Selasa, April 23, 2024

Mafia Tanah: Terancamnya Hak Atas Tanah Masyarakat di Indonesia

Lisa Aprilia Gusreyna
Lisa Aprilia Gusreyna
Mahasiswa Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Akhir-akhir ini, kasus mafia tanah sedang mencuri perhatian publik. Kali ini kasusnya berasal dari salah satu keluarga aktris yakni Nirina Zubir. Terdapat enam aset berupa tanah dan bangunan milik mendiang ibu Nirina Zubir, Cut Indria Marzuki yang dicaplok oleh mafia tanah. Atas kasus ini, keluarga Nirina Zubir mengalami kerugian mencapai Rp. 17 miliar. Status kepemilikan tanah tersebut ternyata sudah beralih nama menjadi Riri Khasmita dan Edrianto (suaminya) yang merupakan asisten rumah tangga (ART) yang telah bekerja dengan ibu Nirina Zubir sejak 2009.

Kejahatan ini bermula pada tahun 2017, ibu Nirina Zubir merasa surat-surat tanahnya hilang dan menyuruh Riri untuk mengurusnya. Alih-alih diurus, ternyata Riri mencederai kepercayaan tersebut. Ia bekerjasama dengan beberapa pihak notaris untuk mengurus dan mengalihnamakan akta menjadi nama dirinya. Dari keenam aset, dua sertipikat tanah telah dijual kepada pihak ketiga. Sedangkan empat aset bangunan lainnya telah digadaikan ke bank. Uang yang dihasilkan dari kejatan ini digunakan oleh Riri dan suaminya untuk mengelola bisnis frozen chicken yang sudah berjalan beberapa tahun dan telah memiliki beberapa cabang.

Kasus ini perlahan terungkap setelah ibu Nirina Zubir meninggal dunia pada November 2019 lau. Nirina Zubir mulai mencium kejanggalan atas aset-aset yang ditinggalkan ibunya yang diamanahkan pada ARTnya. Akhirnya, secara mandiri Nirina Zubir mengecek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat dan yang ia temukan adalah aset-aset milik ibunya sudah dibalik nama atas nama Riri dan suaminya. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 378, 372, 263 KUHP tentang Penipuan dan Pemalsuan Dokumen.

Mafia tanah adalah dua orang bahkan lebih yang melakukan kejahatan sistematis, yang bertujuan untuk merebut hak atas tanah orang lain. Sindikat mafia tanah bukan menjadi hal yang baru di Indonesia. Sebelum kasus di atas, Kementerian ATR/ BPN telah menerima dan menyelesaikan banyak kasus yang berkaitan dengan mafia tanah.

Menurut Satgas Anti Mafia Tanah, modus operandi dari mafia tanah diantaranya pemalsuan dokumen (66,7%); kejahatan penggelapan (19,1%); pendudukan ilegal tanpa hak (11%); jual beli tanah sengketa (3,2%). Dalam melancarkan aksinya, mafia tanah selalu melibatkan orang-orang yang dapat meyakinkan pihak ketiga. Yang mengagetkan adalah, para mafia sering kali mengajak oknum dari BPN, pengadilan, stakeholder, dan notaris/PPAT. Dengan melupakan sumpah jabatannya, para pihak tersebut menjadi tamak dan tidak lagi mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat.

Terlibatnya para oknum dalam kejahatan sistematis ini telah mencoreng citra instansi ataupun organisasi profesi yang bersangkutan. Apa upaya represif yang dapat dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku dan bagaimana cara untuk membasmi para oknum yang masih ada dalam tubuh instansi/ lembaga pemerintahan terkait?

Jika menilik dari hukum yang berlaku di Indonesia, sejatinya pengaturan terkait kejahatan di bidang pertanahan ini dapat dikatakan cukup represif dan berat. Dari sisi pelaku kejahatan atau mafia tanah sampai orang-orang yang membantu menjalankan kejahatan itu, semuanya tidak akan luput dari hukuman. Bahkan untuk para pejabat yang kemudian terbukti turut melakukan atau melakukan kejahatan di bidang pertanahan ini dapat dikenakan sanksi berlipat akibat profesi/jabatan yang diembannya.

