Kamis, Oktober 3, 2024

Memilih Diam dalam Pemilihan

Kevin Ng
Kevin Ng
Kevin saat ini sedang melakukan studi di University of Western Australia dan merupakan jurnalis lepas di salah satu media Indonesia di Australia. Ia tertarik pada filsafat, ilmu sosial, komunikasi, sejarah, bisnis, politik dan ekonomi, serta berbagai macam topik lainnya. Ia terbuka untuk berdiskusi atau sekedar berbincang mengenai isu-isu aktual hingga bercandaan.

Sistem politik yang sedang kita hadapi sekarang ini bernama “demokrasi”. Saya artikan demokrasi ini sebagai kebebasan dalam menyalurkan kekuasaan dari rakyat untuk rakyat. Sedapatnya itu terjadi di negeri ini! Namun nyatanya demokrasi yang banyak dimengerti hanya sekedar memilih dan dipilih.

Belum lagi bisingnya suara-suara pendukung yang fanatik. Kita hanya sekedar mengerti bahwa pada dasarnya ada calon-calon yang akan memimpin negeri ini (entah dari mana datangnya).

Mereka secara tiba-tiba menampilkan diri, dan menjadi pahlawan serba tahu. Rakyat tergeletak melihat serangkaian janji-janji yang (kemungkinan besar) pupus. Dan tentu saja masih ada yang bersedia memilih orang-orang itu. Yang dilihat personalnya, bukan apa yang ingin dia lakukan. Uniknya, para pemilih ini dengan lantang menyatakan apa yang akan dipilihnya.

Pada esensinya, pemilihan pemimpin itu dilaksanakan secara rahasia. Maka dari itu, disediakan bilik-bilik di TPS. Ketika kita memilih, disediakan privasi untuk mencoblos. Itu untuk menjaga kerahasiaan pemilih dalam berdemokrasi.

Sekarang tidak ada artinya memilih secara rahasia, kalau kita sudah memilih sebelum datang ke TPS. Apa gunanya bilik-bilik itu kalau kita sudah terang-terangan memakai atribut partai? Bahkan memilih golput saja dianggap sebagai dosa. Memilih apa yang kita mau pilih sudah tidak berdasarkan keinginan kita.

Rasionalitas dalam pandangan sempit bagi para kaum populis anti-golput, memaknai bahwa golput bukan pilihan. Saya cukup kecewa dengan tanggapan-tanggapan semacam itu.

Memilih dalam demokrasi bukan sekedar perkara 01 atau 02, tapi lebih dari itu. Pilihan bukan sekedar angka-angka atau mana yang lebih kita sukai atau tidak. Pilihan itu berdasarkan apa yang kita kehendaki.

Bisa diterima bahwa memilih itu suatu kebebasan, maka kita memilih atau pun tidak memilih merupakan hak-hak kita sebagai rakyat yang bebas. Karena rakyat itu sendiri yang memberikan kekuasaan kepada calon pembesar. Dengan segera para penguasa seharusnya takut pada rakyat, bukan sebaliknya. Sayangnya kondisi saat ini lebih condong kepada opresi terhadap kebebasan memilih.

Ada perkiraan yang terjadi bila angka golput yang tinggi, maka sistem politik nantinya tidak akan berjalan dengan lancar. Saya rasa sistem sekarang juga tidak berjalan begitu baik, terutama di parlemen. Dan apa yang diharapkan dalam pemilihan umum nanti adalah untuk mengubah “situasi”.

Hal itu tidak segampang masalah coblos dan tidak mencoblos. Pasalnya, pilihan kita sekarang dianggap sebagai penentu masa depan. Ya, memang betul siapa yang memimpin kita nantinya akan duduk di kursi kekuasaan. Namun masa depan kita tidak tergantung pada slogan-slogan populis kedua kubu.

Yang saya sesalkan sebetulnya bukan terhadap mereka yang berani bersuara keras tentang apa yang mereka pilih, tetapi kepada mereka yang tidak memberikan kebebasan kepada mereka yang tidak mau memilih. Hak-hak pemilih itu lebih dari sekedar mencoblos wajah calon pemimpin. Pemilih memeilki free will dalam bertindak, mau dia memilih yang kiri atau yang kanan, maupun tidak memilih sama sekali.

Ketidakmauaan dalam memilih, menurut hemat saya, datang dari kemuakan terhadap status quo. Sebelum presiden saat ini berdiam di istana, dia memberikan suatu harapan baru kepada rakyat—sosok pemimpin yang merakyat.

Maka saat itu, pemilih benar-benar memilih sesuai keinginan karena diberikan harapan. Memang kini kinerjanya cukup mumpuni, tetapi masih banyak janji-janji yang tidak ditepati. Dan mereka yang berkata bahwa memberikannya kesempatan satu kali lagi untuk 5 tahun ke depan merupakan harapan yang bisa dikatakan janji kosong. Seperti yang kita ketahui, politik praktis ini tak kenal dengan ekspektasi rakyat, melainkan bersiteguh akan kelangsungan kekuasaan.

Kasus-kasus HAM masa lalu belum juga dituntaskan.  Belum lagi soal kesejahteraan rakyat yang setiap kali dibuat sebagai janji palsu. Kedua kubu melakukan hal yang sama, masalahnya kubu yang satu lagi belum pernah merasakan “kekuasaan”. Ada juga yang bilang (kebanyakan dari pendukung oposisi) bahwa calon pemimpin mereka harus diberikan kesempatan. Hmmm… Apakah kekuasaan di tahun 1998 tidak cukup ?

Maka atas kemuakan ini semua rakyat memilih untuk tidak memilih walaupun berhak untuk memilih. Itu kebebasan mereka sebagai rakyat yang beradab. Mereka tidak dungu, atau bodoh, dan gila. Mereka juga tidak anti-nasionalis ataupun anti-pemerintah. Mereka ini hanya lelah. Saya salut kepada mereka yang secara terang-terangan mengaku untuk tidak menggunakan hak suara mereka. Dan saya lebih memilih diam ketika ditanyakan kepada kubu mana saya akan memilih, karena itulah esensi demokrasi.

Kevin Ng
Kevin Ng
Kevin saat ini sedang melakukan studi di University of Western Australia dan merupakan jurnalis lepas di salah satu media Indonesia di Australia. Ia tertarik pada filsafat, ilmu sosial, komunikasi, sejarah, bisnis, politik dan ekonomi, serta berbagai macam topik lainnya. Ia terbuka untuk berdiskusi atau sekedar berbincang mengenai isu-isu aktual hingga bercandaan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.