Pesta demokrasi belakangan ini memberikan kita pemandangan yang kaya akan dinamika, dari sorotan tajam dalam debat pasangan calon presiden-wakil presiden hingga kemegahan poster calon anggota legislatif yang menghiasi jalanan. Namun, di balik gemerlapnya kampanye, terdapat kebutuhan mendesak untuk meningkatkan manajemen perubahan dalam sistem pemilu kita.
Salah satu aspek menarik yang dapat diperhatikan adalah dominasi poster dengan gambar calon anggota legislatif (caleg). Ironisnya, pada saat pencoblosan, tidak mungkin semua wajah caleg tampil di surat suara. Hal ini mengindikasikan bahwa kampanye dan pemilu kita kehilangan esensinya.
Pertama-tama, kehilangan kesempatan untuk memahami latar belakang calon tersebut, termasuk pendidikan, keterampilan, dan rekam jejaknya yang akan menjadi modal berharga saat menjabat sebagai anggota legislatif. Sama seperti dalam dunia pekerjaan, pemilihan karyawan memerlukan pemahaman yang mendalam terkait dengan kualifikasi dan kecocokan dengan tugas yang diemban.
Ini tidak berarti bahwa seseorang dengan latar belakang seni atau olahraga tidak dapat menjadi anggota legislatif. Sebaliknya, mereka perlu menghubungkan pengalaman dan keterampilan mereka dengan kontribusi yang dapat mereka berikan, misalnya, melalui pengusulan undang-undang yang melindungi pekerja seni atau meningkatkan kondisi atlet.
Selain itu, kampanye sering kali hanya menjadi wadah distribusi sembako dan uang, menggantikan fokus pada pengenalan dan penyampaian visi-misi calon. Penting untuk menilai sejauh mana calon anggota legislatif berkomunikasi visi dan misinya kepada masyarakat, daripada hanya memberikan bantuan materi yang seringkali tidak membangun pemahaman yang baik.
Kedua, kurangnya informasi terkait kinerja anggota legislatif menyulitkan pemilih untuk membuat keputusan yang cerdas. Dalam era media sosial, seharusnya lebih mudah bagi anggota legislatif untuk menyampaikan kegiatan mereka kepada masyarakat. Sayangnya, masih banyak sidang yang bersifat tertutup, mengurangi keterbukaan informasi yang seharusnya menjadi prioritas.
Ketiga, kekurangan sarana untuk menilai kinerja anggota legislatif menjadi hambatan utama. Meskipun mereka menerima gaji tertinggi di Indonesia, tidak ada mekanisme pengukuran kinerja yang jelas, dan mereka tidak berkewajiban memberikan pertanggungjawaban pada akhir masa kerja. Perusahaan mana pun menuntut pertanggungjawaban atas penggunaan dana, sedangkan anggota legislatif menggunakan uang negara tanpa harus mempertanggungjawabkannya.
Tidak heran jika banyak masyarakat enggan terlibat dalam proses pemilihan, merasa bahwa memilih anggota legislatif seperti memilih kucing dalam karung. Sudah saatnya melakukan perubahan dalam sistem pemilihan, dengan memberikan kriteria yang lebih ketat untuk calon anggota legislatif. Masyarakat harus menilai sejauh mana mereka mengerti masalah di daerah pemilihannya dan apakah memiliki rekam jejak korupsi.
Keempat, perlunya perbaikan sistem dalam aturan dan regulasi pemilu. Meskipun sulit dilakukan, langkah-langkah ini penting untuk memastikan perubahan yang signifikan. Perlu adanya transparansi dalam program kerja dan pertanggungjawaban anggota legislatif, serta peningkatan literasi masyarakat untuk dapat lebih kritis dalam menilai kinerja mereka.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan pemilu mendatang dapat menjadi lebih bermakna dan efektif dalam menciptakan perwakilan yang berkualitas bagi masyarakat. Perubahan tidak akan terjadi secara instan, tetapi setiap langkah ke arah perbaikan merupakan investasi untuk masa depan demokrasi kita.