Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pemilihan umum selalu diwarnai dengan isu-isu agama yang menyebabkan masyarakat terbelah dengan sangat tajam. Masyarakat Indonesia yang notabene adalah masyarakat religius seolah dikuras habis emosinya oleh berita-berita bohong yang mengadu domba.
Aroma kebencian begitu menyengat di hidung yang bahkan residunya masih bisa kita rasakan hingga hari ini. Sampai di sini, kita mungkin bertanya-tanya, mengapa orang-orang religius ini bisa terpancing emosinya bahkan hingga bermusuhan dengan saudara seagamanya sendiri? Apakah nilai-nilai yang diajarkan agama tidak cukup mampu untuk meredam permusuhan diantara masyarakat kita?
Yang lebih menggelitik, mengapa banyak agamawan dengan gelar akademik yang mentereng masih terperdaya oleh berita-berita yang kurang bijak yang memang sengaja diciptakan untuk memperluas perpecahan? Artikel singkat ini akan mencoba menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan suatu pendekatan khusus.
Manusia Sebagai Kelompok Sosial
Sebagai mahluk sosial, pada dasarnya manusia butuh untuk berada dalam sebuah kelompok sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup, dan atau wadah untuk mengaktualisasikan identitas diri.
Di dalam sebuah kelompok sosial, baik dalam sekala kecil (komunitas) maupun sekala besar (negara), setiap individu akan dihadapkan pada berbagai macam persoalan yang mengharuskan mereka untuk saling bekerjasama dan beradaptasi, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan resources (sumber daya) sebagai pilar penting untuk bertahan hidup. Inilah fungsi kelompok sosial sebagai jalan untuk survival, mempertahankan eksistensi diri.
Fungsi lain dari sebuah kelompok sosial ialah sebagai aktualisasi identitas diri. Manusia pada dasarnya membutuhkan afirmasi dari identitas diri yang dibentuk. Kita mungkin bisa mengidentifikasi diri kita sebagai seorang yang baik, dermawan, dan cerdas. Namun, kita tidak akan benar-benar yakin tentang identitas kita tersebut tanpa afirmasi dari orang lain. Sebab itu, sebuah kelompok sosial dibutuhkan sebagai sarana aktualisasi diri dari setiap identitas yang dibentuk oleh setiap individu.
Sebab ada keharusan untuk saling bekerjasama, beradaptasi, dan saling mengaktualisasikan diri, di sinilah moral menjadi sangat dibutuhkan. Moral dibutuhkan dalam sebuah kelompok sosial untuk menjadi pedoman prilaku baik atau buruk. Akan tetapi, landasan dari moral ini akan sangat berbeda-beda tergantung pada value dan pengalaman yang dimiliki oleh setiap kelompok. Oleh sebab itu, seringkali orang-orang terjebak pada pertentangan hingga berujung pada permusushan dikarenakan perbedaan landasan moral tersebut.
Tentang Moral dan Kebenaran Sejati
Teori moral inilah yang digunakan oleh Jonathan Haidt, ahli psikologi dari Amerika Serikat, untuk menganalisis pembelahan atau polarisasi di tengah masyarakat oleh politik dan agama.
Dalam bukunya The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion, Haidt seolah mempertanyakan kembali teori psikologi moral yang selama puluhan tahun didominasi oleh gagasan-gagasan Lawrence Kohlberg, atau Kantian yang menekankan bahwa sejatinya manusia itu mahluk yang rasional, sehingga landasan moralnyanya pun akan dipandu oleh rasionalitas.
Sebaliknya, Haidt menganggap bahwa pada dasarnya manusia tidak menggunakan rasionalitasnya dalam menentukan moralitas. Rasionalitasnya justru digunakan untuk memperkuat intuisi atau asumsi-asumsinya tentang moral yang mereka anggap baik.
Hal ini senada dengan pandangan Hume yang mengatakan Reason is and ought only to be the slave of the passions and can never pretend to any other office than to serve and obey them, bahwa hakikatnya rasionalitas kita hanyalah budak dari passions, atau kecendrungan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, menurut pandangan ini, penilaian terhadap moral lebih bersifat otomatis, atau semacam penilaian estetis daripada analisis berdasarkan prinsip.
Dalam teorinya, Moral Foundation Theory (MFT), Haidt mengkatagorikan lima fondasi moral yang senantiasa dijadikan pegangan oleh berbagai macam kelompok sosial. Lima landasan moral itu antara lain; care/harm (merawat/membahayakan), Fairness/Cheating (keadilan/ketidakcurangan), Sanctity/degradation (kesucian dan degradasi), loyalty/betrayal (kesetiaan/penghianatan), Authority/subversion (otoritas atau subversive), dan liberty (kebebasan).
Fondasi moral yang berbeda-beda ini memiliki konsekuensi terhadap pandangan politik. Sebagai contoh, individu atau kelompok yang memiliki kecendrungan pada fondasi moral care/harm, lebih senang pada narasi-narasi tentang kepedulian, kasih sayang, dan pengayoman. Sehingga mereka akan labih cenderung berafiliasi dengan politisi yang mengumbar narasi-narasi semacam ini.
Bagi kelompok masyarakat yang landasan moralnya cenderung pada sanctity/degradation, maka moral baginya adalah berarti menjaga kesakralan. Kesakralan, terhadap apa pun keyakinannya, adalah sesuatu yang harus dijaga dan tidak boleh dilanggar.
Siapa pun yang mencoba melanggar kesakralannya, atau tindakan apa pun yang beruapaya menistakan kesakralan, akan dengan mudah memancing gelombang amarah masyarakat. Barangkali, alasan inilah yang bisa menjelaskan mengapa sepanjang pilpres 2014, pilkada 2017, dan pilpres 2019, begitu sesak dengan amarah kelompok-kelompok agama yang merasa terusik kesakralannya oleh kelompok yang lain. Padahal, bisa jadi, kedua-duanya hanya ingin menegakkan moralitas yang mereka yakini kebenarannya.
Persoalannya adalah, lagi-lagi, kecendrungan moral ini tidak didasari oleh rasionalitas, melainkan intuisi yang telah lama berkembang dan diyakini dalam sebuah kelompok sosial berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka alami. Rasionalitas digunakan untuk mendukung intuisinya tersebut. Itu sebabnya, kita sering menyaksikan debat kusir para politisi di media masa. Yang mereka lakukan bukanlah mencari kebenaran bersama, akan tetapi menjustifikasi kesalahan kelompok lain, dan meninggikan pandangannya yang dianggap paling benar. Kesimpulannya adalah, tidak ada yang paling benar dalam perdebatan politik tersebut, yang ada hanyalah mereka yang memiliki landasarn moral yang berbeda.
Jika pun demikian, adakah cara yang paling mungkin dilakukan untuk meredam pertengkaran atau polarisasi akibat politik dan agama ini? bagi saya pribadi, ini pekerjaan yang sangat sulit. Kecuali, jika kita mampu memperluas pemahaman dan rasa empati kita kepada kelompok-kelompok lain yang memiliki landasan moral yang berbeda dengan kita.
Kita harus mengamini bahwa di luar sana ada entitas lain yang memiliki landasan moral yang berbeda. Haidt menyebutnya sebagai perspective taking, kemampuan melihat apa yang dilihat oleh orang lain. Ketimbang memperluas pertengkaran dengan condong ke salah satu kelompok, pikiran-pikiran kita justru harus terus diupayakan untuk menemukan kesamaan dan kebersamaan. Persoalan-persoalan nasional maupun global membutuhkan tindakan-tindakan yang kolaboratif dan konstruktif alih-alih saling bersikap destruktif.