Setiap pulang kampung, saya selalu dinasehati oleh teman dan sanak saudara bahwa saya mesti memiliki kebun sawit. Bagi mereka kebun sawit tidak hanya lambang kesejahteraan bagi orang makan gaji dengan status non PNS seperti saya melainkan juga investasi jangka panjang yang menjanjikan.
“Gajimu tidak seberapa meskipun kamu lulusan luar negeri. Dan sewaktu-waktu kamu bisa saja dipecat. Jika sudah begitu, kamu dan keluargamu mau makan apa?” Setelah melihat bukti ucapan mereka saya tidak punya dalih untuk tidak percaya.
Sudah banyak teman kuliah saya dulu kini memetik hasil manis dari kebun sawit yang mereka buat. Saya pun yakin jika masa depan anak-anak muda Indonesia, baik yang berpendidikan tinggi apalagi yang hanya tamatan SLTA, ada pada pertanian.
Sektor pertanian sudah seharusnya menjadi solusi bagi masalah minimnya lapangan kerja di Indonesia. Tiap tahun para sarjana baru membludak yang hampir semuanya berkeinginan untuk memasuki dunia kerja formal. Kemdikbud mencatat, dari tahun 1999 sampai 2014 selalu terjadi pelonjakan siswa yang mendaftar di perguruan tinggi yaitu 4.64% per tahun.
Laju pertumbuhan yang signifikan ini tidak dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja sektor formal yang berakibat menumpuknya penganggur berijazah perguruan tinggi. Tidak main-main, dalam rentang dua tahun saja (2017-2019) angka pengangguran di kalangan orang terdidik di Indonesia naik 25%.
Sementara itu, sektor pertanian di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis serius. Dalam 10 tahun terakhir terdapat penurunan petani sekitar 10%, dan sebagian besar petani tidak mau anak-anak mereka menekuni profesi yang sama. Di kalangan anak muda, profesi petani pun dianggap profesi terbelakang yang tidak selaras dengan semangat modernitas era global. Maka tak heran, angka petani Indonesia usia di bawah 34 tahun terus merosot sebab anak-anak muda Indonesia lebih memilih berkarir di bidang lain meskipun profesi tersebut tidak begitu menjanjikan dalam jangka panjang.
Berkarir di sektor formal di Indonesia sama dengan berkecimpung di dalam dunia yang masih carut marut. Dalam hal gaji, pekerja di Indonesia tergolong yang paling rendah di seantero Asia Pasifik.
Bahkan gaji pekerja di Timor Leste atau Filifina berada di atas Indonesia meskipun negara ini lebih miskin dari Indonesia. Jangan tanya Malaysia atau Singapura, posisi dua negara ini jauh melampaui Indonesia. Dalam hal ketidaksetaraan pendapatan Indonesia juga juaranya. Indonesia berdiri tegak paling tinggi di grafik rasio ketimpangan pendapatan di negara Asia Pasifik dengan nilai hampir 10. Artinya, jarak pendapatan antara yang berpenghasilan paling tinggi dengan yang berpenghasilan paling rendah amat jauh yaitu hampir 10 kali lipat.
Juga bukan rahasia umum jika banyak profesi di Indonesia tidak menyediakan keamanan profesi (job security). Nilai tawar pekerja yang rendah di mata perusahaan dan minimnya lapangan pekerjaan membuat pekerja rela digaji berapa saja atau diperlakukan seenaknya oleh perusahaan.
Mengenai hal ini, Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling buruk untuk bekerja di dunia. Alasannya adalah, para pekerja di negara seperti Indonesia tidak memiliki akses terhadap hak-hak mereka dan dibuat tunduk oleh rezim otokratis dan tindakan-tindakan yang tidak adil.
Semua persoalan yang mencekik batang leher para pekerja di sektor formal ini seharusnya membangunkan anak-anak muda Indonesia. Kejayaan yang mereka cari tidak melulu ada pada ‘menghambakan diri’ di hadapan pengusaha yang menggaji mereka secara tidak manusiawi.
Kejayaan hidup tidak selalu diwakilkan oleh Nomor Induk Pegawai atau dasi yang memanjang di dada. Kejayaan itu ada pada tanah yang menghampar luas yang siap dijadikan ladang penghidupan. Semangat bertani mesti dibangkitkan lagi dan dikawinkan dengan semangat berwirausaha agar tercipta kemerdekaan ekonomi bagi anak-anak muda Indonesia.
Sejatinya pemerintah telah berupaya untuk merawat sektor pertanian dari ancaman kepunahan melalui pemberian berbagai insentif. Ada insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012.
Di dalam aturan ini disebutkan jenis insentif yang diterima petani bervariasi dari pengembangan infrastruktur pertanian sampai ke penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian. Tahun ini Kementerian Koperasi dan UKM juga menggelontorkan dana sebanyak Rp 30 miliar untuk disalurkan kepada 2.500 pengusaha pemula Indonesia termasuk pengusaha bidang pertanian. Bantuan-bantuan tersebut belum lagi termasuk dana hibah yang disediakan oleh pemerintah daerah yang juga bisa digunakan untuk berwirausaha.
Akan tetapi, insentif-insentif diatas, meskipun layak diapresiasi, belum menyentuh akar permasalahan yang melanda anak-anak muda Indonesia yang sudah terlanjur memiliki mindset anti pertanian.
Jangankan anak pejabat atau pengusaha, mayoritas (63%) anak petani saja tidak sudi menekuni profesi orang tua mereka. Berbeda terbalik dengan Indonesia, survey di Italia mengungkapkan terdapat lebih banyak anak muda di bawah usia 35 tahun yang bersedia menjalani bisnis pertanian (54%) ketimbang berkerja di perusahaan multinasional (21%) atau pegawai bank (13%).
Di negara Uni Eropa lainnya angka petani muda juga tergolong banyak seperti Austria yang punya 12%, Slovakia 11%, dan Polandia 10%. Jika dibandingkan dengan Indonesia yang bukan negara industri seperti Eropa perbedaannya mencolok. Jumlah petani muda Indonesia usia 15-35 tahun hanya sekitar 3.362.884 atau kurang dari 2% dari total 269 juta penduduk Indonesia.
Untuk mengatasi hal ini pemerintah perlu menyusun langkah serius agar anak-anak muda dengan senang hati bersedia kembali mengolah tanah Indonesia yang subur. Selain pemberian insentif, kampanye di media maupun langsung ke tengah-tengah anak muda harus digalakkan agar mereka memiliki gambaran positif mengenai pertanian.
Wirausaha pertanian mesti dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi supaya semangat bertani mendarah daging. Yang tidak kalah pentingnya, akses terhadap lahan harus diberikan. Pemerintah dapat memberikan lahan dengan sistem kredit tanpa bunga kepada petani-petani muda yang dibayar ketika lahan pertanian sudah menghasilkan.
Apa yang dinasehatkan kepada saya oleh karib kerabat di kampung tidak bisa dipungkiri lagi kesahehannya. Satu pertanyaan yang mesti dihayati oleh saya dan jutaan anak-anak muda Indonesia lainnya, “hari ini memang kita dipakai orang, tapi lima atau sepuluh tahun lagi siapa yang akan menjamin?” Masa depan kita ada pada pertanian.