Kemunculan tokoh-tokoh intelektual dalam media sosial maupun media massa menghadirkan kemudahan sekaligus tantangan. Hadirnya tokoh-tokoh intelektual dalam media memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses ilmu pengetahuan. Sejalan dengan adanya kemudahan, ketergantungan akan adanya kemudahan menjadi sebuah tantangan yang tidak boleh dianggap remeh.
Realita yang cukup membuat resah. Apabila masyarakat, khususnya para pelajar selalu menjadikan kemudahan dalam mengakses ilmu pengetahuan melalui media massa dan media sosial sebagai sebuah rujukan dalam menghadapi problem masyarakat, maupun permasalahan terkait akademi. Dampaknya ialah pola berfikir pelajar Indonesia mudah dimanipulasi.
Dahaga pengetahuan negeriku
Hadirnya tokoh-tokoh intelektual seperti Fadli Zon, Rocky Gerung, hingga ustad Abdul Somad dalam dunia virtual turut mewarnai jagat intelektual indonesia. Menjadi cara baru dalam menjawab tantangan zaman, hanya dengan mendengarkan wacana yang dibangun oleh tokoh-tokoh intelektual dalam media.
Menjadi sebuah masalah apabila masyarakat kita selalu menjadikan pendapat tokoh dalam menjawab sebuah problem, ditambah lagi yang diakses oleh masyarakat kita selalu berupa sebuah hasil dari sebuah pemikiran, bukan sebuah metode berfikir. Maka yang terjadi ialah masyarakat kita selalu mengharapkan sebuah hasil berfikir, tanpa adanya sebuah aktifitas berfikir. Atau bahkan masyarakat kita akan tidak mampu menjawab tantangan zaman, apabila tokoh-tokoh intelektual sudah tidak ada.
Memang menjadi sebuah hal yang positif, apabila aktifitas masyarakat Indonesia selalu berkaitan dengan pengetahuan. Ditambah lagi rumitnya problema negeri menjadikan masyarakat membutuhkan pengetahuan yang mampu menjawab, atau setidaknya menghilangkan rasa penasaran terhadap sebuah masalah. Dahaga terhadap pengetahuan pun tidak lepas dari kegagalan pendidikan dalam membangun masyarakat yang mampu memahami realita.
Dalam jangka panjang, apabila ketergantungan terhadap sebuah hasil berfikir terus dibiarkan, maka yang terjadi masyarakat Indonesia kehilangan kepercayaan diri, kemandegan nalar berfikir. Berkurangnya minat membaca buku menjadi sebuah keniscayaan,diakibatkan oleh ketergantungan tersebut.
Minat baca dan suburnya radikalisme Indonesia
Studi yang dilakukan Most Literred Nation in the world 2016 sebagaiaman dilaporkan republika.co.id, menunjukan Indonesia peringkat 60 dari 61 negara dalam hal peringkat membaca. Unesco memberikan presentase, bahwa minat baca Indonesia masih berkisar 0,01%, atau masyarakat indonesia rata-rata hanya mebaca buku 1 selama setahun.
Ironi yang membuat kita enggan untuk tidak menggelengkan kepala. Sejalan dengan banyaknya badan yang menjamin pendidikan indonesia, di sisi lain minat baca masyarakat Indonesia justru rendah. Justru masyarakat Indonesia beralih kepada hal-hal yang bersifat instant, lebih berminat mengadopsi sebuah hasil berfikir, dibanding mengambil sebuah metode berfikir.
Membaca buku seakan-akan sebuah aktifitas yang bukan lagi sejalan dengan zaman. Dengan dalih menyesuaikan dengan zaman, beralih ke media sosial dan media massa sebagai sara memperoleh pengetahuan menjadi sebuah opsi yang terbaik. Padahal dengan membaca buku, masyarakat akan tahu metode apa yang digunakan untuk memecah sebuah permasalahan.
Ditambah lagi, media sosial menjadi sarana kaum islam konservativ dalam menyebarkan ajarannya. Ajaran puritanisme yang menyebar melalui media sosial mudah sekali mempengaruhi masyarakat. Bahasa yang berbau kearab-araban lah yang menyebabkan masyarakat kita mudah terpengaruh. Seakan-akan merekalah yang paling dekat dengan al-qur’an.
Dengan dalih purifikasi ajaran Islam, kelompok Islam konservatif menganggap kelompok yang tidak sejalan dengan mereka adalah kelompok yang salah. Intoleransi terhadap kelompok lain menjadi bibit terjadinya radikalisme atau terorisme. Berawal dari mereka belajar melalui media sosial, kemudian masyarakat meyakini sebagai sebuah kebenaran tunggal, sehingga intoleransi menjadi sebuah keniscayaan. Yang terjadi ialah sesama bangsa indonesia mereka anggap sebagai musuh, halal darahnya, bahkan negara indonesia ialah negara kafir.
Sebuah ironi yang bermula dari konsumsi narasi yang dibangun oleh kelompok-kelompok islam radikal dalam media sosial, menjadi sebuah ancaman bagi integritas negara. Lalu bagaiamana seharusnya pemerintah menyikapinya hal ini.
Membaca buku dan filter media sosial
Membaca buku menjadi sebuah hal yang begitu penting bagi nasib peradaban dunia. Peradaban dunia selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan, dan ruhnya ilmu pengetahuan ialah membaca buku. Dengan memahami sebuah isi yang disajikan oleh buku, sehingga menjadikannya sebagai sebuah pisau analisis dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Menjadi berkembanglah nalar berfikir manusia apabila ada usaha membaca buku, serta pengaplikasian dan usaha menggali sebuah hal yang baru. Memiliki pendapat yang berdasar metodologi yang jelas, lebih baik, bila dibanding orang yang hanya mengutip hasil berfikir orang lain, tanpa mengetahui pisau analisis seperti apa yang digunakan.
Pemerintah menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam perihal literasi Indonesia. Perpustakaan harus benar-benar ada dalam seluruh wilayah Indonesia. Bukan dengan hanya mementingkan pembangunan material saja, tanpa memerhatikan pembangunan sumber daya manusia. Negara tidak akan mampu berdaulat akan dirinya sendiri tanpa adanya sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang tinggi.
Sejalan dengan perlunya perpustakaan dalam semua wilayah di Indonesia. Seleksi konten dalam media sosial perlu sekali untuk diketatkan oleh pemerintah. Karena walaupun minat membaca sudah tinggi, tetapi konten dalam media sosial masih berisi bibit-bibit yang dapat berpotensi mengancam integritas bangsa, hal itu masih tetap menjadi sebuah permasalahan. Pada saat ini sebuah hal yang sukar untuk menghindar dari interaksi dengan media sosial.