Sabtu, April 20, 2024

Metaverse sebagai Disruptive Technology – Bisnis dan Pendidikan

Rahmat Trialih
Rahmat Trialih
PhD student in Business Information Systems, University College Cork, Irlandia Ketua Komisi Teknologi PPI Dunia 2021/2022 Anggota PPI Irlandia

Dimulai dari maraknya kegiatan nonton bareng film, konser, hingga promosi produk di dalam fortnite, salah satu game milik epic games dan belum lama ini terjadi berlanjut facebook melalui Marc Zulkenberg telah mengumumkan perubahan nama mereka menjadi “Meta”.

Pada awalnya, banyak orang yang menganggap hal itu sebagai lelucon tetapi akhirnya menjadi hal serius bagai sekalangan orang. Hal ini ditunjukkan dengan pergantian Chief Technology Officer (CTO) facebook yang dulunya dipegang Mike Schroepfer akan digantikan oleh Andrew Bosworth ditambah perubahan nama menjadi meta sendiri. Tentu saja, pergantian CTO ini bukanlah tanpa alasan, namun menunjukkan betapa seriusnya meta untuk merealisasikan impian yang mereka bawa di masa depan yaitu “metaverse”, sebuah teknologi web 3.0 dan berbasis augmented dan virtual reality (AR/VR). Namun sebelum kita beranjak lebih jauh kesana, sebenarnya apa metaverse itu?

Metaverse itu merupakan gabungan dari dua kata yakni meta dan universe. Meta sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti di luar, setelah, atau di seberang dan universe yang berarti dunia atau realitas dengan kata lain metaverse adalah dunia atau realitas yang berada di luar dunia nyata atau dunia virtual.

Singkatnya, mungkin teman-teman sudah menonton film “Ready Player One” atau anime-anime Jepang, kira-kira akan seperti itulah metaverse nantinya. Sebuah dunia dimana kita akan memiliki avatar atau ibaratnya character di dalam dunia tersebut dalam bentuk 3D. Inilah salah satu wujud perbedaan yang paling mencolok antara internet 2D yang ada sekarang dengan internet 3D di dunia metaverse.

Selain itu, banyak di antara kita yang menganggap metaverse ini akan menjadi game-changer ditambah dengan kenyataan akan dunia ini yang agak linglung karena pandemi covid-19. Para pecinta cryptocurrency pun juga tidak mau kalah, melalui streaming untuk mempromosikan referral link game metaverse yang menghasilkan uang crypto sehingga mempersempit pandangan bahwa metaverse hanya berkaitan dengan uang.

Padahal, metaverse ini dapat menjadi sarana yang jauh lebih luas dan memiliki potensi yang sangat mendalam. Tidak mengherankan pula jika banyak raksasa teknologi mempersiapkan diri dan berlomba untuk segera merealisasikan “metaverse” dan membangun pasar mereka masing-masing.

Metaverse di Bidang Bisnis

Sudah bukan rahasia umum lagi, dasar utama yang melandasi konsep metaverse ini adalah untuk bisnis. Saat ini kita masih belum mengetahui seperti apa kehidupan virtual kelak dan mungkin merasa pesimis dengan metaverse. Namun disadari atau tidak,kita sudah menikmati waktu kita di dunia virtual meski belum seutuhnya. Contohnya, saat ini kehidupan kita tidak dapat dilepaskan dari media social seperti facebook, Instagram, bahkan aplikasi chat seperti WhatsApp. Perilaku ini merupakan perwujudan akan seperti apa kehidupan di dunia metaverse diisi dengan kehidupan bermasyarakat dan pastinya kegiatan jual-beli seperti yang kerapkali dilakukan di media-media yang disebutkan.

Kita bisa membayangkan metaverse nanti akan berwujud sama dengan dunia nyata dengan area tertentu. Di dalam wilayah tersebut kita bisa jalan-jalan, menikmati hiburan, bahkan melakukan kegiatan sosialisasi. Baru ini, perusahaan raksasa seperti nike dan adidas sudah membeli area tanah di metaverse untuk mempromosikan produk dan membangun gedung virtual mereka di tanah tersebut.

