Kamis, April 25, 2024

Manifesto Sayyid Qutb: Kritik dan Masa Depan Islam

Menelaah pentingnya nilai Islam dalam kehidupan publik sebagian bangsa Arab kontemporer kala itu, sangat mudah untuk melupakan betapa sekulernya timur tengah pada tahun 1981. Dihampir semua negara di teluk semenanjung Arabia, kecuali negara yang masih tertinggal dan terbilang konservatif, nilai – nilai kehidupan barat sangat hidup pada masa itu sehingga orang islam sendiri lupa dengan nilai dan budaya islam.

Sehingga tidak heran ketika berkunjung ke Paris, Muhammad Abduh berkata; “raaytu Al-islam wa lam ara Musliman” (Aku melihat islam disana, tetapi aku tidak melihat muslim disana). Banyak yang hidupnya didedikasikan untuk minuman keras, wanita dan pria bercampur di satu tempat, semakin banyak perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi dan masuk ke kehidupan profesional.

Bagi sebagian orang memandang kehidupan bangsa arab pada saat itu adalah titik awal kemajuan, tetapi bagi sebagian orang memandang kemajuan saat dalam bentuk kegelisahan yang mendalam, khawatir laju kemajuan yang mencuak membuat umat islam melupakan nilai-nilai islam.

Perdebatan atas islam dan modernitas memiliki akar yang cukup kuat di dunia Arab. Carrie Rosefky Wickham dalam bukunya, The muslim Brotherhood Evolution of an islamist movement (2013), memaparkan bahwa Hassan Al-Banna Mendirikan Ikhawanu Al-Muslimin pada tahun 1928 untuk melawan pengaruh barat dan erosi nilai-nilai islam di Mesir.

Selama puluhan tahun, Ikhawanu Al-Muslimin mendapatkan tindakan yang represif yang sangat keras, dan bahkan di larang oleh rezim monarki Mesir pada Desember 1948, kemudian oleh rezim nasser pada tahun 1954. Selama 1950-1960 an politik islam di paksa bergerak di bawah tanah, karena besarnya pengaruh sekuler.

Namun, tindakan supresif tidak merubah semangat untuk menyampaikan nilai-nilai islam serta melawan sekularisme, gerakan ini dipimpin oleh pemikir Mesir karismatik bernama Sayyid Qutb Ibrahim Husein al-Syadzili (1906-1966). Dia terbukti menjadi salah satu reformis Islam yang paling berpengaruh pada abad ini.

Lahir di sebuah desa di Mesir Hulu, Qutb pindah ke Kairo pada 1920-an untuk belajar di sekolah tinggi guru, Darul Ulum.  Setelah lulus, dia bekerja di Departemen Pendidikan sebagai guru dan seorang inspektur. Qutb juga aktif dalam lingkaran sastra pada 1930-an dan 1940-an sebagai seorang penulis sekaligus kritisi.

Pada  1951, Qutb menerbitkan esai yang berjudul “The American I Have Seen”, dalam sebuah majalah Islam. Menyerapahi materialisme dan kelangkaan nilai-nilai spiritual yang ditemuinya di sana, Qutb terkejut oleh apa yang dilihatnya sebagai kelalaian moral dan persaingan tidak terkendali dalam masyarakat Amerika.

Dia khususnya sangat terkejut oleh apa yang dilihatnya sebagai kesembronoan moral dan persaingan tak terkendali dalam masyarakat Amerika. Dia  khususnya sangat terkejut saat menemukan kejahatan ini di gereja-gereja AS. “Di sebagian besar gereja,” tulis Qutb, “ada klub yang menggabungkan kedua jenis gender dan setiap pendeta mencoba untuk menarik orang sebanyak mungkin ke gerejanya, terutama karena ada rivalitas besar antara gereja dengan denominasi yang berbeda.”

Qutb menemukan perilaku seperti itu, di mana Gereja mencoba mengumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya, lebih tepat dilakukan seorang manajer teater, bukan oleh seorang pemimpin kerohanian.

Qutb kembali ke Mesir dengan tekad untuk membukakan mata rekan-rekan sebangsanya dari kekaguman mereka atas nilai-nilai modern yang diwakili bangsa Amerika. “Aku khawatir tidak ada keseimbangan antara Materi AS dan orang-orangnya” tegasnya. “Aku juga takut roda kehidupan akan berubah dan buku waktu akan tertutup, dan Amerika tak akan menambahkan apa-apa, ke dalam moral yang membedakan manusia dari benda, dan terutama, manusia dari binatang.”

