Selama seminggu di Jawa Tengah, ada fenomena menarik berkaitan dengan masa depan Jokowi dan PDI-P. Dari berbagai obrolan informal, kekecewaan orang pada Jokowi dan PDI-P mulai menyeruak. Meledaknya kasus agraria dan perampasan ruang hidup di media sosial sejak 2014 melahirkan kekecewaan petani atau buruh tani, wargakota yang dirugikan oleh pembangunan real-estate, dan kaum miskin-kota korban penggusuran seperti Kebon Agung Semarang. Analisis dampak sosial kebijakan infrastruktur dan industrialisasi Jokowi ini bahkan dihubungkan ke sektor buruh. Para analis sosial mulai menarik garis penghubung antara korban perampasan ruang hidup di pedesaan dengan arus urbanisasi di Jakarta atau kota besar lain yang menggelembungkan jumlah buruh.
Selama keluyuran dari daerah ke daerah lain di Jawa Tengah pula, kaum profesional di pedesaan dan kota mulai kecewa atau bahkan muak pada rezim Jokowi. Salah satu kelompok profesi yang sering menumpahkan kekecewaannya pada pemerintahan Jokowi adalah guru non-PNS. Lebih persisnya para guru honorer atau guru tidak tetap. Ketidakpastian nasib dan sistem pengangkatan PNS yang ditengarai menjadi lahan subur kolusi dan nepotisme membuat mereka menyimpan kemarahan pada pemerintahan sekarang.
Kemarahan mereka dimulai ketika Jokowi mengumumkan kebijakan moratorium PNS bidang pendidikan sampai 2017. Para guru tidak tetap, terutama yang masuk kategori 2 (GTT K-2) meradang karena janji pengangkatan sebagai guru dengan status PNS yang gencar dikampanyekan di masa Pilpres 2014 tak terbukti. Kalaupun ada pengangkatan, para GTT kategori 2 ini meradang karena adanya pengangkatan guru honorer yang belum lama mengajar sementara yang sudah belasan tahun tungkus-lamus mengajar tak juga diangkat.
Kegelisahan para guru honorer atau guru tidak tetap ini sebenarnya tumpukan persoalan pemerintahan sebelumnya. Namun rezim yang terus membangun sarana fisik tanpa peduli kebutuhan atau daya dukung finansial dan SDM-nya menciptakan persoalan yang menjadi bom waktu bagi dirinya sendiri. Rendahnya serapan tenaga kerja terdidik di sektor-sektor yang sesuai bidang keahliannya membuat mereka mengincar pekerjaan guru TK hingga SMA. Selain adanya jaminan kemapanan karena status PNS, pekerjaan ini dianggap tak seeksploitatif pekerjaan buruh industrial atau pekerjaan kantoran lainnya.
Ketertarikan lulusan perguruan tinggi pada profesi ini bisa tampak dari data berikut. Menurut Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, hingga saat ini masih terdapat 1.338.150 guru yang berstatus Non-PNS. Status guru Non-PNS terbagi dalam empat kategori, yaitu guru bantu, guru honorer daerah, guru tetap yayasan dan guru tidak tetap. Dari sejumlah itu, yang berstatus guru tidak tetap 721.124 orang. Merekalah yang mengalami keterombang-ambingan hidup karena tidak jelasnya kebijakan pemerintah dalam mengolah sumberdaya manusia di lingkungan kerjanya.
Angka sebesar ini jelas menjadi garapan yang menjanjikan bagi lawan-lawan politik rezim berkuasa saat sekarang. Makin kuatnya Jokowi sebagai penguasa politik dan tenggelamnya peran Jusuf Kalla membuat kekecewaan para guru non-PNS dialamatkan pada Jokowi dan partai pengusungnya, PDI-P. Kedua pihak ini dianggap sebagai aktor yang tidak bertanggungjawab atas kerja keras yang telah mereka curahkan sampai sekarang.
