‘Perempuan yang memakai penutup kepala, menandakan kesediaan dia untuk berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat.’
Pada suatu siang, pernah terjadi dialog menarik dalam salah satu group WA membahas perkara tingkuluak, model penutup kepala tradisional yang melekat pada perempuan Minangkabau. Isunya dikaitkan dengan dunia pariwisata, bagaimana membawa kekayaan budaya ini ke dalam pusaran pasar global tanpa membuat nilai-nilai filosofis pada gaya berpakaian tersebut dirusak oleh pseudo Tradisional art alias kesemuan tradisi tetapi justru semakin memperkuatnya. Sayangnya, dialog yang diramaikan oleh sebagian kecil penghuni group WA itu tidak tuntas, karena perhatian harus dialihkan pada persoalan lain yang tengah hangat kala itu, soal Mobil Dinas (Mobnas) dan renovasi rumah anggota DPRD.
Karena persoalan tingkuluak ini dekat dengan perempuan bahkan merupakan simbolisasi tubuh perempuan, saya merasa perlu melihatnya dengan lebih serius. Hemat saya, isu ini bisa jadi jalan masuk bagi kaum perempuan di daerah Sumatera Barat berkiprah lebih banyak di industri pariwisata. Sehingga dalam hal ini, perempuan tidak sekedar objek dari komodifikasi budaya tetapi menjadi subjek pelaku yang bisa mendapat manfaat langsung baik di sisi nilai-nilai budaya maupun manfaat komersil.
Hari ini, kalau kita pergi ke pasar rakyat di daerah manapun di Sumatera Barat, masih bisa ditemukan perempuan yang bertingkuluak, walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas. Mereka, terutama pedagang dari kampung yang menjual hasil bumi. Para induak-induak itu terlihat sangat berani, natural dalam berpenampilan dan sungguh siap siaga dalam bertransaksi. Semakin tradisional pasarnya maka semakin mudah menemukan perempuan memakai tingkuluak.
Bagi kepentingan komodifikasi budaya, tradisi berpakaian perempuan pedagang di pasar tradisional ini menarik untuk dipelajari serta dipertahankan sebagai bagian dari identitas kultural. Padanya, ada nilai kultural sekaligus bisa dikomodifikasi untuk kepentingan pariwisata.
Sebelum melanjutkan tulisan ini, ada baiknya kita definisikan dulu apa itu tingkuluak dan apa pula komonifikasi budaya. Lalu, bagaimana mengemas gagasan tentang tingkuluak ini menjadi suatu komoditas budaya.
Tingkuluak
Tengkuluk dalam kamus bahasa berarti kain penutup kepala. Sepertinya penjelasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia itu masih membutuhkan tambahan penjelasan atau perbaikan. Justru penjelasan dari Komnas Perempuan terlihat lebih konkret yaitu kain penutup kepala perempuan yang menjadi atribut budaya dan simbol dengan nilai-nilai filosofis yang kaya.
Pada tanggal 18 Agustus 2021 lalu, Komnas Perempuan secara resmi membuka festival budaya Penutup Kepala Perempuan Nusantara. Festival yang berlangsung sampai tanggal 28 Oktober 2021 ini, dalam rangka kampanye kebinekaan di Indonesia. Menurut penelitian pihak Komnas Perempuan, ada ribuan jenis tengkuluk di nusantara ini. Namun, di balik ragam jenis tengkuluk itu terkandung filosofis nilai yang sama yaitu soal keteguhan hati, harga diri, kegigihan, keramahan, keberanian, keseimbangan dan sikap adil. Perempuan yang memakai penutup kepala, menandakan kesediaan dia untuk berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat.
Pada sesi pembukaan tersebut tingkuluak minangkabau termasuk satu dari sekian banyak model yang ditampilkan. Hadir mewakili Sumatera Barat, aktifis perempuan yang sekarang menjabat sebagai ketua Ombudsman Perwakilan Sumbar, Yefri Heriani. Yefri pada kesempatan terbatas itu memperagakan empat model, Tingkuluak Tanduak, Tingkuluak Kompong, Tingkuluak Bugis dan Tingkuluak Tilakuang. Kesemuanya terlihat sangat gampang dan praktis pemasangannya. Tidak hanya tengkuluk dari minang yang mudah dan praktis itu, tapi rata-rata semua tengkuluk nusantara yang diperagaan.
