Senin, Oktober 14, 2024

Megawati dan Gerakan Emansipatoris Politik Perempuan

A. Fahrur Rozi
A. Fahrur Rozi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Perempuan dan politik adalah hal yang menarik. Melihat politik melalui basis kesetaraan gender menjadi bagian dari perbincangan publik. Keterlibatan politik perempuan dan keterwakilannya dalam suatu komunitas politik menjadi penting dalam diskursus arah kebijakan publik, pemenuhan hak konstitusional, dan penghargaan terhadap kemanusiaan.

Ada sejumlah alasan mengapa urgensi kepemimpinan perempuan menjadi penting (Thalib, 2014). Pertama, sebagai kritik sosial terhadap kebudayaan patriarki dalam pemerintahan. Kedua, adanya pembagian kerja yang setara dalam struktur fungsionalitasnya. Ketiga, melawan otoritas tafsir tunggal yang mengesampingkan perempuan. Keempat, stagnasi kualitas kaderisasi dan kepemimpinan politik, dan kelima adalah perwujudan kehendak politik (political will) yang berkemajuan dengan orientasi kerakyatan.

Kelima alasan itu yang menjadikan kepemimpinan dan keterwakilan perempuan dalam suatu rezim pemerintahan menjadi penting. Cara konstitusi bangsa kita didesain dengan suatu kebijakan dan struktur perundang-undangan yang menghendaki keterlibatan perempuan dalam kancah politik. Misalnya Pasal 17 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dibentuk tahun 1978, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan UU 07/2017 Pasal 173 ayat (2) huruf e mengamanahkan paling sedikit 30 persen (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat untuk transformasi kader ke parlemen di tingkat DPR Pusat, DPRD Provinsi, hingga DPRD Kabupaten. Namun partisipasi perempuan secara akumulatif dalam desain perpolitikan kita masih cenderung rendah di bawah rata-rata. Data Inter-Parliamentary Union menyebut persentasi perempuan dalam parlemen akumulatif masih di angka 19,80 %. Bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, Indonesiamasih jauh di bawah rata-rata dunia sebesar 23,60 % (Getrintya, 2017).

Role model kepemimpinan

Dalam tahap tertentu, fatwa akademis kadang kurang efektif memberikan efek sektroalterhadap politik. dalam tahap ini, penulis melihat kebutuhan terhadap patron ketokohan (role model) atau gerakan kepemimpinan elite politik yang mencorakkan kesataraan gender.

Sejauh ini, hal itu terlihat dalam gerak politik Megawati Soekarnoputri. Pimpinan umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu dalam figur ketokohannya selalu meniscayakan basis etis kesataraan hak melalui kepemimpinan perempuan. Megawati kerap membawa narasi kepemimpinan perempuan di ruang-ruang terbuka, forum diskusi, atau bahkan dalam mimbar ilmiah di beberapa tempat. Jejak ketokohan perempuan dalam rekam sejarah bangsa pun tidak luput dihadirkan sebagai sampel kepemimpinan.

Selain karena dia juga merupakan perempuan, ada faktor lain dari corak berpolitik Megawati itu. Saya melihat role model kepemimpinan Megawati itu sebagai bentuk gerakan praksis emansipatoris perempuan dalam politik (Grundy, 1993). Corak bernegara kita kerap melahirkan sejumlah kebijakan dan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan banyak mencatat kasus diskriminatif dari gerak birokrasi di Indonesia. Pada tahun 2016 saja, terdapat 421 kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak.

Praksis politik emansipatoris yang ditunjukkan oleh Megawati sebenarnya merupakan kritik sosial dalam mengecam budaya dan birokrasi patrelinialis. Gerakan elite politik yang demikian meniscayakan pandangan yang melihat realitas secara praksis untuk keluar dari problematika sosial dan kemanusiaan. Peran perempuan dalam area publik adalah bentuk aksi sosial ke arah praksis pembebasan perempuan (Widyastuti, 2013).

Kepemimpinan politik perempuan, dengan terlibat dalam perumusan kebijakan dan pembahasan produk perundang-undangan, ekspresi kenegaraan yang cenderung diprivatisasi oleh laki-laki, akan menjadi lebih emansipasional karena ada kesamaan akses yang sama dalam satu masalah kenegaraan. Emansipasi demikian dilakukan melalui gerak politik dan patron ketokohan. Satu hal yang menjadikannya berbeda, pembebasan yang demikian itu akan semakin masif dalam perbincangan publik dan efek sektoral yang dihasilkan pun pasti lebih besar.

Tak heran jika sering muncul spirit pembangunan politik perempuan dalam pidato Megawati. Dalam Pidato di hari lahir (HUT) PDIP yang ke-50, misalnya, atau dalam sambutannya yang mengkritik aktivitas ibu-ibu sekarang dalam acara kick off Pancasila beberapa pekan lalu. Meski mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, Megawati tidak bergeming dengan komitmennya itu. Hal subtil yang ingin disampaikanMegawati sebenarnya adalah usaha penyadaran bahwa domistifikasi perempuan itu jelas adanya, dan fakta itu didukung oleh fatwa-fatwa keagamaan dan kebijakan birokrasi kita.

Perangkat politik

Saat ini model kepemimpinan Megawati patut menjadi wacana politik yang masif dan teragendakan dengan sistematis. Masih banyak pekerjaan rumah ketika dihadapkan pada diskursus kepemimpinan politik perempuan. Tapi corak ketokohan Megawati dan elite politik yang serumpun dengannya sudah membuka wacana kebaruan dalam politik.Kita perlu melakukan langkah progresif sebagai agenda lanjutan mewacanakan keteribatan perempuan dalam birokrasi pemerintahan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan perangkat politik yang ada.

Pertama, memberdayakan infrastruktur partai politik (parpol) dalam ihwal kaderisasi. Desain kaderisasi parpol harus mampu menghasilkan kader-kader perempuan politik yang bisa diberdayakan secara efektif dalam suatu jabatan fungsional suatu birokrasi. Pendelegasian kader dalam suatu struktur pemerintahan adalah indikator penting sukses tidaknya suatu kaderisasi dalam parpol. dibutuhkan tidak hanya kualitas dan kapabilitas,melainkan juga elektabitas yang memiliki efek elektoral tinggi keterpilihan di tengah masyarakat.

Kedua, pembentukan lembaga informal yang menjalankan fungsi kontrol terhadap jaminan hak kontitusional yang tidak diskrimintatif terhadap perempuan sekaligus memastikan keterlibatan perempuan dalam politik menjadi agenda prioritas. Lembaga ini bisa dibentuk dengan melibatkan gabungan instrukutur delegasi dari sejumlah parpol, pelibatan pemerintahan, dan relawan masyarakat yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap isu kesetaraan berpolitik. Walhasil, agenda memasifkan keterlibatan perempuan di ruang-ruang politik terstruktur dan sistematis melalui fungsi kontrol kelembagaan.

Dua hal inilah dalam pandangan Penulis yang harus menjadi agenda lanjutan dari figur kepemimpinan Megawati. Keterlibatan politik perempuan sudah menjadi keniscayaan dalam gerak bernegara kita. Ada jaminan konstitusional, jejak figur ketokohan perempuan, dan struktur kelembagaan.

Saat ini, tinggal bagaimana gerak emasnipatoris perempuan itu teragandekan dalam wacana berpolitik di Indonesia. Gerakannya harus masif dan sistematis sebagai agenda kesetaraan politik dan kontrol dari semua diskriminasi hak dan akses berpolitik terhadap perempuan.

A. Fahrur Rozi
A. Fahrur Rozi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.