Minggu, Oktober 13, 2024

Jawa sebagai Basis dan Suprastruktur

Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Penulis untuk beberapa media, kini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Di Inggris sekitaran tahun 1860-an, tepatnya British Museum—Reading Room, terdapat Karl Marx yang tengah menyusun dan mengerjakan karya magnum opusnya, Das Kapital. Dalam mencari bukti-bukti ilmiah untuk karyanya, Marx menemukan buku ‘The History of Java’ karya Thomas Stamford Raffles, yang terbit 2 bundel pada 1817. Setelah membacanya, Marx menilai bahwa Jawa adalah contoh yang begitu sederhana akan masyarakat yang lestari dan cenderung tidak pernah berubah.

Apa arti Jawa sebagai masyarakat yang lestari menurut Marx? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui apa artinya masyarakat itu bagi Marx. Pemikiran Marx berangkat dari titik materialisme. Dunia, menurut Marx, pada hakikatnya material, bahwa fenomena dunia yang berlipar ganda merupakan bentuk-bentuk berbeda dari materi yang bergerak secara objektif. Nah, karena dunia ini berisi materi, secara tidak langsung materi lah yang menentukan cara berpikir manusia, keadaan material sebagai penentu. Dalam tingkat yang lebih tinggi, benda (material) menentukan perubahan segala bidang manusia.

Apa benda yang memengaruhi manusia tersebut? Marx menyebutkan bahwa kerja ekonomi dan kerja material manusia—alat kekuatan produksi dan relasi produksi—sebagai benda yang disebut sebagai basis. Mengapa alat-alat produksi, relasi produksi, dan kekayaan material? Karena, menurut Marx, ketiga hal tersebut adalah material objektif yang memengaruhi keadaan manusia. “Feurbach wants sensuous objects, really distinct from the thought objects, but he does not conceive human activity itself as a objective activity”[1]. Basis (benda) inilah sebagai bagian dari masyarakat menurut Marx.

Lalu, apa bagian lain dari masyarakat? Bagian yang lain ialah yang dipengaruhi oleh basis (benda) itu. Seperti keterangan Tan Malaka dalam Madilog yakni segala bidang manusia seperti politik, hukum, kebudayaan, seni, bahkan agama. Hal semua yang disebutkan menjadi kesatuan dengan nama suprastruktur. Suprastruktur, bagaimanapun juga, memengaruhi keadaan basis kedalam posisi yang lebih tinggi dan basis memengaruhi perkembangan suprastruktur pula—bersifat dialektis. Namun posisi basis, menurut Marx, lebih dominan perannya.

Terang sudah hakikat masyarakat bagi Marx, tetapi kita kembali lagi pada pertanyaan awal tulisan ini dibuat, yakni apa maksud dari perkataan Marx tentang Jawa? Lestari yang bagaimana? Pertama, kita harus melihat konteks waktu ketika Marx mengatakan hal tersebut, yakni sekitar tahun 1860-an. Dimana lumrahnya kondisi ekonomi (basis) masyarakat Jawa pada tingkat feodalisme.

Permulaan akar feodalisme Jawa dapat ditelusuri pada abad ke-4. Di Jawa, seperti halnya di sebagian besar wilayah Asia, dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kuno seperti Mataram Kuno, Kediri, Sinhasari, dan Majapahit. Raja-raja mereka dan kaumnya—bangsawan—memperkokoh kekuasaan dengan menggunakan adat lama. Tanah seolah-olah dimiliki oleh negara, tetapi dalam praktek diusahakan oleh kaum raja dan bangsawan sebagai tanah pribadi. Kerajaan di Jawa pada umumnya, merupakan alat kaum feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah-tanah, dan etika moral.

Kekuasaan atas tanah yang dimiliki oleh kaum feodal, umumnya bangsawan, dan legitimasi kerajaan sebagai alat kuasa feodal, maka kaum bangsawan berhak 100% untuk memperkerjakan rakyat kecil tidak bertanah di desa-desa yang berada diatas kekuasaannya. Mereka, orang-orang kecil, biasanya diberi  pengelolaan alat-alat produksi sederhana—cangkul, bajak, kincir angin baik secara gratis atau sewa—oleh majikannya yakni kaum bangsawan. Pengelolaan tersebut diarahkan untuk kepentingan menghasilkan produk pertanian yang akan dijual ke tempat-tempat lain oleh para pedangang yang diperkerjakan oleh kaum bangsawan.

