Belum lama ini publik disodorkan dengan berita penyitaan beberapa buku yang diduga mengandung ideologi PKI. Tepatnya di Padang pada tanggal 8 Januari 2019 setelah sebelumnya penyitaan yang juga terjadi di Kediri Jawa Timur.
Penyitaan yang dilakukan oleh sejumlah anggota tim gabungan TNI dan Kejaksaan dikatakan dalam rangka menghapuskan paham ideologi PKI dan Marxisme sebagai Ideologi terlarang negara.
Penyitaan tersebut menuai pro-kontra. Salah satu contohnya Buya Syafe’i Ma’arif yang mengakatakan bahwa penggeledahan buku-buku yang mengandung unsur PKI adalah “pembodohan” ia juga mengatakan bahwa aparat ─dalam artian TNI dan seluruh bagian yang bertugas melindungi ideologi negara─ harus juga belajar, proses mencerdaskan bangsa ialah amanat UDD-45 karena itu penyitaan terhadap buku PKI ialah tindakan yang kurang tepat.
Namun ada juga yang menilai pro tentang penyitaan buku tersebut. Salah satunya ialah Politisi PPP Rohamurmuziy (Rommy) yang mendukung penyitaan terhadap buku-buku PKI. Ia menilai bahwa penyitaan tersebut bagian dari Pancasila sebagai ideologi negara yang harus dijaga karena itu Ia mendukung tindakan Aparatur Negara dalam melakukan penyisiran terhadap ideologi PKI ─termasuk Leninisme dan Marxisme.
Nampaknya, dewasa ini publik masih saja dihantui oleh bayang-bayang PKI yang keberadaannya pernah dimusnahkan oleh pemerintahan Orde Baru. Dendam masa lalu telah menjadi pemicu atas tindakan penggeledahan buku-buku Komunisme. Persepsi yang seperti ini sejatinya muncul karena masyarakat belum mampu membedakan antara PKI sebagai pengetahuan dan PKI sebagai entitas.
Di tengah-tengah gemuruhnya kasus tersebut, muncul pemberitaan yang disodorkan kepada publik mengenai prostitusi online yang dilakukan oleh Artis VA. Berita tersebut sontak berkembang pesat dan sempat menjadi viral ─temasuk munculnya degelen 80 juta, 2019 menjemput rezeki─ kepada kahalayak pengguna medsos.
Dibandingkan dengan pemberitaan tentang penyitaan buku PKI, ternyata berita prostitusi online artis lebih menarik perhatian publik. Bagaimana tidak, pemberitaanya menjadi trending dan sudah ditonton sebanyak 2 juta lebih penikmat Youtube.
Mengamati kedua premis di atas, saya jadi tercerahkan. Nampaknya, smartphone yang sering dibawa dan digunakan masyarakat yang mengaku sebagai generasi milenial itu tidak juga menjadikannya pintar dalam berfikir secara sehat. Alih-alih ingin mengetahui sejarah PKI itu sendiri, berita prostitusi justru lebih menarik untuk dikonsumsi sebagai pengetahuan.
Takut pada Ketidaktahuan
Asupan pengetahuan yang selalu disodorkan di sekolah, nampaknnya tidak memberikan efek pada luasnya pola pikir masyarakat kita. Seolah-olah dunia yang kita tempati hanya sebatas pada dunia hitam dan putih. Dua sisi yang bertentangan, namun sebenarnya memiliki warna lain jika dicari titik temunya.
Indoktrinasi yang seperti ini hanya akan mempersempit pengetahuan kita terhadap realitas sosial yang telah berubah atau bahkan hanya menjadikan kita takut untuk mengetahui sesuatu yang tidak dan belum kita ketahui.
Contohnya masalah PKI itu sendiri. Ideologi PKI seolah-olah menjadi dalih untuk melarang pengatahuan itu masuk dan dicerna alam pikiran. Sepertinya, pikiran kolot bapak-bapak milenial ─atau disebut generasi X─ terlalu mengintervensi cara berfikir, sehingga sering kali mengakibatkan pada ketakutan untuk mengetahui PKI ─maksudnya PKI sebagai suatu pengetahuan.
Jadi, pelarangan PKI dijadikan dalih untuk menyita buku-buku komunisme dan marxisme sebagai pengetahuan ialah tindakan yang kurang pas. Pasalnnya, komunisme juga merupakan bagian dari rentetan sejarah berdirinya NKRI. Bahkan, Berkali-kali Kuntowijoyo sering menyinggung akan pentingnya memahami dan memaknai sejarah dalam beberapa bukunya. Karena hanya dengan memahami sejarahlah kita mampu merubah dan membangun peradaban manusia.
Penggeledahan dan penyitaan buku ─Komunisme dan Marxisme─ oleh Aparatur Negara hanya akan memberikan persoalan baru di Indonesia, yaitu matinya nalar literasi masyarakat Indonesia ─terutama kalangan milenial.
Membangun Media yang Sehat
Sebuah artikel ditulis oleh Sahala Tua Saragih, bertajuk “Seks dan Egoisme Media” yang dimuat dalam harian Media Indonesia tempo lalu, penting untuk dicermati. Pasalnya, peran media dalam memberikan informasi kepada publik, tak juga mencerahkan masyarakat Indonesia. Alih-alih mencerdaskan bangsa, justru sebaliknya.
Peran media dewasa ini, sepertinya digunakan hanya sebatas komersialisasi informasi. Mencari komoditas informasi untuk diperdagangkan demi keuntungan belaka. Jika peran media semata-mata hanya untuk mencari keuntungan belaka, maka apa bedanya Jurnalis Media dengan pelacur yang mencari pundi-pundi rezeki untuk makan esok hari.
Media seharusnya memberikan informasi yang layak dikonsumsi oleh khalayak umum. Tidak hanya untuk komersialisasi belaka. Sebagai contohnya saja pemberitaan prostitusi online ternyata lebih banyak diberitakan dari pada pemberitaan penyitaan buku yang dilakukan Aparatur Negara. Dari sini, bisa dilihat bahwa, media menggunakan Isu prostitusi sebagai komoditas untuk mencari keuntungan.
Ketidak seimbangan media dalam memberikan berita kepada khalayak umum, hanya akan mempersempit cara berfikir masyarakat Indonesia ─terutama kalangan milenial. Karena disadari atau tidak, pola pikir milenial ditentukan dari bagaimana media memberikan informasi tersebut.
Media yang sehat ialah media yang mampu menyodorkan berita dengan mempertimbangkan aspek logika ─benar dan salah─ dan juga aspek etika ─baik dan buruk. Dan pembaca yang sehat ialah pembaca yang mampu memilah-milih dan membandingkannya dengan berita lainnya ─bersikap skpetis dalam mencerna berita.