Ritual puasa yang dijalankan oleh umat islam saat ini memiliki kontinuitas sejarah yang ada jauh pada abad sebelumnya, ritual puasa sama tuanya dengan usia keberadaan manusia itu sendiri. Dalam simbol agama-agama monoteistik, ritual ini dimulai oleh nabi Adam (mengendalikan hawa nafsu) untuk tidak mendekati pohon khuldi, bahkan Nabi-nabi terkemuka lainnya juga memperkenalkan ritual ini kepada kaumnya, seperti Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, bahkan Jaina agama kuno di India. Sifat puasa sebagai ritual yang abadi, universal dan berkelanjutan dalam agama-agama terdahulu sampai saat ini, mengundang rasa ingin tahu kita, apakah sesungguhnya maksud utama manifestasi pesan Tuhan kepada umat manusia yang terkandung dalam ritual puasa.
Puasa atau dalam bahasa arab shaum, secara harfiah dapat diartikan menahan diri. Dalam ilmu fiqh puasa didedifinisikan; perilaku menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya (pemenuhan dorongan biologis seperti; makan, minum dan hubungan seksual). Allah menciptakan dorongan syahwat atau nafsu pada diri manusia untuk mencintai wanita, anak-anak, harta benda emas dan perak, unta dan sawah ladang sebagai kesenangan dunia (Q.S.3:14). Dalam kesempatan lain Nabi bersabda, Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu sendiri yang ada di dalam dirimu.
Sigmund Freud (1856) menyebut syahwat sebagai id dalam kajiannya psikoanalisisnya. Insting id adalah dorongan yang menjadi prinsip kehidupan dasar atau primer bagi manusia, yaitu kesenangan (pleasure principle). Tujuan dari kesenangan tersebut, untuk membebaskan individu dari rasa penderitaan (Misery). Prinsip kesenangan ini merupakan kecenderungan universal bukan hanya bagi manusia tetapi bagi semua makhluk hidup.
Al-Quran dengan keras memperingatkan agar manusia tidak mempertuhankan insting tersebut. Dan, bagi yang tidak menggunakan akalnya (sebagai pengendali atas insting id) maka mereka itu tidak lebih sebagai binatang ternak bahkan lebih sesat jalannya (Q.S.25:43). Apabila prinsip kesenangan mengambil alih kekuasaan dan mendominasi prinsip realitas maka di situlah awal kehancuran sebuah masyarakat bahkan peradaban.
Anomali Konsumerisme pada Bulan Ramadan
Ramadan sebagai bulan yang dinanti-nantikan kedatangannya bagi semua umat muslim, menjadikan komsumsi meningkat secara ekstrim. Semua mempersiapkan pakaian yang bagus dan makanan terbaik saat sahur maupun buka puasa. Alih-alih menahan diri, justru menjadi momen meningkatnya konsumsi.
Puasa yang semestinya melatih kesederhanaan justru berujung pada perilaku pemborosan. Setiap awal puasa harga minyak, gula, sayur, daging, ayam, dan ikan meningkat. Fenomena ini juga didorong oleh aktifitas bermedia sosial yang melanggengkan aktifitas berbuka puasa ugal-ugalan membuat semua orang menginginkan yang sama dengan apa yang mereka saksikan di media sosial. Inilah yang disebut Jean Baudrillard (1929) Fenomena konsumerisme dalam masyarakat kontemporer. Ia percaya bahwa manusia modern telah kehilangan kontak dengan realitas dan terhipnotis dengan realitas palsu (simulacra)
Jika dilakukan investigasi lebih jauh, permasalahan sosial dan lingkungan saat ini pada hakikatnya dipicu oleh keserakahan manusia modern. Apa yang disebut kebutuhan sering kali bukanlah “kebutuhan” dalam pengertian (need), sebagian dari itu hanyalah hasrat akan barang (a desire for things).
