Senin, Desember 9, 2024

Membuka Pintu Inklusi untuk Masyarakat Adat

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.
- Advertisement -

Kekhasan identitas sosial masyarakat adat yang umumnya hidup di wilayah-wilayah terpencil adalah faktor lahirnya isolasi sosial terhadap kelompok ini. Banyak kasus menunjukkan bahwa cara hidup masyarakat adat tersebut dipersepsikan secara negatif dalam bentuk stigma dari masyarakat luas, misalnya julukan udik, bodoh, tak mau berkembang dan lainnya.

Selain itu, ikatan yang kuat antara masyarakat adat dengan alam mengandung dimensi magis-religius (atau disebut juga dengan kearifan lokal, agama adat, atau agama leluhur). Dimensi ini sering dinilai minor dalam kerangka dominasi agama-agama arus utama.

Cara pandang yang dominan dan konservatif dari agama-agama arus utama mereproduksi stigma atas dimensi magis-relijius masyarakat adat, yang termanifestasi dalam pengertian bahwa dimensi magis relijius itu adalah “penyimpangan” dari agama-agama dominan bersangkutan. Basis pengertian ini menyebabkan pengucilan (eksklusi) masyarakat adat dalam kehidupan bersama.

Eksklusi sosial masyarakat adat sendiri adalah situasi penolakan dan ostracism pada kelompok-kelompok masyarakat adat. Penolakan terhadap masyarakat adat, baik secara individu maupun kelompok muncul karena identitasnya tak diinginkan oleh masyarakat luas. Sedangkan dalam konteks ostracism adalah pengabaian dalam relasi sosial terhadap individu dan kelompok yang dianggap menyimpang dari budaya dominan.

Situasi eksklusi sosial berdampak pada akses masyarakat adat terhadap hak. Kasus-kasus menunjukan masyarakat adat mengalami hambatan akses atas hak, sumber daya dan layanan dasar seiring dengan posisinya yang minoritas secara politik.

Misalnya, kasus pengakuan bersyarat hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam, dimana kerangka legal yang tersedia masih mempersyaratkan produk hukum daerah tentang pengakuan masyarakat adat sebagai syarat legalnya. Pengakuan bersyarat ini bisa dikatakan sebagai bentuk pembatasan dan atau pengabaian hak masyarakat adat yang tereksklusi dan minoritas secara politik.

Artinya, persoalan eksklusi sosial masyarakat adat mempunyai dua sifat, yaitu bersifat sosial sekaligus struktural. Sifat strukturalnya terkait dengan muatan kebijakan beserta prosedur-prosedurnya yang mengabaikan hak. Sedangkan sifat sosialnya adalah pengabaian masyarakat adat di dalam kehidupan sosial bersama.

Inklusi Sosial dan Bidang-Bidang Perubahan

Secara dikotomis, situasi eksklusi sosial dipertentangkan dengan inklusi sosial. Inklusi sosial sendiri adalah suatu proses untuk membangun hubungan sosial dan penghormatan terhadap individu serta komunitas, sehingga mereka yang marjinal dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya (untuk memenuhi kebutuhan dasar) dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang layak.

Pengertian inklusi sosial di atas mencakup dua cara. Pertama, Gambaran secara luas kepada pemangku kebijakan bahwa inklusi sosial adalah proses-proses perbaikan persyaratan bagi kelompok-kelompok marjinal untuk bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Kedua, Panduan kepada masyarakat tentang pemenuhan syarat-syarat untuk meningkatkan inklusi sosial, dan untuk siapa. Artinya, inklusi sosial meliputi proses-proses untuk meningkatkan kemampuan, kesempatan dan martabat kelompok-kelompok marjinal untuk mendapatkan pengakuan dan ambil bagian dalam masyarakat.

Bank Dunia (2013) dalam Inclusion Matters, the Foundation for Shared Prosperity menyebutkan bahwa masyarakat inklusif dapat dicapai melalui tiga arena (bidang), yaitu; Pasar, Layanan Sosial dan Ruang.  Tiga bidang ini saling terkait satu sama lain dan juga memiliki hambatan sekaligus peluang untuk inklusi sosial.