Disisi lain, orang-orang kecil/petani diwajibkan membayar sejumlah uang atau memberikan sebagian hasil panen mereka kepada majikannya. Mereka juga mempunyai kewajiban menjalankan aneka ragam kerja paksa seperti, membangun irigasi, candi, bendungan, hingga latar kerajaan. Walaupun demikian, orang-orang tersebut diperbolehkan mengolah tanahnya sendiri, suatu hak yang tidak dimiliki kaum budak (kaum tahapan sebelumnya menurut Marx).

Relasi produksi bermula pada zaman perbudakan Jawa (dari 500 SM – 500 M), kaum budak memulai bekerja untuk mendirikan negara. Dalam relasinya, budak dianggap benda mati yang dapat dijual atau dibeli oleh kaum atasan. Kaum atasan memiliki kekuasaan penuh atas mereka. Ketika menginjaki zaman yang lebih tinggi, yakni feodalisme Jawa, kaum tani tidaklah boleh dijual atau dibeli. Karena relasi produksi sudah berubah ke kaum bangsawan. Konsekuensinya, kaum tani yang tidak memiliki tanah harus berelasi produksi dengan kaum bangsawan.

Karena relasi produksi kaum tani dan kaum bangsawan didirikan atas motif ekonomi—terpaksa dan berbeda, seringkali menyebabkan kedua kelas bersitegang. Contohlah pemberontakan kaum tani pada masa pemerintahan Amangkurat I, pemberontakan Karaeng Galengsong, pemberontakan terhadap kerajaan Mataram ke-1 (abad ke-8 dan ke-9), hingga pemberontakan petani Banten pada 1888. Tentu saja pemberontakan mereka gagal, namun hal itu membuktikan bahwa relasi produksi dari masa perbudakan, feodalisme, hingga sekarang selalu buruk dan ber-antitesis.

Atas dasar kekuatan produksi dan relasi produksi yang tidak stabil dan cenderung berpihak pada kaum bangsawan, maka kekuatan basis tersebut memengaruhi suprastruktur masyarakat yang juga ‘keberhambaan’ pada kaum bangsawan. Pengaruh material moda produksi feodal terhadap suprastruktur untuk memperkokoh moda produksi (basis) yang sudah ada tersebut.

Atas nama raja, para bangsawan dan punggawa menjalankan pengadilan dan membuat undang-undang yang keberpihak kepada kaum ningrat bangsawan dengan modus mempertahankan moda produksi feodal. Dalam kebudayaan, untuk memperdalam “kebaktian” rakyat kepada raja, rasa keagamaan dipertebal, misalnya Raja Darmawangsa dari abad ke-10 dan ke-11 memerintahkan kepada para pejuang keraton untuk menerjemahkan cerita-cerita wayang dari Mahabarata yang berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno.

Juga dalam cerita pewayangan Jawa yang terpengaruh budaya kerajaan Hindu, menganggap bahwa golongan Ksatria direpresentasikan bangsawan dan Waisya umumnya raja sebagai tokoh yang berderajat suci. Sedangkan kaum tani kecil, orang-orang melarat digambarkan sebagai golongan Sudra yang tiada berpendidikan.

Perpolitikan pada zaman feodal pun menunjukkan taring hanya kepada kaum bangsawan saja. Mereka, kaum bangsawan hingga raja memiliki kekuasaan politik yang besar untuk menjaga keberlangsung proses ekonomi atas nama mereka. Sedangkan kekuasaan politik yang kecil pun tidak akan pernah diberikan kepada kaum petani kecil, kaum melarat apalagi! Mereka hanya objek ketertindasan bagi kaum atasan. Sehingga, pernah terjadi pemberontakan terhadap kerajaan Kediri (awal abad ke-13) dibawah pimpinan anak petani.

Atas dasar inilah, suprastruktur tumbuh atas basis dan merefleksikan kepentingan kelas penguasa. Dengan demikian, suprastruktur membenarkan bagaimana basis bekerja dan mempertahankan kekuasaan elite. “Lestari yang bagaimana?” Memang, seluruh moda produksi Jawa selama ini selalu lestari, tetapi tidak hanya di Jawa melainkan dunia.

Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Penulis untuk beberapa media, kini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.