Ketika berbelanja, kadang tidak sedang benar-benar membutuhkan barang yang akan dibeli, tetapi hanya ingin memuaskan hasrat untuk membeli barang. Manusia seharusnya mengambil jarak agar jiwanya tidak dikuasai oleh hasrat akan dunia (zuhud). Hasrat ini, jika tidak terkendali dapat menjebak seseorang dalam konsumsi secara eksesif sehingga menimbulkan kerusakan, baik secara personal pada orang bersangkutan, secara sosial, maupun lingkungan.
Bulan Ramadan seharusnya menjadi refleksi pada dua hal, kesalehan individual dan kesalehan sosial. Puasa adalah upaya spiritual untuk mencapai kesalehan dihadapan tuhan dan dihadapan manusia. Saleh di hadapan tuhan adalah melaksanakan ritual sebagai penghambaan, kemudian saleh dihadapan manusia adalah menyelami kondisi masyarakat miskin yang merasakan lapar dan dahaga sehingga mendorong kepedulian terhadap penderitaannya.
Dalam bulan Ramadan seorang muslim setelah menjalankan ritual puasa diwajibkan untuk berzakat, karena orang yang memiliki kekayaan lebih selama berpuasa, ia merasakan penderitaan dikala lapar dan dahaga yang menyadarkannya pentingnya membagikan rezeki yang ia miliki.
Mengendalikan Syahwat; Sebuah Strategi Kebudayaan
Harus ada pendidikan dan pelatihan untuk ego (tinjauan psikoanalisis) untuk melawan stimulus yang membangkitkan syahwat Dengan kata lain puasa merupakan simbol tentang pentingnya pengekangan syahwat (id) demi penguatan dan pendewasaan terhadap ego. Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai derajat taqwa.
Maka, taqwa di sini harus diberi pengertian kemampuan ego dalam menunda dan mengendalikan keinginan-keinginan syahwat yang tidak dapat dimusnahkan tersebut pada arah pemenuhan yang sesuai dengan ketentuan moralitas agama dan budaya. Syahwat yang mencapai titik kepuasan melalui proses taqwa inilah yang kita sebut dengan nafsu yang dirahmati oleh Tuhan (an-nafs lawwamah).
KH Ulil Abshar Abdalah dalam tulisannya di alif,id menyebutkan, kenaikan derajat spiritual seseorang dapat tercapai jika hasrat duniawi ini secara pelan-pelan bisa ditaklukkan melalui latihan yang panjang. Persis seperti latihan yang harus dijalani oleh pemain sepak bola, seseorang tak akan bisa menjadi pemain bola yang ulung jika tak melalui latihan panjang yang menderita, bagi kalangan sufi disebut dengan istilah “riyaḍah”. Seorang yang hendak menjalani laku spiritual; harus mampu menempuh waktu dan jalan panjang untuk mencapai derajat rohaniah yang bersih.
Peradaban umat manusia pada hakikatnya adalah hasil represi atau pengekangan terhadap dorongan “insting kebinatangan” dalam tulisan ini kita padankan dengan term syahwat atau id. Melalui pengekangan syahwat (id) untuk mengarahkan dorongan-dorongan primitif tersebut pada tujuan rasional, berperikemanusiaan, dan berbudaya. Imam Al-Ghazali (1056) menekankan bahwa hawa nafsu jika tidak dikendalikan, dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa dan menghilangkan kejernihan hati. Oleh karena itu, Islam mengajarkan pengendalian diri melalui pernikahan dan puasa, pengendalian diri untuk menyeimbangkan kebutuhan fisik dan spiritual agar manusia tidak diperbudak oleh syahwatnya.
Pada kesimpulannya, tuhan menetapkan ritual puasa sebagai pesan simbolik bahwa potensi kehancuran peradaban atau masyarakat bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Potensi ini tidak dapat dimusnahkan, ia selalu muncul setiap waktu. Karena itu, perilaku manusia selalu mendasarkan diri ujian dan ketakwaan dari Tuhan. Melalui ritual puasa manusia mendapatkan pelajaran bahwa untuk membangun kembali masyarakat dan peradaban harus dimulai dari pengekangan secara kolektif atas dorongan syahwat. Maka, bulan Ramadan bisa menjadi sebuah titik tolak dan strategi dalam merestorasi kembali budaya masyarakat yang sedang mengalami krisis berkepanjangan.