Sabtu, April 20, 2024

Tidak Perlu Polisi Moral

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Kita tidak mau perempuan-perempuan kita mendapat perlakuan sebagaimana yang dialami oleh Mahsa Amini, bukan? Mahsa Amini adalah perempuan muda berusia 22 tahun yang diberitakan banyak media di dunia dan termasuk di Indonesia meninggal karena ditangkap oleh Polisi Moral atau Syariah dengan alasan jilbab yang dikenakan Amini tidak sesuai dengan aturan, sebagian rambutnya masih terlihat. Akhirnya, Mahsa Amini ditangkap dan menurut kabar, konon dia mendapatkan abuse of power dari Polisi Syariah sehingga ini menyebabkan kematian bagi gadis muda ini.

Akibat tragedi yang menjadikan Mahsa Amini menjadi korban, maka gerakan protes dengan cara membuka jilbab dilakukan oleh kalangan perempuan Iran.

Peristiwa yang menimpa Mahsa Amini sudah barang tentu harus kita sesali. Penyesalan itu tidak hanya bagi perempuan, namun juga bagi kita semua, umat manusia, yang memandang bahwa dalam diri manusia ada hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi. Kita semua harus mengambil pelajaran dari peristiwa ini dan beberapa hal bisa saya kemukakan sebagai berikut.

Pertama, sudah seharusnya, dalam pandangan Islam, nyawa manusia mendapatkan penghormatan. Hal ini sesuai dengan pandangan Islam soal hifdz al-hayat atau hidz al-nas. Nyawa manusia berhak mendapat perlindungan. Hak Asasi Manusia Universal juga menjamin kehidupan manusia. Selama mereka manusia, apa pun latar belakang ras, gender, agama, keyakinan, ekonomi dlsb, maka mereka kehidupan mereka harus mendapatkan keselamatan.

Mahsa Amini seharusnya mendapat perlindungan dari negaranya. Namun tampaknya itu tidak terjadi. Nyawanya melayang karena perlakuan Polisi Syariah di negerinya.

Kedua, kita, di Indonesia, negeri yang terbuka, harus mengambil pelajaran dari kematian Mahsa Amini. Sebenarnya, kalau boleh jujur, di balik sikap sebagian kalangan termasuk di dalamnya sebagian umat Islam yang kritis terhadap fenomena soal jilbab di negara kita adalah kekhawatiran akan hal yang sudah menimpa Mahsa Amini.

Menurut beberapa studi, Indonesia memulai fenomena jilbabisasi semenjak terjadinya revolusi Iran 1979. Pada saat itu, keberhasilan Revolusi Iran 1979 dianggap sebagai model gerakan Islam yang bisa dijadikan contoh bagi negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia.

Rezim Suharto berusaha untuk mencegah pengaruh Revolusi Iran 1979 ke Indonesia, termasuk melalui penerbitan fatwa MUI soal kehati-hatian pada Syiah pada dekade 1980an. Namun, apa yang bisa dihalau oleh Suharto hanya urusan propaganda anti Syiahnya, namun tidak menghalangi pengaruh fenomena jilbabisasi. Satu persatu para elite politik perempuan pada saat itu memakai jilbab untuk menunjukkan kesalehan mereka. Mereka mencoba membangun korelasi antara pemakaian jilbab dan kesalehan perilaku atau sosial.

Memang proyek jilbabisasi yang mulai terjadi pada masa Orde Baru lebih banyak melalui jalur budaya, namun jilbabisasi berjalan secara pasti sampai kini.

Bahkan, jalur budaya kini perlahan beralih menjadi jalur politik dan hukum, di mana jilbabisasi sudah mulai didukung oleh negara. Aturan-aturan di tingkat Perda tentang jilbab bahkan langsung muncul tidak lama pasca kejatuhan pemerintah Suharto. Di Sulawesi Selatan, khususnya Bulukumba, jilbab menjadi peraturan daerah. Bupati sebagai penguasa di daerah itu selalu membawa jilbab di mobil dinasnya untuk dibagi-bagikan ketika bertemu dengan perempuan yang tidak memakai jilbab. Fenomena seperti ini terjadi sampai hari ini di beberapa pemerintah daerah.