Kelak, kita sebagai customer tidak perlu khawatir membeli produk dengan size yang salah dan mungkin menggunakannya untuk mempercantik tampilan avatar di metaverse. Berbicara transaksi, besar kemungkinan setiap metaverse akan memiliki mata uang masing-masing dan kita tidak perlu repot untuk menukar uang kita yang dalam bentuk rupiah ke mata uang lain.

Metaverse di Bidang Pendidikan

Pemanfaatan metaverse dalam dunia pendidikan kelak sangatlah mungkin terjadi, ide metaverse sebagai sarana untuk membangun budaya belajar ini sebenarnya sudah lama digagas oleh para peneliti sebelumnya seperti chriss Collins dan Paul Maharg. Mereka memandang potensi metaverse yang awal kali muncul di tahun 1992 melalui novel Paul Stephenson sebagai hal masa depan yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi di dunia virtual sehingga akan mengubah kultur dan peradaban manusia. Dunia Pendidikan juga menjadi area yang diprediksi akan bertransformasi dengan kehadiran metaverse ini.

Dilansir dari data UNESCO tahun 2021, sebanyak 90% Lembaga Pendidikan baik Pendidikan dasar hingga Pendidikan tinggi terdampak oleh pandemic covid-19. Dengan situasi seperti ini, muncul berbagai permasalahan seperti daya serap siswa mengalami penurunan dibandingkan sekolah langsung ataupun semakin repotnya orang tua setelah memiliki banyak tanggungan pekerjaan ditambah membantu anak belajar juga.

Di sisi lain, guru dan dosen juga tidak kalah kesusahan, mereka kerapkali kesulitan untuk memformulasikan cara terbaik dalam menyampaikan isi materi serta membangun suasana kelas daring yang tidak membosankan. Terlebih fenomena siswa yang suka melakukan off-cam dengan dalih masalah koneksi sehingga semakin menyulitkan pengajar dalam melihat keseriusan belajar mahasiswa.

Melalui metaverse, Lembaga Pendidikan dan stakeholder terkait akan mendapatkan keuntungan dalam melanjutkan proses belajar-mengajar. Permasalahan seperti kurangnya direct communication antara pengajar dengan murid dapat teratasi. Hal ini disebabkan metaverse membawa suasana langsung seolah-olah kita bertemu satu sama lain meskipun secara virtual. Seiring berkembangnya jaman, masalah ini pun mulai secara perlahan terasi dengan adanya skema untuk membangun kepercayaan dan sebuah perasaan yang membuat dunia virtual dibuat seperti kondisi realitas.

Riset pun menunjukkan bahwa orang-orang generasi sekarang merasakan adanya social presence di dalam dunia maya. Selain itu, pemanfaatan teknologi ini juga dapat membantu sistem pembelajaran jarak jauh yang memudahkan para stakeholder untuk lebih menghemat biaya seperti biaya perjalanan, biaya sewa tempat tinggal untuk mahasiswa, ataupun biaya-biaya lain yang muncul karena pembelajaran luring.

Ada kelebihan pun juga ada kekurangan, membangun metaverse sebagai sarana pembelajaran juga bukanlah hal yang mudah terutama di Indonesia. Dalam mengimplementasikan metaverse yang futuristik ini, tentu dibutuhkan internet yang memadai dan sarana lain untuk mengakses dunia metaverse kelak.

Berbicara mengenai internet di Indonesia, berdasarkan data speedtest global index tahun 2021, kecepatan internet Indonesia masihlah jauh dari kata memadai dengan kecepatan untuk mobile performance berada di peringkat 107 dengan 15.82Mbps dan fixed broadband berada di peringkat 111 dengan 20.13Mbps.

Jika kita mengacu pada artikel circleid, kecepatan internet ideal agar akses terhadap metaverse lancer memerlukan sekitar 100-200Mbps dengan latency setidaknya sekitar 10ms mengacu pada artikel circleid, kecepatan internet ideal agar akses terhadap metaverse lancer memerlukan sekitar 100-200Mbps dengan latency setidaknya sekitar 10ms. Maka dapat kita simpulkan bahwa kondisi Indonesia masih jauh dari kondisi ideal.

Rahmat Trialih
Rahmat Trialih
PhD student in Business Information Systems, University College Cork, Irlandia Ketua Komisi Teknologi PPI Dunia 2021/2022 Anggota PPI Irlandia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.