Jumat, Maret 29, 2024

Media Era Post-Truth: Perlukah Jurnalis Berpihak?

Saroel
Saroel
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kolumnis di Geotimes.

Dahulu kala, kecepatan persebaran informasi tidaklah secepat seperti saat ini, di mana informasi tersebar hanya lewat ucapan antar orang secara offline, itulah sebab mengapa gosip banyak dikaji oleh para antropolog sebagai sesuatu untuk bertahan hidup. Lantas meningkat menjadi menggunakan burung merpati, surat, dan kini teknologi mengambil alih semua itu hingga membuat semua orang dunia dapat terkoneksi dan bertukar informasi bermodalkan gawai pintar beserta koneksi internet di dalamnya. Sungguh, kemajuan pada sektor teknologi komunikasi ini dapat menerobos batas-batas akses tersebut.

Salah satu ciri dari berkembangnya teknologi komunikasi adalah efisiensi, dan itu berhasil membuat masyarakat menjadi tidak perlu untuk repot-repot lagi untuk sekadar mendapatkan informasi, yang pada awalnya mungkin harus pergi ke balai desa untuk menonton acara televisi bersama-sama, atau pergi ke pusat desa untuk membeli koran terbitan utama, saat ini semuanya telah hadir dalam genggaman, bahkan dikirim setiap paginya ke surel elektronik setiap paginya. Sehingga dengan demikian, itu mengindikasikan satu hal, bahwa teknologi media baru ini membawa segala perubahan dan itu berpengaruh pada kehidupan sosial.

Perkembangan teknologi komunikasi dari zaman ke zaman juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap praktik jurnalisme. Pada konteks saat ini, suatu konten informasi dapat ditransmisikan dan didistribusikan dengan mudah ke berbagai platform.

Kemajuan tersebut tentu amat memudahkan para jurnalis untuk mencari referensi dan mengambil berita dari berbagai sumber; baik secara primer maupun sekunder, lantas dikombinasikan, dan jadilah beberapa versi berita. Namun, dengan segala kemudahan akses dan keterbukaan informasi tersebut, timbul suatu pertanyaan, perlukah jurnalis untuk berpihak?

Sebelum menjawab hal tersebut, perlu untuk diingat bahwa cepatnya penyebaran informasi yang dihasilkan melalui internet ini tentu akan memengaruhi pula tingkat kualitas media, yang sudah pasti berpengaruh pula pada jurnalis untuk berkompetisi dalam menyajikan berita, dan itu melahikan konsekuensi berupa respons terhadap perkembangan dan adaptasi para jurnalis di media baru ini.

Hadirnya beragam format baru jurnalisme ini juga menghadirkan konsekuensi lain, yakni kecenderungan ketertarikan masyarkat untuk membaca setiap konten informasi yang ditawarkan, seperti hasil survei dari Lembaga Riset Global GFK dan Indonesian Digital Association (IDA) pada tahun 2015 lalu, yang menunjukan bahwa 96% konsumsi berita adalah melalui media online, dan kecenderungan tersebut semakin diperkuat karena hadirnya media sosial.

Hal tersebut akan berimplikasi pula pada bagaimana para media-media yang berkompetisi ini saling berlomba untuk menarik perhatian para pembaca, yang tidak bisa menafikan fakta bahwa mereka juga merupakan korporasi media yang tentunya mencari profit.

Belum lagi permasalahan mengenai independensi di dalam tubuh pers, karena menjadi independen merupakan sebuah prinsip yang harus dipegang teguh oleh media, ataupun jurnalis.

Akan tetapi, memaknai kata independen bukan berarti netral, karena sebagai penyampai kebenaran, tidak mungkin bisa menjadi netral, jurnalis haruslah berpihak, berpihak kepada independensi yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, seperti yang telah diatur sesuai amanat UU Pers No.40 Tahun 1999 Pasal 4 Ayat 1 dan Pasal 6.

Namun, media dan jurnalis juga merupakan sesuatu yang sah untuk dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi sebagaimana diatur dalam UU Pers No.40 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 3, dan patut dicurigai bahwa jangan-jangan itulah orientasi utama dari pers, sehingga membuat kabur keberpihakan dari media dan jurnalis itu sendiri.

Contoh mudah untuk menggambarkan posisi keberpihakan media dan jurnalis adalah ketika sedang memberitakan informasi mengenai calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia waktu lalu, dimana setiap media dan jurnalis memiliki frame dan perspektif yang berbeda-beda dalam memberitakan informasi dari fenomena yang sama.

Hal ini menunjukan bahwa media dan jurnalis hari-hari ini ikut serta dalam percaturan politik, tak heran jika banyak berita sejenis yang hanya mengunggulkan sensasionalitas dan fenomenalitas, yang jika ditelisik memiliki substansi yang minim.

Media dan jurnalis hari-hari ini tak lebih hanya sekadar menjalankan praktik bisnis public relation belaka, untuk memelintir isu sesuai dengan pesanan redaktur dimana sudah terdapat berbagai kepentingan pada setiap kolom yang dirilis, dikonten informasi setiap harinya. Sesuatu yang kurang tepat, dapat sesuai dengan apa yang diinginkan setelah dilakukan pembingkaian (framing). Sehingga dari situ, sebutan sebagai “media dan jurnalis haruslah netral” merupakan sesuatu yang tidak cocok lagi untuk dijargonkan.

Jika sudah demikian, maka media dan jurnalis haruslah menjaga kredibilitasnya, dan itu dimulai dari hal-hal mandasar yang patut untuk ditegakan kembali. Seperti jurnalis haruslah memperhatikan kaidah-kaidah kepenulisan, dan tata bahasa yang kontekstual tanpa mendiskreditkan privasi atupun hak-hak seseorang dalam membuat konten informasi. Pun juga dengan kode etik sebagai pedoman kerja yang professional. Hal ini dikarenakan, jurnalis merupakan benteng pertahanan dari media terhadap segala jenis pemberitaan yang hadir, sehingga keberpihakan jurnalis seharusnya jelas; berorientasi kepada kepentingan masyarakat luas.

Saroel
Saroel
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kolumnis di Geotimes.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.