Luapan ketidakpuasan pada Jokowi dan PDI-P menemukan momen politiknya pada dua hal, yaitu menguatnya kekuatan islam politik dan gencarnya partai-partai oposisi dalam menyasar mereka sebagai lumbung suara di hajatan politik seperti pemilu 2019. Sebagai gambaran paling terkini, satu kursi CPNS harus diperebutkan oleh 65-an orang. Artinya, satu orang terjamin hidupnya sementara 64-an orang lainnya tidak. Angka ini bisa membesar kalau melihat perbandingan lowongan PNS guru dan jumlah pelamarnya yang mencapai 1:100. Kebutuhan sehari-hari yang makin besar dan sedikitnya pemasukan ekonomi di luar aktivitas mengajar membuat mereka menjadi kelompok profesi yang paling rentan terombang-ambing hajat elite-politik yang suka mengail di air keruh.
Momen lain yang mengkristalisasikan ketidakpuasan para guru muncul dari arah lain: hantu komunisme atau PKI. Kelompok yang paling gencar mengarusutamakan isu ini adalah kelompok islam politik, militer, dan partai-partai yang jelas mengambil sikap berseberangan dengan penguasa. Kegiatan pemutaran film G-30-S/PKI, peredaran pesan-pesan di grup WA dan Line hingga kampanye massif di facebook, twitter dan instagram menjadi instrumen ampuh untuk menggerogoti basis dukungan pada Jokowi dan partai yang mengusungnya, PDI-P.
Informasi yang dikumpulkan penulis lewat obrolan-obrolan informal dengan guru-guru tidak tetap di beberapa daerah jelas-jelas menunjukkan betapa kelompok oposisi dan militer (terutama angkatan darat) berhasil mengipas segmen kelompok profesional yang sehari-hari mengajar ini. Sebagian besar di antara mereka menyatakan kekecewaannya pada Jokowi dan tak akan memilihnya di hajatan politik di masa datang. Partai pendukung kekuasaan saat ini, terutama PDI-P, menjadi sasaran kemarahan karena tidak mampu mewadahi aspirasi mereka. Seiring dengan pasang naiknya isu PKI, opini sebagian besar guru ini berhasil digiring pada pandangan bahwa PDI-P adalah sarang PKI. Pandangan ini mungkin tidak lahir dari kejernihan berpikir, namun lahir dari kemarahan pada pemimpin politik yang dulu mereka serahi kepercayaan namun ternyata mengkhianati mereka.
Mari kita melakukan hitung-hitungan kasar. Katakanlah jumlah guru tidak tetap yang hampir mencapai 750.000 orang berhasil dikipas oleh Prabowo Subianto yang masih berhasrat menjadi presiden. Masing-masing guru memiliki 3-4 anggota keluarga inti. Kampanye massif kekuatan oposisi yang bermuara baik pada Prabowo Subianto atau Gatot Nurmantyo akan mudah saja menangguk 2-3 juta. Jumlah ini sangat signifikan dalamseperti pemilu atau pemilihan presiden. Kalau kantong pendukung Jokowi dan PDIP di Jawa Tengah saja digerus dari ketidakbecusan pemimpin politik Jawa Tengah dalam menghadapi kasus-kasus agraria, bisa dibayangkan malapetaka politik macam apa yang akan menimpa Jokowi dan PDIP bila secara nasional kelompok profesi seperti guru Non-PNS mengalihkan suaranya ke lawan politiknya.
Dalam pertarungan politik seperti pemilu atau pilpres, kesungguhan pemimpin politik dalam menyelesaikan persoalan akan terus diuji di hajatan politik mendatang. Seperti ungkapan seorang kepala desa di Kebumen, meski rakyat bawah diam, namun tindak-tanduk pemimpin tak pernah lepas dari mata mereka. Sekali pemimpin salah atau tak menepati janji, dengan diam-diam atau terang-terangan, rakyat akan melawan. Bahkan dengan cara yang tak diduga penguasa. Naiknya gerakan rakyat akibat kasus-kasus agraria dan perampasan ruang hidup warga membuktikannya. Kekecewaan kelompok-kelompok marginal yang berhasil dikanalisasi gerakan politik 212 jadi bukti shahih kedua.
Pertarungan perebutan suara di berbagai kelompok masyarakat bakal lebih keras lagi di masa depan. Salah memberi harapan bisa berakibat bencana. Bila di tahun 2014 Jokowi dan PDI-P menyemai harapan palsu pada kelompok profesi seperti guru non-PNS, maka di hajatan politik yang akan datang bisa jadi ia dan partai pendukung seperti PDI-P tinggal menuai badainya.