Menurut Yefri, tengkuluk sebagai penutup kepala di Sumatera Barat ada beragam bentuk, makna dan tujuan pemakaiannya. Keberagaman itu menunjukkan identitas yang majemuk dan plural. Dan ini suatu kekayaan budaya. Namun proses modernisasi serta masuknya politik kekuasaan yang turut mengatur tubuh perempuan, keragaman fashion ini berganti menjadi monolitik. Dalam bahasa Yefri menyebut penyeragaman. Sehingga kemudian tengkuluk yang beragam jenisnya itu berubah menjadi jilbab yang seragam. Lewat perubahan tersebut muncul identitas baru dimana penutup kepala tidak lagi ditandai menurut fungsi dan nilainya tetapi menjadi persoalan ideologis dan politis. Bahkan untuk menuju proses tersebut campur tangan kekuasaan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah (Perda) berpakaian untuk perempuanpun dirancang, yang popular dengan sebutan Perda Syariah.
Mengenai sejarah sosial pakaian penutup kepala perempuan muslim di Sumatera Barat ini pernah juga diulas secara dalam oleh Fadli Lukman dalam Jurnal Studi Gender dan Islam Musawa (2014). Menurut kajian Lukman, perubahan penggunaan tingkuluak ini dimulai di kalangan perempuan terpelajar yang pada awal abad XX mulai memakai penutup kepala yang disebut mudawarah atau lilik. Lilik adalah tengkuluk atau kain panjang yang dipakai dengan cara membungkus kepala sampai dada.
Penggunaan lilik juga memerlukan bantuan peniti, satu teknologi baru yang tidak dikenal pada pemakaian tengkuluk. Kemunculan lilik ini merupakan efek dari reformasi pendidikan Islam Sumatera Barat. Namun kemudian, kepopuleran mudawarah berkurang setelah pada masa Orde Baru. Pemerintah secara bertahap melarang pemakaian penutup kepala di sekolah-sekolah negeri tapi kemudian memperbolehkan jilbab.
Pada tahun 2005, pemakaian jilbab justru menjadi wajib karena adanya Perda Syariah. Pengaturan pemakaian penutup kepala melalu Perda ini dianggap sebagai sebuah peristiwa politik yang berimplikasi kepada kepopuleran jilbab dalam masyarakat. Kepopuleran jilbab juga didukung oleh masifnya informasi tentang bentuk dan ragam hijab perempuan di media massa. Meskipun sebenarnya, menurut pandangan Lukman, trend tersebut berangkat dari resepsi hermeneutis terhadap ajaran agama yang termanifestasi dalam bentuk estetika berkerudung seperti hari ini.
Pada acara-acara perayaan adat, tingkuluak masih tampak menghiasi kepala kaum perempuan, khususnya bundo kanduang namun simbol itu dipakai setelah melapisi kepala dengan jilbab terlebih dahulu. Penyesuaian seperti ini memungkinkan pada momen seremonial dengan nilai simbolik, tetapi tidak natural untuk dipakai sehari-hari sebagaimana kebiasaan awal dan tidak fungsional.
Belakangan, gerakan mempopulerkan tengkuluk kembali muncul. Lagi-lagi ini didorong oleh pemerintah melalui gerakan kebudayaan dan kampanye-kampanye budaya. Dalam upacara HUT RI ke-76 lalu, Puan Maharani muncul dengan memakai tingkuluak balenggek, satu model penutup kepala dari Kabupaten Tanah Datar.
Sehari kemudian Komnas Perempuan pun menggelar Festival Tengkuluk Nusantara. Gerakan-gerakan seperti ini memberi harapan, khususnya bagi perempuan, untuk menghalau bayang-bayang budaya monolitik, dimana kelompok dan individu yang merasa identitas dan ketubuhannya termarjinalisasikan berupaya merebut kembali kemerdekaan mereka untuk menentukan gaya masing-masing.
