Di masa transisi pembatasan sosial menuju ‘new normal’, muncul sebuah fenomena dimana banyak pengguna sepeda mulai memenuhi jalanan. Para pesepeda hadir dalam berbagai kesempatan, entah itu secara individu, maupun secara kolektif sebagai sebuah komunitas. Bersepeda juga menjadi bentuk kegiatan yang sehat dan efektif mengusir kejenuhan di kala pandemi Covid-19.
Orang-orang mendadak menjadi riuh dengan penggunaan sepeda yang dikenal sebagai transportasi ramah lingkungan itu. Para produsen sepeda pun tampak mengalami kenaikan penjualan yang cukup tajam. Fenomena kontemporer ini menarik untuk ditelisik lebih lanjut, khususnya dalam masyarakat konsumsi. Bagaimana fenomena tren bersepeda jika dilihat dari perspektif media tontonan?
Sepeda, saat ini menjadi topik bahasan di media massa seiring meningkatnya jumlah pengguna. Bisa dikatakan bahwa, bersepeda menjadi sebuah tren yang mendorong aktivitas kayuh mengayuh itu bukan sekedar instrumen mobilitas secara fisik, namun menjadi gaya hidup dan hobi bagi peminatnya.
Secara historis, sepeda pertama kali ditemukan sekitar awal abad-18. Di Jerman, Karl Drais menyempurnakan velocipede, yang diberi nama Laufmaschine/Draisienne (mesin yang dapat berlari) yakni sepeda yang strukturnya terbuat dari kayu dan belum memiliki pedal.
Sejak saat itu, desain maupun komponen sepeda mulai diperbaharui dan ramai di berbagai negara. Di Indonesia, sepeda mulai dikenal ketika masa kolonialisme Belanda. Orang Belanda membawa sepeda buatan Eropa itu sebagai alat transportasi. Sepeda pun awalnya hanya dapat dinikmati terbatas oleh kelas penguasa dan bangsawan aristokrat karena masih menjadi transportasi yang mewah di masanya.
Singkatnya, seiring perkembangan industrialisasi, masyarakat umum dapat memiliki sepedanya sendiri, bahkan sepeda model baru hadir dengan berbagai bentuk dan keunggulannya. Kini, model sepeda pun kian lebih bervariasi dan lebih spesifik, mulai dari sepeda gunung, sepeda atraksi, sepeda cabang olahraga, sepeda lipat, sepeda perkotaan (commuting bike), sepeda fixed gear bahkan sepeda yang diproduksi untuk segmentasi gender maupun demografi tertentu.
Dalam konteks masyarakat konsumsi, sepeda sebagai sebuah komoditas industri bukan hanya dipahami berdasarkan nilai guna dan nilai tukarnya. Sepeda kemudian bertransformasi menjadi nilai simbolik, atau istilah yang disebut Jean Baudrillard sebagai sign-value.
Nilai tanda ini hadir melalui merek sepeda yang telah populer di dunia, misalnya merek Specialized, Ridley Noah, Cervelo, Brompton, Polygon dan masih banyak lagi. Nilai tanda atau sign value ini adalah hasil dari komoditas arus kapitalisasi yang lekat dengan kelas sosial tertentu, yakni kelas sosial menengah atas-berhubung sepeda tersebut memiliki harga yang cukup tinggi.
Dengan demikian, merek sepeda menjadi penanda bagi pemiliknya. Nilai tanda bukan lagi berdasarkan logika kebutuhan dan kegunaan, melainkan logika hasrat yang memainkan mekanisme pertukaran tanda simbolis (symbolic exchange) (Baudrillard, 1970).
Nilai Tanda Menuju Logika Tontonan
Lebih lanjut, masyarakat konsumsi tidak sekedar menggunakan barang untuk mempermudah berbagai aktivitasnya, melainkan hadir dalam logika tontonan. Media bukan hanya dipahami sebagai instrumen kendaraan pesan, tetapi media itu sendirilah yang menjadi pesan.
