Sabtu, Oktober 12, 2024

Matematika, Bahasa, dan Sastra

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).

Pretensi yang acap kali hadir dari seseorang ketika berhadapan dengan matematika adalah perasaan rumit dan menjengkelkan. Tak terkecuali bagi para mahasiswa yang berasal dari latar belakang eksakta.

Akar dari terjadinya fenomena ini, alangkah lebih baik adalah menelusur pada masa bagaimana anak-anak saat berada di sekolah dasar ditanamkan akan matematika. Pada kenyataannya, penanaman matematika hanyalah sebatas mengenalkan matematika dengan urusan hitung-menghitung, tidak lebih dari itu.

Meskipun demikian, tak heran ketika tren yang berkembang hingga hari ini, misalnya adalah anak-anak yang cerdas diidentikkan dengan kemahiran dalam hitung-menghitung. Aras ini menggiring kepada pemahaman kita akan matematika itu sendiri.

Pertanyaan demi pertanyaan seputar penyebab kegagalan dalam menerima matematika mafhum akan terus bermunculan. Ambil contoh, misalnya di jurusan saya kuliah yaitu fisika, mata kuliah yang berkaitan mengenai matematika banyak diajarkan dan bahkan menjadi sebuah pokok pembahasan setiap semester.

Mulai dari Matematika Dasar, Kalkulus I, Kalkulus II, Statistik Dasar, Fisika Matematika I, Fisika Matematika II hingga Fisika Matematika III, masing-masing menjadi mata kuliah wajib dengan didasarkan pada tingkatan tiap semesternya. Tak pelak, di beberapa jenis mata kuliah matematika tersebut, banyak mahasiswa yang harus mengulang hingga lebih dari satu kali untuk lulus dari jeratan mata kuliah yang kerap disebut sebagai mata kuliah yang mematikan.

Persoalan mendasar adalah tidak ditanamkannya pemahaman matematika itu sebagai sebuah bahasa. Yang pada gilirannya, ketika itu ditanamkan akan membawa mahasiswa pada pola pikir bahwasannya sebagai bentuk bahasa, matematikalah yang digunakan nanti untuk menyelesaikan persoalan demi persoalan dari sebuah teori atau pun membuktikannya.

Bahasa

Sebagai sebuah bahasa, matematika mengilhami tentang hubungan dinamis antara penyingkapan kenyataan baru yang dibangun melalui instrumen penguji maupun penginderaan yang kemampuannya terus meningkat.

Hal tersebut ditandaskan juga oleh Nirwan Ahmad Arsuka melalui bukunya Percakapan dengan Semesta. Baginya, matematika tumbuh menghasilkan konstruksi paling abstrak yang belum pernah ada dalam kenyataan, juga konstruksi paling praktis yang langsung bisa digunakan oleh dunia.

Dengan arti lain, selama manusia terus berpikir dalam kehidupan yang terus berkembang, akan lahir hal yang baru dari matematika. Yang dalam perkembangannya kita ketahui bersama matematika akan dibedakan menjadi dua hal pokok yakni masing-masing adalah matematika murni dan matematika terapan.

Matematika murni didorong atas dasar pengembangan matematika itu sendiri. Sementara matematika terapan digunakan dalam menyeka masalah yang nyata seperti halnya yang muncul pada; fisika, teknik, ekonomi, bidang ilmu sosial, kimia, atau yang lainnya.

Di luar sebagai salah satu jenis bahasa, matematika berangkat dari apa yang dinamakan sebuah kesepakatan. Dengan artian, metode-metode yang ada di dalamnya merupakan buah hasil kesepakatan dari berbagai pihak.

Satu ditambah satu tidak akan terus menghasilkan dua jikalau menilik pada kesepakatan yang ada. Jika menggunakan aturan bilangan desimal tentu menghasilkan dua, namun ada banyak aturan atau aksioma pada bilangan itu sendiri, diantaranya adalah biner, oktal hingga heksadesimal.

Sastra

Pertanyan menarik, yang mungkin saja hadir adalah: adakah hubungan antara matematika dengan sastra itu sendiri? Hadi Susanto, seorang pengajar dari Indonesia yang pernah mengajar lima tahun di Universitas Nottingham menjelaskan dalam buku yang merupakan sekumpulan esainya berjudul Tuhan Pasti Ahli Matematika (Bentang, 2015).

Menurutnya, matematika sangat erat hubungannya dengan rasa. Untuk bisa menikmati dan menghargai matematika, tidak hanya diperlukan logika, tetapi juga perasaan, seperti halnya seni dan sastra. Matematika adalah puisi logika, pungkasnya.

Frasa tersebut tak terlepas dari apa yang pernah diucapkan oleh Albert Einstein, “Pure mathematics is, in its way, the poetry of logical ideas.” Meskipun tak boleh dikesampingkan juga, sebagai ilmuwan yang menjadi tonggak lahirnya Big Science dengan menggagas teori relativitas khusus (1905) dan relativitas umum (1915), ia menjadi satu dari kesekian ilmuwan yang lemah pada matematika.

Di luar hal tersebut, ada peristiwa yang menarik, di mana ada beberapa deretan nama ilmuwan yang hingga mendapatkan penghargaan bidang matematika yang juga kuat akan kesastraannya.

Misalkan adalah Omar Khayyam, selain terkenal dengan karyanya Rubaiyat, ia juga terkenal sebagai ahli matematika geometri yang mengoreksi postulat Euclid. Sofia Kovalevskaya yang terkenal dengan teorema Cauchy-Kovalevsky, juga merupakan seorang penyair.

Kemudian, dalam penghargaan hadiah nobel sendiri, setidaknya ada dua nama ahli matematika yang mendapatkan nobel di bidang sastra yakni masing-masing adalah José Echegaray pada tahun 1904 serta Bertrand Russel pada tahun 1950.

Hal ini setidaknya menunjukkan pada kenyataan bahwasannya matematika adalah sebuah teks yang dalam banyak kesempatan akan menyajikan keindahan demi keindahan sebagaimana orang saat berhadapan dengan puisi dalam sastra. Pemahaman ini perlu ditanamkan kepada kepala agar mendengar matematika tidak hanya sebatas pada urusan hitung-menghitung. Namun lebih dari hal itu.

Bisa jadi, hal mutlak yang diperlukan dalam memahami maupun mempelajari matematika pada kenyatannya adalah sebagaimana orang memahami sastra baik secara tekstual maupun kontekstual. Hal tersebut akan membawa pada pola pemikiran pada sebuah penghayatan dan perasaan secara menyeluruh.

Di sisi lain, poin penting dari pemahaman akan matematika itu sendiri adalah sebuah bahasa yang terdiri dari dua hal pokok yakni berupa kesepakatan dan aturan main yang bernama aksioma.

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.