- Advertisement -

Pada bidang Pertama, yaitu pasar, masyarakat dan individu saling berinteraksi dalam empat unsur yaitu; tanah, perumahan, tenaga kerja, dan kredit. Unsur paling penting dalam konteks masyarakat adat adalah tanah. Tanah bagi masyarakat adat adalah ruang hidup yang bermakna secara ekonomis, sosial dan budaya.

Dalam pemaknaan ekonomis, tanah adalah asset yang dapat dikelola dan dipungut oleh masyarakat adat, yang kemudian berdampak pada penyerapan tenaga kerja, lokasi pemukiman komunal (perumahan) dan modal pengembangan ekonomi. Sedangkan tanah dalam pemaknaan identitas sosial dan budaya adalah ruang yang memuat relasi-relasi tradisi (adat) dan spiritulitas masyarakat adat.

Persoalan hak dan akses masyarakat adat atas tanah masih menjadi persoalan utama. Perangkat hukum kita belum sepenuhnya memberikan perlindungan menyeluruh hak masyarakat adat tersebut akibat masih berlakunya pengakuan bersyarat.

Namun pada sisi lainnya, Pemerintah telah memulai membuka jalan untuk pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam, meskipun bersifat sektoral, misalnya melalui program perhutanan sosial dan hutan adat dalam bidang kehutanan, dan program pendaftaran tanah-tanah adat komunal pada bidang pertanahan. Kebijakan ini memberikan kontribusi positif pada proses inklusi sosial terhadap masyarakat adat di bidang pasar.

Pada bidang Kedua, yaitu akses terhadap layanan dasar. Akses terhadap layanan dasar menjadi sangat penting untuk meningkatkan inklusi sosial. Layanan dasar seperti kesehatan, Pendidikan, transportasi dan perlindungan sosial akan meningkatkan sumber daya masyarakat adat secara individu dan komunal dan akan menjadi semacam bantalan peredam terhadap guncangan sosial ekonomi.

Dengan Populasi masyarakat adat yang masih banyak hidup pada lokasi – lokasi terpencil menyebabkan mereka mengalami hambatan layanan dasar akibat keterpencilan geografis dan menghambat peluang-peluang pengembangan ekonominya. Selaras dengan itu, kekhasan cara hidup masyarakat adat menjadi penyebab kurang maksimalnya akses terhadap layanan, misalnya yang sedang dihadapi oleh masyarakat Suku Anak Dalam di Sumatera.

Pada bidang ketiga, yaitu Ruang. Masyarakat adat pada konteks ruang fisik sering mengalami eksklusi ketika ruang fisik lebih banyak disediakan untuk kelompok dominan. Misalnya, banyak kasus masyarakat adat yang mengalami pemaksaan untuk keluar dari ruang hidupnya (wilayah adat) akibat pemberian izin-izin konsesi bisnis ekstraktif dan juga akibat stigma sebagai perambah hutan, berladang berpindah dan sebagainya.

Pada konteks ruang politik, Inklusi sosial terkait dengan akuntabilitas. Dengan status masyarakat adat yang marjinal dan miskin akan mengurangi akses mereka ke ruang politik. Keputusan-keputusan politik sering dibuat tanpa melibatkan perwakilan dari masyarakat adat. Akibatnya, kepentingan-kepentingan masyarakat adat tak banyak diakomodir dalam pengambilan keputusan.  Dalam konteks ini, kualitas partisipasi masyarakat adat adalah kunci untuk inklusi.

Akhir kata, inklusi sosial dalam konteks masyarakat adat adalah bagaimana menciptakan prasyarat-prasyarat yang mendorong proses pelibatan penuh mereka dalam pembangunan dan pengambilan kebijakan yang menghormati hak, tradisi (adat), budaya dan identitas sosial, baik secara individual maupun secara komunal. Proses-proses inklusi sosial yang akan diciptakan ini bekerja dalam bidang pasar, layanan dasar, dan ruang.

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.