Orang yang melihat aktivitas bersepeda memaknai sepeda sebagai media dengan konstruksi pesan tertentu, yakni melekatnya sebuah merek dan pemiliknya. Hal itu menjelaskan mengapa di masa pandemi Covid-19 ini para pengguna sepeda meningkat tajam, berlomba-lomba menunjukkan sepedanya serta ramai mengokupasi jalanan.
Bahkan media tontonan ini berlanjut kedalam riuhnya swafoto di sosial media seperti Instagram atau Whatsapp. Komoditas ini bukan dikonsumsi untuk dirinya sendiri, melainkan juga ingin dilihat oleh orang lain, sebagai bentuk the society of spectacle (Debord, 2012).
Masyarakat tontonan menjadi dunia komoditas, ketika seseorang memiliki sesuatu untuk dipertontonkan sehingga pasar mendominasi secara spektakuler, yakni dipenuhi dengan berbagai citraan brand/merek sebagai representasi kelas sosialnya. Merek sepeda yang digunakan juga bervariasi, sehingga para pesepeda yang plural dari berbagai kalangan dan kelas sosial ini riuh menjadi satu di jalan raya.
Di sinilah analisis kajian budaya dan media melihat tren bersepeda sebagai sebuah arena kontestasi. Kelas sosial atas tidak mau serta merta disamakan dengan kelas sosial menengah bawah.
Mereka kemudian membeli komoditas yang tidak dapat dengan mudah ditiru olah orang lain dengan ‘konsumsi’ sepeda dengan harga tinggi. Lagi-lagi, logika untuk membedakan diri (distingsi) dengan orang lain dimainkan, sebagai kelas sosial yang memiliki kapital ekonomi mapan. Sementara kelas menengah bawah terkadang memaksakan diri membeli sepeda dengan merek tertentu, sehingga dimaknai berasal dari kelas sosial atas. Jalanan kemudian menjadi arena dimana kekuasaan itu direpresentasikan.
Lebih jauh, perihal merek sepeda tentu bukan sebagai pilihan yang alamiah, mana suka, dan preferensi pribadi, namun dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural masyarakat (Bourdieu, 1984). Dengan demikian, selera bukan sesuatu yang netral, juga wujud dari kebebasan sang pembeli. Namun ada relasi kultural yang bekerja di dalamnya tanpa kita sadari.
Dalam masyarakat konsumsi, pembeli diposisikan seolah sebagai “raja”. Ia diberikan kebebasan memilih untuk membelanjakan uangnya. Hasrat itu diarahkan dengan membeli berbagai komoditas. Dengan membeli, ia seolah olah menemukan solusi atas permasalahan hidup, bahkan merasa senang. Jika tidak bersepeda maka dianggap tidak mengikuti tren yang sedang berlangsung. Tanpa komoditas yang dibeli-yang kemudian ditampilkan (to be looking at), orang tidak dapat merepresentasikan dirinya di ruang publik.
Dengan demikian, sebagai sebuah gejala kultural di kala ‘new normal’, fenomena bersepeda ini tidak akan berlangsung selamanya, yakni bersifat dinamis dan berubah-ubah. Tontonan adalah momen dimana komoditas memenuhi ruang-ruang kehidupan masyarakat. Akibatnya, terjadi alienasi/keterasingan dalam pola mengkonsumsi. Hasrat, pada akhirnya tidak akan pernah terpuaskan dengan membeli, namun terus menerus melanggengkan kebutuhan tanpa ujung.
Referensi:
Baudrillard, Jean P. 1970. La Societe de Consommation. Wahyunto (Penerjemah). Masyarakat Konsumsi. Bantul: Kreasi Wacana Offset
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste. Harvard university press.
Debord, G. (2012). Society of the Spectacle. Bread and Circuses Publishing.