Upaya itu juga menunjukkan bahwa representasi budaya sesungguhnya bisa muncul dimana-mana dan bergerak tanpa henti. Dengan memberi ruang ‘kebebasan berekspresi’ tanpa intervensi lebih dalam berupa peraturan-peraturan legal formal berupa Perda-Perda, akan bisa memunculkan identitas yang lebih cair. Iklim seperti ini juga akan membuka pintu terhadap komodifikasi budaya sebagai bentuk partisipasi individu terhadap industri dan budaya.
Komodifikasi Budaya
Komodifikasi budaya. Istilah ini lahir seiring dengan tumbuhnya industri budaya yang didorong oleh pasar global. Komodifikasi budaya ini merupakan upaya mentrasformasi aktifitas gagasan, barang serta aktifitas budaya menjadi sesuatu yang memiliki nilai dagang (komoditi). Salah satu benda budaya yang bisa dikembangkan menjadi komoditas adalah pakaiaan (fashion) serta gaya berpakaian. Dalam konteks inilah tingkuluak sebagai pakaian tradisional yang masih terpakai dalam keseharian masyarakat menjadi sumber ‘olahan’menarik untuk dikembangkan.
Iven budaya yang mengetengahkan model berpakaian perempuan Minangkabau sudah lama dilakukan, baik pada festival tingkat lokal maupun dalam festival-festival internasional. Ironinya, disaat kekayaan budaya ini dikomersilkan pada pentas peragaan dunia, di kehidupan nyata masyarakat terjadi peminggiran gaya berpakaian tradisi ini. Yang banyak dipakai oleh masyarakat dalam keseharian justru pakaian-pakaian dengan model berbeda misalnya gaya barat (western style) seperti kemeja dan jeans atau pakaian gaya Timur Tengah seperti jilbab dan gamis. Hanya di pasar-pasar tradisional dan di level pedagang yang sudah agak berumur (biasanya di atas 50 tahun) tingkuluak masih mereka pakai.
Tantangannya, bagaimana membuat tradisi berpakaian yang sudah sangat terbatas prakteknya ini menjadi bertahan kembali. Salah satunya menurut saya adalah melalui proses komodifikasi budaya ini. Yaitu dengan membuat para pemilik kebudayaan ini sadar bahwa apa yang mereka pakai selama ini mempunya nilai komersil dan dapat dipertahankan sekaligus diperdagangkan.
Salah satu amanat penting dari Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UU No 5 tahun 2017) adalah mendorong pemerintah untuk berinvestasi pada bidang-bidang kebudayaan tertentu yang belum disentuh. Undang-undang ini menekankan pada tata kelola kebudayaan dengan fokus pada aspek perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan. Jadi yang dikenakan kewajiban melakukan ke empat aspek tersebut sebenarnya pemerintah bukan warga pemilik budaya. Justru pemerintah harus turun tangan secara aktif membantu menanamkan kecintaan terhadap budaya yang ada sehingga mampu meningkatkan ketahanan budaya dalam masyarakat sekaligus berkontribusi di tengah budaya global.
Ada sepuluh objek pemajuan kebudayaan yang dirumuskan dalam UU No 5 Tahun 2017 tersebut dan pakaian terangkum dalam objek ke enam sebagai bagian dari pengetahuan tradisional. Yang dimaksud sebagai pengetahuan tradisional adalah ide dan gagasan dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai lokal dan merupakan hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dikembangkan secara terus menerus dan diwariskan lintas generasi. Diantara pengetahun tradisional itu adalah busana.
Pemaknaan ini penting sebagai titik berangkat, agar pembaca tidak skeptis menilai penulis artikel ini sebagai orang Padang yang berpikir pragmatis dan cenderung ingin memperdagangkan segala hal (sagalo kadigalehan). Padahal kajian tentang pakaian jelas menarik. Dalam ilmu sosiologi, khususnya sosiologi ekonomi, kostum dan fashion style dianggap mampu memberi sumbangan terhadap pemecahan masalah sosial. Hanya saja selama itu hal tersebut belum mendapat perhatian serius dari ahli-ahli sosiologi kita.
