Kemampuan membaca itu sebuah rahmat. Kegemaran membaca; sebuah kebahagiaan. (Goenawan Mohamad)
Darimana dimulainya sejarah umat manusia? Kita tak tahu persis. Tetapi kita bisa menandai bahwa manusia bisa menyadari dirinya sebagai manusia ketika ia mampu mengidentifikasikan dirinya melalui (kerja) berfikir, menemukan bahasa, mampu membaca dan menulis. Dengan berfikir, membaca dan menulis, bukan saja kita kian mantap menyadari eksistensi kedirian kita sebagai manusia. Lebih dari itu, ketiga itu menandai permulaan baru: manusia melahirkan kemajuan-kemajuan baru. Setiap kemajuan yang lama menjadi fondasi bagi kemajuan yang baru. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Bagaimana kemajuan itu terus-menerus menuju kepada tahapan-tahapan kemajuan yang baru tak lain adalah melestarikan kemajuan yang lama, menyerapnya dan mempelajarinya dengan membaca. Membaca adalah jalan utama yang ditempuh orang-orang yang mencintai peradaban dan hendak menghidupkan atau mengembangkannya. Para filsuf di masa dahulu adalah orang-orang yang bersetia hati untuk membaca. Mereka menyadari membaca adalah jalan untuk menemukan pengetahuan. Mereka mencermati berbagai macam apapun, menyerapnya dan mempelajari. Mereka bahkan membaca dan memikirkan sesuatu yang terlihat sepele bagi kalangan orang umumnya di masanya. Itu sebabnya mereka terkadang terlihat lebih cerdas diantara mereka yang melihat dan menuduhnya sebagai ‘tak waras’.
Membaca adalah jalan untuk mengerti melawan. Para pendahulu kita, para pejuang, tokoh-tokoh penting dalam kemerdekaan, adalah orang-orang yang cermat dan setia dalam membaca. Kemerdekaan tidaklah mula-mula direbut melalui bambu runcing meskipun pada akhirnya senjata ini berperan penting sebagai alat pembunuh. Kemerdekaan dimulai dari kegelisahan dan kecermatan membaca keadaan. Kemerdekaan dimulai dari mengertinya bahwa duduk persoalan ketimpangan bukan sebagai koderat tuhan melainkan adanya perbudakan. Kemerdekaan dimulai dari kecermatan membaca pengetahuan bahwa di Eropa semboyan ‘Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan’ menggema di Perancis dan terdengar oleh telinga Minke – dalam novel Bumi Manusia(nya) Pramoedya Ananta Toer, dan dari situlah Minke menggerakkan organisasi dan penggunaan surat kabar untuk berkoar-koar.
Praktis kesadaran kemerdekaan dirasakan oleh mereka dengan kesetiaan membaca dan disebarkanlah lebih luas lagi. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir – untuk menyebut sebagian – adalah orang-orang yang bersetia hati dengan membaca. Kesadaran pentingnya membaca juga membuatnya tergerak untuk menulis. Mereka tahu, pada saat kekuasaan begitu gagah dan menindas apapun, mereka punya ketajaman pikiran. Dari seujung pena, mereka bisa menjaga ‘marah’ rakyat Indonesia kepada kolonial, ‘cinta’ mereka kepada tanah pertiwi ini, dan kerelaan mereka untuk mati demi kemerdekaan.
Dan sekali waktu Soekarno mengatakan: jangan sekali-kali melupakan sejarah atau dikenal dengan akronim ‘jas merah’. Itu hanya satu ungkapan betapa kita mesti membaca dan mengingat sejarah. Dari sanalah, kita – generasi kini – bisa mengambil pelajaran penting dari mereka – generasi masa lalu.
***
Hari buku nasional adalah wujud kesadaran pada pentingnya membaca. Buku, kita tahu, adalah tempat bercokolnya pengetahuan, yang diserap dan ditulis oleh para pemikir. Buku adalah sehimpun pengetahuan. Semula ia adalah pengetahuan yang berserakan sebagai gejala atau kenyataan. Melalui kecermatan membaca, menyerap, memahami dan menuangkannya, sang penulis menjadikannya sehimpun pengetahuan yang tersusun. Sebuah buku menghimpun banyak informasi penting. Sebuah buku adalah jendela pengetahuan.
Bagi kita, membaca buku menjadi begitu penting. Membaca adalah kerja mencermati dan menyerap segala pemikiran yang tertuang di dalamnya. Melalui buku, kita memperoleh banyak hal penting. Wawasan dan pengetahuan kita kian meningkat. Dan yang penting, pengetahuan memberdayakan kita dan mengarahkan kita menjadi pribadi yang kian bermartabat. Pengetahuan menempatkan seseorang ke tingkat stasus sosial tertentu di dalam masyarakat.
Kesadaran ini membawa kita pada orientasi lain yakni perlunya menjaga dan melestarikan tradisi membaca.
Di Indonesia, jika dicermati jumlah minat baca itu sangat rendah. Sangat miris. Bahkan sebuah laporan hasil studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (Maret 2016), Indonesia disebut sebagai menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca (Kompascom, 29/08/2016). Dengan kata lain, Indonesia berada di posisi buncit. Untung ini bukan sebuah klasemen sepak bola, tak bisa kita bayangkan jika itu yang terjadi: Indonesia harus terdegradasi.
Sebuah penelitian internasional, Programme for International Student Assessment (PISA) juga melaporkan temuannya pada tahun 2015 tentang kemampuan membaca. Menurutnya, kemampuan membaca siswa di Indonesia menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei (harianjogjacom, 22/3/2016).
UNESCO dalam sebuah laporannya juga menegaskan angka-angka yang miris. Lembaga ini menyebut bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Dengan kata lain, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca (gobekasi.co.id, 19/5/2016).