Kamis, April 25, 2024

Masihkah Relevan Menghidupkan Kembali GBHN?

Wacana untuk ‘menghidupkan kembali’ Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional kembali menguat pasca Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ke-6 di Bali.

Isu GBHN menjadi cukup seksi untuk dibicarakan oleh elit politik sebelum pelantikan anggota MPR dan pemilihan pimpinan MPR. Terlebih Ketua MPR, Zulkifli Hasan, berulang kali menegaskan bahwa UUD 1945 akan diubah atau diamandemen sebatas kewenangan MPR untuk membentuk GBHN.

Menjelang berakhirnya masa jabatan anggota MPR periode 2014-2019, pemberlakuan kembali GBHN belum kunjung terealisasi. Sebetulnya isu untuk memberlakukan kembali GBHN bukan isu baru, Tahun 2014 MPR mengeluarkan Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2014 yang isinya merekomendasikan anggota MPR periode 2014-2019 melakukan amandemen kelima UUD 1945 untuk mengembalikan kewenangan MPR membentuk GBHN.

Suara-suara penolakan selalu muncul dengan pertanyaan sebagai berikut : (1) Apakah MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana isi UUD 1945 sebelum perubahan ?; (2) Bagaimana menyesuaikan GBHN dengan sistem presidensil yang disempurnakan dengan UUD 1945 yang telah diamandemen ?; 3) Bagaimana sinkronisasi GBHN dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang didasari oleh UU Nomor 25 Tahun 2004 ? Dimana ketiga pertanyaan tersebut dapat disimpulkan menjadi satu pertanyaan.

Masikah Relevan Menghidupkan Kembali GBHN?

Umumnya persepsi masyarakat–bahkan elit politik–terhadap GBHN adalah membentuk Ketetapan MPR (TAP MPR) yang berisi pedoman/arah bagi penyelenggaraan negara atau Haluan Negara. Apabila hal tersebut juga diinginkan oleh MPR, mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara bukan hal yang mustahil, karena amandemen UUD 1945 dapat dilakukan oleh MPR.

Jika tidak menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara bagaimana mungkin penyelenggara negara atau pemerintah dapat terikat oleh GBHN? Terdapat tiga argumentasi untuk ‘menghidupkan kembali GBHN’ : 1) Sebagai pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional; 2) Integrasi sistem pembangunan nasional; 3) Perlunya sistem perencanaan pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Namun yang harus kita telaah terlebih dahulu sebelum memberlakukan kembali GBHN adalah keadaan saat ini.

Wacana GBHN vs Status Quo

Status quo atau keadaan saat ini yang merupakan akibat dari amandemen UUD 1945. Pertama, pemurnian sistem presidensil dimana presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR dan dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, diberikannya otonomi kepada provinsi dan kabupaten/kota untuk melakukan pembangunan berdasarkan prakarsa dan inisiatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, perubahan total dalam sistem perencanaan pembangunan dimana Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) yang ditetapkan dengan UU 17 Tahun 2007 dan berlaku dengan jangka waktu 20 tahun, menjadi dasar bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berlaku selama lima tahun, Rencana Kerja Pemerintah yang berlaku selama satu tahun, dan rencana pembangunan daerah (RPJPD, RPJMD, dan RKPD).

Sistem presidensil yang dianut dalam UUD 1945 pasca amandemen merupakan penyempurnaan sistem pemerintahan yang dianggap rancu, karena UUD 1945 sebelum amandemen menempatkan presiden bertanggungjawab kepada MPR yang identik dengan sistem parlementer.

Pada saat itu secara formal keberlangsungan jabatan presiden sebelum era reformasi salah satunya diukur dari pelaksanaan pemerintah atas GBHN. Pun hal tersebut harus dilihat dalam konteks MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Jika GBHN hendak dihidupkan kembali dan sistem pemerintahan presidensil tidak akan diubah, bagaimana cara MPR membuat presiden terikat dengan GBHN? Seandainya ada mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada MPR, apa konsekuensi bila presiden tidak berhasil melaksanakan GBHN?

Jika tidak ada jawaban atas pertanyaan tersebut, maka makin kuat kecurigaan bahwa GBHN hanya menjadi pedoman pembangunan yang simbolik. Terlebih hal ini akan memperkuat anggapan bahwa MPR selama ini hanya menjalankan kewenangan yang bersifat ‘seremonial’ sebagaimana keadaan saat ini.

Dua pertanyaan tersebut sebetulnya ditunggu-tunggu generasi muda untuk menilai apakah ada perubahan signifikan atau tidak. Namun dengan sikap MPR yang juga ingin mempertahankan sistem presidensil, GBHN tidak dapat berjalan efektif. Tentu ini baru membahas relevansi GBHN dengan sistem presidensil yang dianut Indonesia, belum lagi relevansi GBHN dengan otonomi daerah dan SPPN, semoga bapak/ibu anggota MPR berkenan memaparkannya.

UUD 1945 Butuh Haluan Negara, bukan GBHN

Apakah Haluan Negara adalah hanya dapat diwujudkan dengan GBHN ? Tentu tidak. Di negara lain yang menganut sistem presidensil seperti Filipina, ternyata dalam konstitusinya ada satu bab khusus yang memuat Haluan Negara atau disebut Directive Principles of State Policy. Dalam buku Konstitusi Ekonomi karya Jimly Asshiddiqie, Indonesia mengenal Haluan Negara dalam beberapa bentuk yakni :

  1. Haluan negara yang tercantum dalam UUD 1945;
  2. Haluan negara yang tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR/S;
  3. Haluan negara dalam pengertian program kerja sebagaimana tertuang dalam GBHN yang ditetapkan dalam bentuk Ketetapan MPR yang tersendiri;
  4. Haluan negara yang tertuang dalam bentuk undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Jika diamati bentuk-bentuk Haluan Negara di atas, hanya poin a & d yang bisa diterapkan sejalan dengan sistem presidensil. Karena MPR saat ini sudah tidak berwenang untuk mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR). Apa saja Haluan Negara yang ada dalam UUD 1945 pasca amandemen ? Sebagai contoh, Pasal 31 ayat (4) yang mewajibkan negara mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan.

Berbicara mengenai Haluan Negara kita akan membincang hal-hal substantif yang berdampak pada hajat hidup orang banyak, sedangkan perdebatan mengenai penghidupan kembali GBHN kita hanya akan berputar-putar pada hal yang bersifat formal atau sebatas kewenangan satu lembaga negara. Tentu kita semua berharap amandemen UUD 1945 yang lebih berdampak pada kehidupan sehari-hari, tidak hanya berdampak pada hajat hidup bapak/ibu anggota MPR.

Sebetulnya generasi muda mempunyai permasalahan-permasalahan riil/kongkrit di masa mendatang. Isu lingkungan hidup, ketimpangan kepemilikan lahan, mahalnya biaya pendidikan tinggi, penghapusan kekerasan seksual, dan sebagainya. Kalau bapak/ibu anggota MPR dan DPR masih ‘sayang’ dengan generasi muda sebaiknya segera setujui undang-undang yang menyelesaikan permasalahan kongkrit yang akan dihadapi generasi muda.

Lagi pula apa urgensi untuk melakukan penataan kewenangan MPR, setiap perubahan UUD 1945 harus didasari keadaan yang dirasakan masyarakat dan suara dari akar rumput. Tentu kita berharap dan masih percaya bahwa sebagian besar anggota MPR tidak mengutamakan ego demi kepentingannya sendiri. Saya pun masih percaya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.