Qutb tidak ingin menyurihkan Amerika; tetapi, dia ingin melindungi Mesir dan dunia Islam pada umumnya, dari kemerosotan moral yang disaksikannya di Amerika Serikat. Tidak lama setelah berkelintaran dari AS, Qutb bergabung dengan Ikhwanul Muslimin pada 1952. Menurut John Calvert dalam karyanya, Sayyid Qutb and the Origins of Radikal Islamism (Oxford University Press, 2013), karena latar belakangnya di penerbitan, Qutb didaulat untuk memimpin Kantor media masyarakat dan publikasi. Tokoh Islamis yang bersemangat ini memiliki banyak pembaca setia melalui esai-esainya yang provokatif.

Pasca Revolusi Mesir (1952), Qutb menikmati hubungan yang baik dengan Perwira Pembebas. Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser dilaporkan pernah mengundang Qutb untuk menyusun konstitusi partai pemerintahan yang baru, Persatuan Pembebasan. Tapi sepertinya, Nasser melakukannya bukan karena kekaguman kepada pembaru Islam, tetapi lebih sebagai upaya penuh perhitungan untuk memperoleh dukungan Qutb atas organisasi resmi yang baru itu guna menyatukan semua partai politik–termasuk Ikhwanul Muslimin.

Melawan Tirani: Telaah Kritik

Perlakuan baik Rezim Nasser kepada anggota Ikhwanul Muslimin rupanya berumur pendek, banyak yang mengalami penyiksaan bahkan Qutb sendiri memberi kesaksian yang sama bahwa dia diberi hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Di masa-masa pengasingan dan penyiksaan Qutb menulis beberapa karya fenomenal tentang islam dan politik, termasuk tafsir radikalnya  yang mempropagandakan masyarakat muslim madani, berjudul Ma’alim fi al-tariq (Milestones).

Milestones adalah kulminasi dari adicita Qutb tentang kebangkrutan Materealisme barat dan Nasionalisme Arab sekuler yang dzhalim . Sistem sosial politik yang mengatur zaman modern, menurutnya, adalah buatan manusia dan telah gagal karena alasan itu. Alih-alih membuka dunia baru dan pengetahuan. Hal ini telah mengakibatkan ketidakpeduliaan atas bimbingan ilahi dan Jahiliyah. Lemah itu memiliki makna tertentu dalam islam, karena mengacu pada masa kegelapan pra- islam.

Buntutnya, kemajuan luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 20 tidak memandu umat manusia memasuki zaman modern tetapi, mengabaikan pesan ilahiyah, sehingga membawa manusia kembali kepada abad ke tujuh. Jadi, mereka mengklaim sepenuhnya bahwa manusia yang menciptakan nilai, peraturan-peraturan, dan memilih cara hidup yang diatur oleh manusia dan melupakan esensi perintah Allah swt.

Hal ini yang terjadi negara Barat non-islam dan negara Arab. Walhasil, jadilah tirani. Rezim tidak menghadirkan kebebasan dan hak azasi manusia bagi warga negaranya. Tetapi, penyiksaan dan penghisapan yang dilakukan oleh rezim. Padahal islam adalah wahyu paripurna tuhan kepada manusia mengajarkan kebebasan dan mempunyai hak yang sama, satu-satunya hukum yang sah dan autentik adalah hukum Allah swt, seperti termaktud dalam syariat islam.

Qutb percaya bahwa umat muslim mempunyai peran strategis untuk menjadi “pemimpin umat manusia”. Garda depan tersebut kuat dalam khotbah (seruan) dan persuasi untuk mereformasi semua gagasan dan keyakinan. Dan menggunakan kekuatan fisik untuk jihad melawan rezim yang melarang mereformasi gagasan dan keyakinan serta melawan rezim yang menindas dan menghisap masyarakatnya. Tujuan terbesar Qutb adalah memajukan umat muslim kepada “pencerahan”, memimpin kebangkitan nilai-nilai islam.

Kepiawaian Qutb terletak pada kesederhanaan dan kejujurannya. Dia mengkririk sistem Arab jahiliyah modern dan menghadirkan kembali nilai-nilai Islam di tengah kehidupan yang kompleks. Kehidupan umat Islam sudah berubah, umat Islam kehilangan kekuatan, tetapi didalam diri mereka tertanam keunggulan. Boleh jadi mereka tertinggal, terbelakang dan tertindas mereka mencoba bangkit dan hidup dengan nilai-nilai Islam.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.