih menuai jalan buntu. Banyak kalangan yang tidak suka dan bahkan terang-terangan menolaknya. Menganggap gagasan ekonomi pancasila sebagai gagasan yang usang dan tidak akan kuat bersaing dalam kancah global yang serba buas.

Hal ini, selain faktor eksternal berupa anggapan beberapa ekonom, juga karena faktor internal, bahwa postulat ekonomi pancasila belum sepenuhnya sempurna. Masih membutuhkan kerja-kerja intelektual yang tidak akan berujung.

Namun begitu, di tengah upaya pewujudan ekonomi pancasila yang lebih moncer, tentu saja, konsep-konsep teknis yang sudah termaktub dalam pasal 33 wajib kita nyatalaksanakan supaya tidak hanya menjadi dokumen kajian ilmiah yang berhenti di rak-rak perpustakaan kampus.

Kebijakan-kebijakan ekonomi sangat penting memperhatikan nilai-nilai yang di bawa oleh ekonomi pancasila. Yakni, nilai-nilai persaingan yang dibalut dengan semangat keguyuban dan tolong menolong (menyembul dalam bentuk koperasi); pro-rakyat sehingga menjadi khas Indonesia.

Genre ekonomi demikian, jika memang dihayati dengan sungguh-sungguh, pastinya akan nir-konflik kepentingan dalam makro, meso, dan mikro. Meski interest group itu selalu ada, tapi mudah saja terselesaikan melalui gerakan koperasi Mochammad Hatta yang disebut Dawam Rahardjo sebagai neo-kolektivisme.

Akhirnya, mari menyeru dengan takzim pada para calon teknokrat sekaligus yang sedang menjadi teknokrat: “Marilah perbaiki ekonomi negeri dengan memilih kutub ekonomi yang tepat!”

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.