Di era digital yang semakin maju, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi anak-anak. Wacana pelarangan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun tentu menimbulkan perdebatan yang cukup kompleks.
Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi anak dari berbagai ancaman digital, seperti cyberbullying, eksploitasi data pribadi, serta paparan konten yang tidak sesuai usia. Dengan semakin maraknya kasus kecanduan media sosial yang berdampak pada kesehatan mental anak, pembatasan akses dinilai sebagai langkah preventif yang diperlukan demi perkembangan psikologis mereka.
Berdasarkan laporan dari Internet Matters, anak-anak berusia 10 hingga 12 tahun umumnya telah memiliki setidaknya satu akun media sosial. Namun, jika merujuk pada kebijakan sejumlah platform media sosial, batas usia minimal untuk memiliki akun adalah 13 tahun. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada ketentuan pasti mengenai usia ideal bagi anak untuk mulai mengakses media sosial secara mandiri.
Dalam praktiknya, banyak orang tua yang bahkan telah memperkenalkan penggunaan perangkat digital, seperti smartphone atau tablet, kepada anak mereka sejak bayi. Oleh karena itu, peran orang tua menjadi sangat penting dalam membimbing dan mengawasi penggunaan media sosial, terutama bagi anak di bawah umur yang baru mulai menjelajahi dunia digital. Sejalan dengan hal ini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang diusulkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menetapkan bahwa batas usia yang direkomendasikan untuk memiliki akun media sosial adalah 17 tahun. Jika anak berusia di bawah angka.
Dampak Penggunaan Media Sosial pada Anak di Bawah Umur
Penggunaan media sosial oleh anak di bawah umur dapat memberikan berbagai dampak negatif yang signifikan, baik secara psikologis maupun sosial. Salah satu efeknya adalah meningkatnya rasa takut dan kecemasan akibat paparan konten kekerasan. Youth Endowment Fund di Inggris menemukan bahwa satu dari empat anak melihat konten kekerasan yang direkomendasikan oleh algoritma media sosial. Akibatnya, delapan dari sepuluh anak merasa tidak aman di lingkungan mereka, dan sekitar 68% menjadi enggan untuk keluar rumah.
Selain itu, anak-anak juga berisiko terpapar konten yang tidak sesuai dengan usia mereka, termasuk materi seksual eksplisit. Sebagai contoh, hampir separuh anak Australia berusia 10–15 tahun menghabiskan rata-rata dua jam per hari di TikTok, sementara 40% anak berusia 7–9 tahun menggunakan X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter), yang berpotensi mengekspos mereka pada konten grafis.
Dampak lainnya adalah meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental. Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS menemukan bahwa anak yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami gejala depresi dan kecemasan. Penggunaan media sosial yang berlebihan juga dikaitkan dengan peningkatan perilaku agresif. Sebuah penelitian dalam International Journal of Environmental Research and Public Health menunjukkan bahwa semakin lama anak-anak menghabiskan waktu di depan layar, semakin besar risiko mereka mengalami masalah perilaku, termasuk agresivitas dan pelanggaran aturan.
Tak hanya itu, media sosial juga menjadi sarana bagi cyberbullying dan pelecehan daring, yang dapat berdampak serius terhadap kesehatan mental anak. Bentuk-bentuk perundungan ini dapat terjadi melalui berbagai platform, seperti email, pesan instan, media sosial, dan situs jejaring lainnya. Dampaknya bisa sangat berat, termasuk isolasi sosial, kecemasan, depresi, dan dalam beberapa kasus, bahkan menyebabkan keinginan untuk bunuh diri. Dengan berbagai risiko yang ada, penting bagi orang tua dan lingkungan sekitar untuk lebih aktif mengawasi serta membimbing anak dalam menggunakan media sosial, guna meminimalisir dampak negatif yang dapat terjadi.
Potensi Masalah Baru?
Pembatasan akses media sosial bagi anak-anak, meskipun memiliki tujuan perlindungan, juga berpotensi menimbulkan tantangan dan masalah baru yang tidak dapat diabaikan. Salah satu kendala utama adalah kesulitan dalam pengawasan orang tua. Tidak semua orang tua memiliki waktu, keterampilan digital, atau pemahaman yang cukup untuk secara aktif mengontrol aktivitas daring anak-anak mereka.
Selain itu, kesenjangan digital dan pendidikan dapat menjadi dampak lain dari kebijakan ini. Media sosial tidak hanya digunakan sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai sumber informasi dan pembelajaran. Larangan yang terlalu ketat dapat menghalangi anak-anak dari memperoleh wawasan dan keterampilan digital yang penting bagi perkembangan mereka di era modern.
Di sisi lain, pembatasan ekstrem justru dapat meningkatkan rasa penasaran anak-anak, membuat mereka mencari cara lain untuk mengakses platform secara diam-diam tanpa pengawasan orang tua. Hal ini berisiko menyebabkan penggunaan media sosial yang tidak terkendali, meningkatkan paparan terhadap konten yang tidak pantas, serta mempersulit intervensi orang tua dalam memberikan edukasi tentang keamanan digital. Oleh karena itu, alih-alih menerapkan pembatasan yang terlalu ketat, pendekatan yang lebih seimbang melalui edukasi digital, pengawasan yang proporsional, serta pemanfaatan fitur kontrol orang tua menjadi solusi yang lebih efektif dalam menjaga kesejahteraan anak di era digital.
Pendekatan Bijak dalam Penggunaan Media Sosial
Pendekatan bijak dalam penggunaan media sosial bagi anak-anak dapat menjadi solusi yang lebih efektif dibandingkan larangan mutlak. Salah satu langkah utama yang dapat diterapkan adalah pendidikan digital sejak dini. Anak-anak perlu diberikan pemahaman mengenai etika bermedia sosial, cara melindungi privasi, serta langkah-langkah menghadapi risiko seperti cyberbullying dan penyebaran informasi palsu.
Selain itu, pengawasan dan pembatasan waktu penggunaan media sosial juga menjadi faktor penting dalam mengontrol aktivitas digital anak. Orang tua dapat menetapkan batas waktu harian serta memastikan anak-anak hanya mengakses platform yang sesuai dengan usia mereka. Pendekatan ini tidak hanya membantu mencegah kecanduan media sosial tetapi juga mendorong anak-anak untuk tetap aktif dalam aktivitas sosial dan akademik di dunia nyata.
Di sisi lain, kerja sama antara pemerintah, sekolah, dan platform digital sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan daring yang lebih aman bagi anak-anak. Pemerintah dapat mengatur regulasi yang lebih ketat terhadap konten anak, sementara sekolah dapat berperan dalam mengedukasi siswa tentang penggunaan internet yang sehat. Sementara itu, platform media sosial juga perlu meningkatkan fitur kontrol orang tua dan moderasi konten untuk memastikan pengalaman daring yang lebih aman bagi anak-anak. Dengan pendekatan yang lebih holistik ini, dampak negatif media sosial dapat diminimalkan tanpa harus mengorbankan manfaat positifnya bagi perkembangan anak di era digital.