Jumat, April 26, 2024

Memikirkan Kembali Konsep Awliya’ dan Penodaan Agama dalam Islam

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Dapat dikatakan bahwa wacana mengenai penodaan agama merupakan wacana yang banyak menimbulkan polemik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam ranah hukum positif, tetapi juga dalam ranah pemikiran keislaman secara luas. Apakah negara berhak memutuskan bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah menodai agama? Bukankah yang berhak menentukan seseorang menodai agama hanya Tuhan?, pertanyan-pertanyaan semacam ini sering muncul dalam hal perbincangan mengenai masalah siapa yang paling berhak dan memiliki wewenang dalam memutuskan perkara hukum terkait dengan kasus seputar agama.

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya ada dua undang-undang yang bisa dijadikan pintu masuk untuk menyeret seseorang atau kelompok tertentu sebagai penoda agama, yakni Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penodaan Agama. Terkait dengan pidato Ahok di Kepulauan Seribu, pasal yang bisa menjerat Ahok adalah Pasal 156a KUHP, yang berbunyi “Dipidana dengan penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Penafsiran Kontekstual atas Q.S al-Maidah: 51

Secara literal, Q.S. al-Maidah 51 ini berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’. Pertanyaannya adalah apa arti kata tersebut? Bagaimana konteks historisnya? Dan apa ide moral yang mungkin  dikandung oleh ayat tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa untuk memahami Q.S. al-Maidah 51, seseorang harus memperhatikan aspek bahasa, konteks historis, dan ide moral yang terkandung di dalamnya.

Terkait dengan aspek bahasa, sebenarnya ayat tersebut mengandung beberapa kosa kata yang harus dianalisis secara cermat. Namun, tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk membahas semuanya. Hanya kata awliya’ yang akan diterangkan di sini. Kata tersebut diterjemahkan oleh sebagian di Indonesia dengan ‘pemimpin-pemimpin’. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dalam kitab tafsir al-Azhar (Amrullah, 2007: 1760).

Meskipun demikian, apabila melihat kitab-kitab tafsir klasik, maka akan mendapati keterangan yang cukup berbeda dengan sebagian terjemahan Indonesia tersebut. Al-Thabari (1994: 507) menafsirkan kata awliya’ dengan anshar wa hulafa’ (penolong-penolong dan aliansi-aliansi atau teman-teman dekat. Terjemahan yang mendekati dengan penjelasan al-Thabari adalah terjemahan Shihab (2012: 117) atas kata tersebut, yakni ‘para wali’ (teman-teman dekat).

Singkat kata, baik al-Thabari dan Shihab tidak menafsirkan kata tersebut dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Sementara itu, penulis telah mencermati bahwa di dalam seluruh kandungan al-Qur’an, kata awliya’ terdapat di dalam sembilan ayat yang tersebar di lima surat, termasuk surat al-Maidah, yang memiliki beragam arti dan penerjemahannya sesuai dengan konteksnya.

Dengan demikian, kata awliya’ yang terkandung dalam berbagai ayat di atas, meski memiliki arti yang searah, namun terdapat berbagai macam penekanan dalam menerjemahkannya sesuai dengan konteks bahasa dan sosial historis yang melingkupinya.

Ide moral atau pesan utama dari ayat ini adalah, sebagai berikut: Pertama, perintah untuk berteman dengan orang-orang yang bisa dipercaya, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan larangan untuk memilih aliansi dan berteman dengan orang yang suka berkhianat. Perilaku adil kepada semua orang harus ditegakkan dan kedzaliman atau ketidakadilan harus ditinggalkan. Karena, dalam kaitannya dengan hidup bersama yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama, kelompok di luar Islam juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka (Shihab, 2007: 125).

Kedua, komitmen bersama dan saling menjaga perjanjian atau kesepakatan bersama itu harus ditegakkan dan tidak boleh dikhianati. Apabila komitmen dan perjanjian itu dirusak secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah kehilangan kepercayaan dari kelompok yang dikhianati, sebagaimana kehilangan kepercayaan umat Islam Madinah pada masa Nabi kepada kaum Yahudi dan Nashrani yang menyalahi “Piagam Madinah” yang salah satu intinya adalah saling menolong dan membantu antarkomunitas saat itu di Madinah.

Ketiga, ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Islam hanya mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat adil kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya, tanpa memandang perbedaan suku dan agama.

Hukum Penistaan Agama dalam Perspektif Islam

Mayoritas ulama mengklaim bahwa larangan mencela simbol keagamaan masih tetap eksis kapan saja dan di mana saja. Mereka menilai bahwa penistaan terhadap agama lain dapat membawa dampak negatif yang juga dapat memantik benih-benih kebencian (Subhan dkk, 2013: 56).

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-An’am: 108 yang artinya:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan

Al-Razi (1985: 13) dalam kitabnya “Mafatih al-Ghaib” menilai bahwa secara implisit ayat tersebut merupakan peringatan agar dalam berdakwah tidak terjebak dalam tindakan yang tidak bermanfaat sekaligus merupakan ajakan umat Islam agar tidak bertindak layaknya orang bodoh.

Menurut Zuhaili (1418 H: 324) Allah melarang Rasulnya dan orang Islam agar jangan mencela sesembahan orang-orang musyrik, meskipun itu ada manfaatnya, tetapi nanti justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari pada manfaatnya, yakni penghinaan kaum musyrik kepada Allah sebagaimana yang dikatakan Ibn Abbas. Ini berarti menunjukkan bahwa manfaat jika mendatangkan kerusakan maka haruslah ditinggalkan. Persoalan ini sebenarnya secara khusus mengacu pada akhlak orang Islam terkait hubungan dengan pemeluk agama lain.

 Dalam kasus penistaan agama, baik dilakukan oleh oknum, organisasi atau agama lain, umat jangan mudah terpancing dengan isu-isu yang akan memecah belah umat, bangsa dan NKRI ini. Sebagaimana anjuran para ulama dan para pakar, umat harus bertindak dengan akal sehat dan menimbang antara manfaat dan madharat yang akan menimpa bangsa ini dan umat Islam sehingga jika terjadi penistaan agama maka sudah ada lembaga dan pihak-pihak terkait yang menganganginya. Dan pada akhirnya kerukunan umat beragama masih tercipta secara kondusif dengan saling menghormati.

Bibliografi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Al-Razi, al-Fakhr., 1985, Mafatih al-Ghaib. Jilid 7, Dar al-Fikr, Beirut.

Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim., 2007, Tafsir al-Azhar, Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapura.

At-Thabari, Muhammad Ibn Jarir., 1994. Jami’ al-Bayan Jilid 8, Dar al-Fikr, Beirut.

Shihab, Quraish, 2012. Al-Qur’an dan Maknanya, Lentera Hati, Jakarta.

_____, Quraish., 2007, Tafsir al-Musbah Jilid 3, Lentera Hati, Jakarta

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.