Sabtu, April 20, 2024

Melihat Makna Di Balik Ungkapan “Pribumi” Anies Baswedan

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
 

Beberapa hari ini kita disibukan oleh hal-hal yang menggelitik, tiba-tiba istilah pribumi mendadak viral di jagat pertarungan dunia maya. Berawal dari pidato yang heroik layaknya kemenangan kemerdekaan, Anies Baswedan memulai “huru-hara” yang telah lama redam. Anies memang acap kali mendengungkan statement yang kontroversial, selain lontaran-lontaran terdahulu seperti program enol persen yang utopis, salah data dan sebagainya. Tentu menarik untuk dilihat secara utuh, mengapa Anies kerap membuat sesuatu yang sensasional hingga viral.

Apa yang diungkapkan oleh Anies sangat erat kaitannya dengan upaya menaikan eskalasi popularitas. Walaupun itu kontradiktif, semacam paradoks dalam upaya menaikan namanya. Bagi sebagaian orang sikap serta statementnya sedikit berbau sesuatu yang relasional dengan startegi marketing. Dengan pernyataan yang ahistoris serta diluar basis pengetahuan, membuat khalayak seakan-akan terjebak dalam sebuah skema reproduksi informasi. Sehingga kita seolah-olah benci namun sebenarnya berpotensi terngiang-ngiang oleh tindakan kontroversial Anies.

Pertarungan pembentukan skema popularitas kerap memainkan peran media. Pertarungan media inilah yang menjadi kunci keberhasilan dalam sebuah strategi penjajakan politik. Kita tentu masih ingat bagaimana Jokowi memainkan peran sebagai pemimpin yang hobi blusukan, kekinian serta kerap ditimpa informasi miring. Namun justru informasi tak bertanggung jawab tersebut berhasil menaikan popularitasnya. Berbeda dengan strategi Prabowo yang acap kali tampil heroik, mereplikasi persona Sukarno, yang terbukti gagal total dalam menarik perhatian khalayak.

Kunci dari startegi permainan persuasi ini terdapat pada bagaimana cara mengolah suatu isu, hingga menjadi sebuah nilai tambah untuk memuluskan pengkomodifikasian persona. Bisa jadi apa yang dilakukan oleh Anis menjadi satu nilai tersendiri, atau malah mengikuti jejak Prabowo yang gagal total dalam upaya menarik konstituen. Sebenarnya apa yang dimainkan oleh Anies ini bisa jadi dimaknai sebagai sebuah upaya menaikan popularitasnya, dengan menargetkan sebagai trending topic. Maka tujuan akhirnya ialah namanya selalu dikenang, dengan berbagai kontroversinya.

Ungkapan “Pribumi” Sebagai Strategi Kampanye

Melihat relasi perkataan “pribumi” dalam pidato Anies, ada kaitannya dengan upaya untuk sebuah kampanye tersendiri. Mengingat ada tendensi ke arah tersebut, maka harus dibuktikan dengan argumentasi yang relevan. Melihat pola yang digunakan Anies dalam beberapa sepak terjangnya, serta hal-hal yang mendukung asumsi terkait “upaya kampanye.” Kemenangan Anies tidak berdiri sendiri, semua satu rangkaian yang dikemas sangat rapi. Jika berkaca pada rangkaian historis pra dan pasca pilkada, maka ada sedikit argumen yang merupakan bagian analisis terkait, makna terselubung dibalik kontroversi Anies.

Salah satu upaya untuk mendukung analisis ini, kita bisa melihat pada Kajian Shanto dan Marcus (1992, Political Advertising: What Effect on Commercial Advertisers?), yang memuat kajian Rosenstone dan Hansen (1992). Di dalam kajian tersebut menyatakan jika hal dilakukan oleh Anies dan tim, dapat dimaknai sebagai upaya untuk menarik orang melalui sebuah kampanye negatif. Hal ini sangat erat kaitannya dengan asumsi, jika beberapa orang berpegang teguh pada identitas partisan mereka, sehingga tindakan voting umumnya berfungsi ekspresif. Karena orang yang berpegang teguh pada identitas partisan, pada dasarnya memperoleh afiliasi dengan partai tertentu sedari awal mengenal politik. Sehingga probabilitas bahwa mereka akan menyeberangi garis partai dalam menanggapi kampanye iklan tertentu kemungkinannya sangat sedikit.

Motivasi untuk memberikan suara dari partisan yang loyal, biasanya bermakna simbolik atau dalam sisi psikologis (dalam arti bahwa suara seseorang tidak mungkin penting dalam menentukan hasil pemilu), dengan meningkatkan kontroversi dan konflik di sebuah iklan kampanye terkait, memiliki tendensi untuk mencegah pemilih dari membuat pilihan dan memberikan suara pada lawan politik. Akibatnya, kampanye negatif menjadi semacam strategi “penghindaran,” ekspansi pemilih.

Selain relasi dengan keterikatan secara emosional dengan partai ataupun kandidat. Faktor yang dapat menaikan popularitas Anies ialah kebangkitan budaya atau faktor naiknya keterikatan dengan agama atau budaya tertentu. Kebangkitan budaya dapat dimaknai dengan mengutanya atau munculnya kembali konservatisme. Dimana mereka memunculkan glorifikasi kejayaan masa lalu, hingga perasaan tertindas oleh keadaan, hingga mengkerdilkan dalam era kekinian. Pada konteks sosial dan politik sentimen seperti anggapan liberal dan komunis atau secara dasar terancamnya sebuah keyakinan, memicu munculnya kebangkitan konservatisme (Popowski, 2011. The Rise and Fall of Triumph: The History of a Radical Roman Catholic).

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lainnya, bahkan cenderung semakin menguatkan untuk tujuan tertentu. Popularitas Anies tentu akan semakin meningkat dalam massa konservatif, sementara di satu sisi akan memiliki implikasi negatif. Namun justru semakin masifnya pertarungan framing media, akan memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga. Hal ini sudah teruji di dalam Pilkada DKI tempo lalu, dimana sentimen rasialis, kecacatan statement, hingga janji utopis, terbukti mampu memenangkan Anies.

Jika kita jeli, maka perlu kajian mendalam untuk membuktikan hipotesis ini. Bahwasanya kemungkinan kata “pribumi” yang didengungkan oleh Anies merupakan strategi kampanye. Demi menaikan popularitas serta mengikat partisan fanatiknya. Tentu hal ini akan diimbangi dengan strategi marketing politik, seperti kebijakan populis terutama pada kaum subaltern untuk mengikat partisan baru. Strategi semacam ini sebenarnya sudah terbukti efektif ketika Trumph berhasil mengalahkan Hillary dalam pemilu Amerika. Walaupun di Eropa strategi semacam ini terbukti gagal, contohnya Le Pen di Perancis atau Theresa May di Inggris.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.