Chairil Anwar adalah seorang penyair terkemuka Indonesia yang lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, yang berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya adalah mantan Bupati Indragiri, Riau, dan ia memiliki pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil Anwar dikenal sebagai salah satu pelopor Angkatan ’45 dan puisi modern di Indonesia. Karyanya, termasuk puisi Aku dan “Karawang-Bekasi,” banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Ia meninggal pada 28 April 1949 di usia hampir 27 tahun akibat penyakit TBC.
Meskipun hidupnya singkat, karyanya tetap melekat dalam dunia sastra Indonesia, dan ia dikenang sebagai salah satu tokoh sastra paling berpengaruh di Tanah Air. Chairil Anwar memiliki julukan “Si Binatang Jalang” berkat puisi terkenalnya yang berjudul Aku. Adapun puisi yang menjadi perbincangan akibat makna yang menjadi dorongan bagi pembacanya untuk menjadi seseorang yang pantang menyerah dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi adalah puisinya yang berjudul Diponegoro.
Puisi Diponegoro merupakan salah satu karya Chairil Anwar yang ditulis pada Februari 1943. Puisi ini menggambarkan tentang sosok Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan nasional Indonesia yang memimpin perang melawan penjajah Belanda pada abad ke-19. Puisi ini dibuat sebagai bentuk penggambaran semangat perjuangan dan keberanian Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah.
Judul “Diponegoro” diambil dari nama pahlawan Indonesia yakni Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Said adalah seorang pangeran Jawa yang memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda selama Perang Diponegoro (1825-1830). Pangeran Diponegoro dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan. Ia memimpin perlawanan karena tidak ingin Belanda ikut campur dalam urusan kerajaan dan karena beberapa tindakan pemerintah kolonial yang dianggap merendahkan martabatnya.
Di masa pebangunan ini
Tuan hidup kembali
Dalam kalimat tersebut, dapat ditarik maknanya bahwa puisi ini menggambarkan pembangunan dan kembali hidup dengan semangat yang tak bisa mati setelah perang Diponegoro.
Bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Ia menunjukkan bahwa kagum yang tampaknya dapat menjadi sumber daya dan motivasi untuk berjuang, seperti api yang menghamba inasa di atas perkembangan. Dalam puisi ini, Pangeran Diponegoro dikenang sebagai pemimpin depan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda, dengan menghabiskan kekuatan Tuhan dan berada di depan tanpa rasa takut.
Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali
Menggambarkan perlawanan yang tidak mengalami kekhawatiran dan menjadi pemangku kepemimpinan serta menunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro berjuang melawan penjajah Belanda yang jauh lebih banyak dari pada mereka, meskipun persenjataannya tidak selengkap penjajag Belanda.
Pedang di kanan, keris di kiri
Ini merupakan sebuah simbol, pedang di kanan menggambarkan kekuatan Tuhan yang mendukung Pangeran Diponegoro, sementara keris di kiri menggambarkan keberanian, kekuatan, dan kegigihan Pangeran Diponegoro. Selain itu, kalimat ini juga menunjukan bahwa perlawanan melibatkan keseimbangan antara dua sisi, yaitu pemerintah Indonesia dan pemerintah kolonial Belanda, masing-masingnya menggunakan strategi yang berbeda.
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Baris berikut menunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat berani dan tidak memiliki rasa takut meski menghadapi jumlah tentara yang banyak dan menggambarkan perlawanan yang berkelanjutan dan berusaha untuk mencapai tujuan meskipun mengalami hambatan dan kesulitan yang besar.
Maju
Empat huruf ini menggambarkan bahwa perlawanan harus dilakukan dengan maju dan serangan, serta bertujuan untuk membangun kembali negeri Indonesia.
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Bait ini berisi konsep perjuangan dan pengorbanan yang menggambarkan perjuangan yang kokoh dan keyakinan yang mantap. Bait ini juga mencerminkan tekad yang kuat, di mana satu tindakan dapat menentukan takdir, bahkan hingga ke titik kematian.
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
inasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Bait di atas mengacu pada arti atau kebijakan pemerintah yang menghambat kemajuan masyarakat menuju negara yang maju, bisa dikatakan bahwa puisi ini mengkritik oligarki yang merampok kekayaan dan menyoroti ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kesejahteraan masyarakat.
Secara garis besar, puisi Diponegoro juga memberikan dampak langsung yang dapat meningkatkan semangat, menghilangkan rasa putus asa, dan mempertahankan semangat dalam meraih cita-cita serta menyadarkan bahwa meraih keinginan memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar.
Horison penerimaan dalam puisi ini juga meliputi banyak nilai positif dan dijadikan acuan pembelajaran bagi pembacanya, termasuk semangat tanpa putus asa, ketekunan meski sumber daya terbatas, kesiapan mengorbankan diri untuk mencapai kemenangan, dan keteguhan dalam meraih tujuan. Sikap-sikap positif ini dapat diaplikasikan dalam interaksi sosial masyarakat di bidang pendidikan. Selain itu, nilai-nilai ini juga dapat diimplementasikan dalam mengejar ilmu agar usaha meraih cita-cita tidak sia-sia.