Kini, sekolah-sekolah negeri juga mulai ramai mengadopsi kewajiban berjilbab bagi siswa mereka. Ketika upaya mereka ketahuan publik dan diprotes, sekolah-sekolah ini berusaha memberikan alasan ini dan itu. Namun, dari pelbagai alasan yang mereka kemukakan terlihat bahwa mereka ini memimpikan adanya sistem yang mengontrol tubuh anak-anak siswi mereka.

Apa yang ingin saya tandaskan di sini bahwa gerakan jilbabisasi untuk sampai pada pemaksaan (coercive) sebagaimana yang terjadi di Iran dan negeri-negera lain itu tidak akan berjalan secara cepat dalam konteks Indonesia karena negeri kita bukanlah Iran atau Saudi Arabia. Namun perjalanan yang lambat itu tidak berarti bahwa gerakan jilbisasi itu berjalan di tempat. Sama sekali tidak seperti itu. Mengapa demikian? Karena jilbabisasi ini hanya salah satu fenomena yang menginginkan formalisasi syariah itu terjadi di Indonesia. Di negeri kita ini, banyak inisiatif baik dari kalangan masyarakat maupun negara yang mencoba menciptakan lingkungan atau situasi yang mendukung syariah dilaksanakan.

Saya yakin banyak perempuan di berbagai negara yang menjadi korban sebagaimana yang dialami oleh Mahsa Amini akibat dari enforcement aturan berjilbab.

Dalam konteks Indonesia, antara yang menghendaki memakai jilbab dan tidak memakai jilbab mungkin bisa berimbang. Posisi negara dalam hal ini harus berada di tengah di mana tidak membuat atau menyutujui segala bentuk aturan yang berimplikasi pada pemaksaan pemakaian jilbab. Sebaliknya, pemerintah juga tidak boleh melarang seseorang untuk berjilbab yang didasarkan pada kesadaran mereka. Sebab, dalam beberapa pandangan, memakai jilbab oleh sebagian kalangan dianggap sebagai upaya pembebasan diri juga dari tradisi patriarkhi.

Tapi inti dari masalah ini adalah negara –lembaga netral—memang tidak boleh melakukan pemaksaan baik untuk memakai ataupun tidak memakai jilbab.

Dalam konteks Mahsa Amini, polisi moral atau dalam bahasa Arabnya disebut dengan istilah hisbah, memang sebuah lembaga pengawas yang bisa saja melakukan abuse of power dalam menjalankan tugas mereka. Perlu diketahui bahwa di negeri-negara di mana hukum syariah diberlakukan, maka mereka memiliki hisbah. Dalam sejarah Islam, hisbah dulunya adalah inspektor pasar, namun dalam konteks kekinian keberadaan hisbah lalu menjadi pengawas atau inspektor moral. Kita menerjemahkannya sebagai Polisi Moral. Di Aceh, karena penerapan hukum syariah, maka Polisi Moral juga ada.

Tugas dari Polisi Moral ini menjadi pengawas bagi penegakan amar ma’ruf nahi munkar, sebuah jargon yang sering kita dengar dari organisasi-organisasi seperti Front Pembela Islam zaman dulu. Jika mereka melihat ada kemungkaran, maka tugas mereka adalah menghentikan kemungkaran. Hal ini persis yang Polisi Moral Teheran yang menganggap jilbab Mahsa Amini tidak memenuhi standar padahal di dalam hukum Islam soal jilbab ini memang menjadi bagian perbedaan pendapat. Kita tidak mau hal yang sama yang menimpa Mahsa Amini terjadi di Indonesia.

Sebagai catatan, kasus Mahsa Amini harus menjadi cermin bagi kita bahwa negara harus melindungi hak-hak dasar warganya. Tidak ada pilihan lain bagi negara untuk menjaga kehidupan dari seluruh warga negaranya dari ancaman kematian dan pembunuhan.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.