Jika saya ditanya, apa buku yang paling wajib dibaca bagi kalangan masyarakat Indonesia? Dengan cepat saya akan menjawab, Max Havelaar—dengan anak judul Atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Cerita roman yang sudah berumur 162 tahun tersebut untuk pertama kalinya bagi bangsa Indonesia menampilkan roman yang apik dalam menentang “Belanda Baik”.
“Saya adalah makelar kopi—Tuan Batavus Droegstoppel, tinggal di Lauriergracht No. 37.” Begitulah bunyi bab 1 pada buku ini, yang menampilkan sudut seorang makelar kopi. Tuan Droegstoppel, yang memiliki bisnis kopi, berencana untuk menulis tentang makelar kopi yang bersandarkan pada dokumen-dokumen milik Sjaalman–seorang bertubuh kurus, memakai pakaian koyak-koyak (yang ternyata Havelaar, si ‘Belanda Jahat’).
Tuan Droegstoppel, seorang ‘Belanda Baik’ yang religius, memiliki pemahaman bahwa negaranya menjajah tanah Hindia disebabkan misi suci dari Tuhan untuk membersihkan Hindia yang kotor itu dengan pemahaman ajaran Gospel Belanda.
Ketika hendak menulis, ternyata dokumen Havelaar mengungkapkan bahwa cara-cara ‘penyebaran agama’ dilakukan oleh Belanda dengan cara kekerasan, dengan cepat membuat reaksi besar Tuan Droegstoppel yang menolak mentah-mentah apa yang dikemukakan dalam dokumen tersebut. Penggambaran Droegstoppel inilah yang menjadi gambaran umum pendapat publik sebagian besar masyarakat Belanda dahulu terhadap kolonialisme terhadap Hindia.
Dalam kisahnya Havelaar, si ‘Belanda Jahat’, baru saja tiba di Batavia pada Mei 1855 dan diangkat menjadi Asisten Residen Lebak oleh Gubernur Jenderal Duymaer van Twist pada 4 Januari 1856. Pada pelantikannya menjadi Asisten Residen, ia dihadiri kepala-kepala negeri Lebak. Lalu Havelaar berikrar bahwa ia dengan saksi Tuhan Yang Maha Kuasa akan selalu senantiasa melindungi penduduk pribumi dari penghisapan, penindasan, dan eksploitasi.
Dalam buku tersebut, saya pribadi merasa bahwa roman itu kurang ditujukan pada praktek kolonialisme yang biadab, sama sekali bukan. Melainkan roman ini, menurut hemat saya, lebih menekankan pada perilaku represif dan koruptif para pembesar priyayi pribumi yang tengah duduk enak dikursi jabatannya, yang dalam konteks roman adalah Bupati Kebak dan Demang Parakudjang.
Bupati Lebak dan para priyayi sering mencuri tanah dan kerbau milik rakyatnya sendiri untuk keperluan dirinya. Ia juga menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan menggemukkan kekayaan yang ia dapat dari memeras tubuh kecil rakyat Lebak. Justru malah seorang bangsa yang sama kulitnya, sama fisiknya sendiri, yang ternyata menghisap darah sesama segolongannya. Hal ini diutarakan Havelaar dalam pidato saat pelantikannya:
“Di mana desa-desanya, di mana para petani, dan mengapa kami tidak mendengar bunyi gamelan yang menandakan kegembiraan, juga tidak mendengar bunyi padi ditumbuk oleh anak-anak perempuan kalian?”
Lebih Baik atau Lebih Buruk?
Perilaku korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pembesar-pembesar segolongan kita dalam roman tersebut yang patut menjadi sorotan bagi bangsa ini. Bagaimana tidak? Dalam teks buku-buku sejarah seringkali menyebutkan bahwa perilaku kejam kolonial Belanda adalah alasan yang krusial dari sebab rakyat Indonesia sengsara.
Ternyata, pemaparan dari roman Max Havelaar berkebalikan sepenuhnya, yang menyebutkan bahwa tindakan masyarakat bangsa terjajah juga menindas masyarakat terjajahnya sendiri.
Perilaku korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sudah mendarah daging sejak abad feodal Jawa, di mana para raja memiliki tanah kekuasaannya. Saya sudah pernah menulis artikel tentang ini di Geo Times, namun akan menjelaskan praktek korupsi pada zaman feodalisme dulu.
Wilayah-wilayah kecil kekuasaan raja dipegang oleh bawahan raja, yakni penguasa lokal. Rakyat menggarap tanah harus menyerahkan hasil produksinya kepada penguasa lokal dan penguasa lokal menyerahkan ke raja.
Sangat sering seorang penguasa lokal memberi hasil produksi yang lebih dan hadiah yang banyak kepada raja guna berharap dinaikkan pangkat jabatannya. Tentu saja, hasil produksi lebih yang diberikan kepada raja merupakan hasil tuntutan kerja keras ekstra rakyat kecil yang semakin ditindas oleh penguasa lokal.
Menurut Frederich Barlett, seorang pakar psikologi, mengemukakan teori Schemata. Teori tersebut mengungkapkan bagaimana proses perilaku masa lampau memengaruhi individu atau sekelompok yang lebih luas untuk menjiplak, menginterpretasi perilaku masa lampau untuk dicocokkan dengan kondisi sekarang. Dalam kasus saat ini ialah korupsi.
Dari perilaku korupsi nenek moyang Indonesia waktu lampau, menjalarlah karakter-karakter koruptif tersebut hingga sekarang dalam bentuk yang tentu berlainan. Pembaca tentu tidak lupa kasus korupsi bansos oleh Juliari dan korupsi benih lobster oleh Edhy, yang mana kasus tersebut hanya riak dalam samudra yang luas.
ICW telah melaporkan bahwa sepanjang tahun 2020, negara telah rugi sekitar 18,6 triliun dalam 444 kasus korupsi. Pada tahun 2021 sekarang, entah akan seberapa banyak kasus korupsi yang akan ditelanjangi didepan umum? Akankah lebih buruk?
Lonceng Pengingat
Disinilah, Max Havelaar menjadi peran penting sebagai cermin masyarakat Indonesia bertindak untuk mencaci perilaku korupsi. Multatuli mungkin sudah meramalkan kondisi masyarakat kita yang terkenal sebagai bangsa gotong royong ini sejak 162 tahun yang lalu. Bahwa, terdapat perilaku buruk dan egoistis dari masyarakat kita (terutama para pembesar) yang mengeksploitasi darah dan memakan daging masyarakat Indonesia sendiri.
Seorang bahkan seluruh politikus sekalipun yang tak pernah membaca Max Havelaar atau tak pernah mendengar nama Multatuli sekalipun, pasti ia berlaku buta sejarah yang tak pernah mengetahui bahwa perilaku nenek moyanglah yang juga turut andil menindas bangsa sendiri dan tak akan pernah mengenal peri kemanusiaan yang humanistik universal. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi politikus Indonesia, hendaklah setidaknya membaca Max Havelaar sekali dalam seumur hidupnya.
Saya sepenuhnya paham, jika korupsi, yang sudah menjadi budaya, tidak bisa dibabat habis dengan membaca Max Havelaar. Namun, roman cerita tersebut paling kurang sebagai tamparan moral bagi seluruh pembesar-pembesar masyarakat Indonesia sekarang dan yang akan datang.
Tak dihiraukan lagi, roman yang dahsyat ini akan selalu menjadi lonceng pengingat bagi Indonesia untuk selalu berjalan lurus sampai 1 abad mendatang, atau mungkin 10, 100, 1000 abad mendatang.