“Sebuah revolusi bukanlah taman mawar. Sebuah revolusi adalah pertarungan sampai mati antara masa depan dan masa lalu.” —Fidel Castro
Sebagai seorang pejuang yang mendambakan perubahan saat ketimpangan masih terjadi. Kutipan tokoh di atas mungkin sangat familiar di indera pendengarannya. Namun, pertanyaan di sini ialah: “Bagaimana pandemi ini direlevansikan dengan sinyal revolusi bagi bangsa Indonesia yang belum lama merayakan hari kemerdekaannya?”
Tepat beberapa hari lalu. Negara kita: Indonesia, baru saja memperingati hari yang patut kita syukuri. Yakni, Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke-75 tahun. Karenanya, dari peringatan hari bersejarah tersebut. Kita perlu menuju ke arah yang lebih baik lagi: mengimbangi negara lain, atau syukur-syukur—bisa lebih unggul daripada negara lain.
Untuk menggapai impian tersebut. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Salah satunya: kita bisa menempuhnya melalui proses pembangunan. Menurut Alexander (1994:18), pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, dan teknologi, kelembagaan, dan budaya. Tak lupa juga, bahwa proses pembangunan membutuhkan sebuah perjuangan yang konsisten, dan juga usaha yang konstan. Kerja sama antara pemerintah dan rakyatnya adalah hal yang paling utama.
Akan tetapi, pandemi yang masih terjadi hingga saat ini, telah mengakibatkan beberapa sektor pembangunan menjadi terhenti, mengalami degradasi, dan mengakibatkan para pemangku kebijakannya harus merumuskan ulang upaya pembangunan yang sedang dilakukan. Maka dari itu, sebagai masyarakat yang juga merasakan dampaknya.
Kita memerlukan sebuah terobosan baru, atau mungkin; sebuah alternatif untuk melakukan perubahan dengan cepat setelah pandemi ini dinyatakan berlalu: mengganti cara lama dengan cara baru, atau sebaliknya (pertimbangan untung-ruginya), menyingkirkan kebiasaan lama dengan kebiasaan yang luar biasa (extraordinary); dan untuk para mahasiswa, kita harus menjadi garda terdepan—guna melakukan suatu perubahan yang signifikan.
Namun, sebelum lebih jauh. Hal yang perlu digarisbawahi pada kesempatan kali ini. Saya akan memfokuskan dua hal: kembali ke demoktratisasi ekonomi, dan upaya revolusi pendidikan tinggi. Mengapa demikian? Karena, saya rasa, sektor ekonomi dan pendidikan adalah dua hal yang tidak bisa kita pisahkan.
Kesetaraan perekonomian dan kualitas pendidikan sangatlah berperan penting bagi jalannya roda pembangunan. Jika pendidikan dan perekonomian di tiap-tiap invidu saja masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Bagaimana mungkin, kita melakukan sebuah perubahan setelah pandemi ini dinyatakan berakhir, sedangkan di sisi lain; urusan moral dan isi perut saja, masih karut-marut? Dari sanalah, dua point tersebut, saya rasa perlu dipertimbangkan atau bahkan dilakukan sesegera mungkin.
Demokratisasi Ekonomi
Pandemi yang melanda tentu memukul banyak sektor pembangunan; dan hal itu, pastinya kita ketahui secara bersama-sama. Berbulan-bulan pandemi ini menggelayuti, dan berbulan-bulan pula kita merasakan dampaknya. Seluruh sektor porak-poranda; dan dalam menangani pandemi ini saja, pemerintah selaku pihak yang sangat bertanggung jawab terhadap rakyatnya sampai dibuat kewalahan bak pusing tujuh keliling.
Akibatnya, menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan (01/05/2020), terdapat 2,9 juta pekerja yang terkena dampak langsung selama masa pandemi. Hal ini kemudian mendegradasi kemampuan rumah tangga dalam mengonsumsi kebutuhan sehari-hari. Jadi, secara singkat, saya rasa, telah ada indikasi resesi ekonomi—meskipun perkembangannya perlu kita telusuri.
Untuk memperbaiki keadaan perekonomian kita pasca pandemi. Saya pikir, kita perlu kembali ke demokratisasi ekonomi. Dalam UUD 1945 pasal 33, telah ditegaskan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3).
Kemudian, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 ayat 4). Perlu kita terapkan kembali, dan secepatnya, kita jungkirbalikkan bersama sistem ekonomi yang hanya dikuasai oleh segelintir oligarki. Tujuannya: supaya terciptanya kesejahteraan untuk kita bersama.
Revolusi Pendidikan Tinggi
Kemudian, hal kedua, sekaligus point terakhir yang ingin saya fokuskan saat pandemi ini, ialah: sektor pendidikan. Akibat pandemi ini, ia juga telah memukul salah satu sektor pembangunan yang teramat penting; baik dari tingkat dasar hingga di tingkat perguruan tinggi: jaringan internet yang tidak merata, kuota internet menjadi beban baru, dan tenaga pendidikan yang gagap teknologi—juga menjadi pekerjaan rumah kita bersama.
Kita mengetahui bersama-sama bahwa pendidikan tinggi telah sejak lama digadang-gadang sebagai sumber mata air para agen perubahan (agent of change), dan pendidikan yang seharusnya dijamin oleh negara—kini sedang porak-poranda. Biaya pendidikan yang mencekik saat perekonomian sedang karut-marut, adalah problema yang harus diprioritaskan, dan harus bisa diselesaikan dalam proses pembangunan.
Bahkan, esensi pendidikan sempat diperjelas oleh Redja Mudyahardjo (2001:3). Menurutnya, pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi individu.
Maka dari itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku fasilitator pendidikan. Perlu terjun ke lapangan sesering mungkin: mengobservasi kekacauan pendidikan tingkat dasar hingga tingkat pendidikan tinggi saat pandemi, melihat bagaimana kualitas pendidikan saat pandemi, memonitoring kebijakan yang sedang diterapkan, dan mengevaluasi seluruh kebijakan yang sudah diterapkan—terutama, pada saat pandemi seperti ini.
Ketika semua data sudah terakumulasi, lantas kita pertanyakan: apakah semuanya sudah terselesaikan, atau ada hal yang perlu kita rumuskan ulang? Dan saya rasa, dari hal-hal kecil seperti itulah—upaya untuk memantik semangat revolusi pendidikan tinggi bisa segera terealisasi; dan tentunya, semua upaya akan tercapai, apabila melibatkan kita semua selaku masyarakatnya.