Problematika Industri Budaya
Problematika yang sering muncul adalah ketika proses komodifikasi budaya ini tidak membantu memperkuat identitas kultural masyarakat tetapi justru menghancurkan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Masalah ini terjadi ketika pelaku komodifikasi budaya tersebut tidak melakukan kajian mendalam, khususnya dari sisi budaya tentang proyek perubahan yang sedang mereka garap.
Karena itu, sinergi antar kementrian pariwisata dan kementrian kebudayaan harus dibangun bahkan harus sampai ke level terendah. Sehingga dualisme paham pengembangan kebudayaan ini tidak terus berbenturan dan merugikan masyarakat yaitu antara mendudukkan soal kepentingan pariwisata (pemasukan uang) dan upaya mempertahankan nilai-nilai dan kearifan lokal di era pasar global hari ini.
Korea, Jepang dan banyak Negara maju sudah mengembangkan upaya komodifikasi budaya ini lama. korean wave atau hallyu wave adalalah model komodifikasi budaya yang kemudian menyebar dalam bentuk ‘demam korea’ di Indonesia bahkan di dunia secara global. Yang mereka jual lewat pengusaan pasar hiburan dunia tersebut jelas kebudayaan setempat. Apakah dengan demikian, penduduk Korea tercabut dari nilai budayanya?
Berdasarkan pengalaman empat tahun tinggal di negeri gingseng tersebut, saya melihat dengan gerakan kebudayaan yang memadukannya dalam industri budaya justru membantu memperkuat kebanggaan dan jati diri masyarakat setempat. Kalau hanya mengandalkan kemajuan teknologi dan industri perangkat keras seperti mobil dan alat-alat eletronik, saya pikir secara kultur mereka justru akan ambruk lebih cepat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jepang dan Belanda.
Mungkin di Sumatera Barat bisa pula dibuat gerakan budaya berupa Gelombang Minangkabau (Minang Wave) untuk menghidupkan industri budaya dan pariwisata di daerah ini. Walaupun dalam bentuk pseudo (semu), sebagaimana wataknya dunia industri yang serba pragmatis, namun upaya-upaya mempertahankan sekaligus mengkomersilkan kultur tradisional ini berhasil membuat mereka muncul sebagai bangsa berjati diri.
Hari ini di Indonesia, kesempatan untuk melakukan hal serupa terbuka lebar. Pemerintah menyediakan wadah dan mendorong upaya ke arah itu. Bahkan belakangan muncul kata: ‘Tengkuluk Nusantara’. Sebuah diksi yang bisa memperkokoh persatuan sekaligus mencairkan sekat-sekat politis antar etnis.
Hanya satu hal yang saya khawatirkan, campur tangan kekuasaan yang terlalu dalam berupa lahirnya Perda-Perda yang mengikat dan membawa konsekuensi hukum untuk membatasi ekspresi budaya khususnya aturan berpakaian bagi perempuan. Perda ini menurut hemat saya terlalu ‘keras’ jika harus dibenturkan dengan budaya yang menjadi ‘perangkat lunak’ (software) dalam masyarakat. Membudayakan sesuatu tidak harus melalui cambuk, rotan dan ancaman-ncaman. Perda hanya akan membelenggu kreatifitas dan imajinasi budaya masyarakat.
Cara yang tepat, menurut saya, adalah dengan membebaskan pemikik tradisi untuk berekspresi dan memakai apa yang mereka anggap pantas sesuai nilai-nilai dan tradisi yang turun temurun. Rasa cinta dan bangga jauh lebih manusiawi dibanding rasa takut dan terancam. Salah satu wujud untuk menanamkan rasa cinta dan bangga itu melalui program pesta rakyat atau festival baik di tingkat sekolah, tingkat kampung, sampai tingkat dunia. Bahkan juga bisa hanya dengan slogan, misalnya: Dengan bertengkuluk, perempuan merawat budaya.