Namun walaupun upaya represif memang tak terlalu mengandung banyak kelemahan, setidaknya untuk dapat mengurangi kejahatan-kejahatan di bidang pertanahan ini, pemerintah Indonesia melalui lembaga yang berwenang dapat memperketat upaya preventif untuk dapat menstimulasikan penegakan hukum pertanahan. Hal ini muncul dari kondisi empiris yang dimana proses pengurusan surat-surat terkait kepemilikian tanah seperti pengurusan akta balik nama, hanya dilakukan secara formil oleh pihak-pihak di dalam tubuh pemerintahan dalam hal ini BPN.

Dalam menjalankan kewenangannya seharusnya BPN sebagai garda terdepan pengurusan pertanahan di Indonesia harus turut melakukan kewenangan materilnya untuk memastikan keaslian atau keabsahan yang diserahkan oleh seseorang terkait syarat-syarat pengurusan surat tanah yang dimohonkannya. Karena biasanya bukti keabsahan atau keaslian syarat-syarat dalam pengurusan surat-surat tanah ini hanya mengacu pada adanya notaris/PPAT yang terlibat. Sayangnya, melihat lagi dari kasus artis Nirina Zubir, pejabat notaris itu sendiri yang akhirnya terlibat dalam kejahatan di bidang pertanahan ini.

Untuk itu, walaupun terkesan kurang efektif, tidak ada salahnya jika dilakukan double checking oleh pejebat pemerintah terkait keabsahan dan keaslian syarat-syarat yang telah diajukan oleh seseorang unutk dimohonkan pembuatan surat/aktanya. Hal ini demi mengurangi adanya kasus-kasus kejahatan atau sengketa terkait dengan tanah dan memberantas oknum yang mencoba mengambil kesempatan melakukan kejahatan ini.

Posisi korban jelas sangat dirugikan. Perlindungan seperti apa yang dapat diberikan bagi para korban yang hak milik atas tanahnya telah disalahgunakan oleh sindikat mafia tanah?

Membahas mengenai perlindungan terhadap hak korban, maka satu hal penting yang harus didapat oleh korban adalah pengembalian aset kedalam bentuk semula, bukan berupa ganti kerugian. Namun jika memang tidak memungkinkan untuk itu, maka perlu ada jaminan agar nilai aset dapat dikembalikan kepada korban semaksimal mungkin. Selain itu pihak ketiga seperti pembeli tanah tersebut harus juga mendapat perlindungan akibat perjanjian jual beli yang tidak sah.

Selain perlindungan terhadap korban, perlu juga optimalisai perlindungan hak atas tanah milik individu untuk mencegah adanya kasus semacam yang tidak tercium dalam jangka waktu yang cukup lama. Pemerintah dapat memulai dengan sosialisasi penggunaan aplikasi sentuh tanahku yang mana dapat membantu masyarakat untuk menemukan lokasi tanahnya dengan cepat sehingga akan mempermudah dan memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan, baik dalam proses penilaian, penyitaan ataupun pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan lokasi tanah.

Masih banyak masyarakat merasa aman dengan kepemilikan SHM (Sertifikat Hak Milik) secara konvensional dan belum merasa bersahabat dengan digitalisasi SHM. Oleh karenanya pemerintah harus lebih gencar untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan perlindungan SHM miliknya secara rutin dg berbasis digital.

Sumber

1. JEBADU, Alexander. “Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah Di Manggarai Barat Dengan Contoh Kasus Mafia Tanah Rangko.” Flores Merdeka (2020).

2. Pratiwi, Putri Fransiska Purnama. “UPAYA PEMBERANTASAN MAFIA TANAH DI KOTA PALANGKA RAYA.” Literasi Hukum 5.2 (2021): 23-29.

3. Chairunnazah, Chairunnazah. Perlindungan Hukum Pemilik Tanah Atas Penyalahgunaan Wewenang Oleh Mafia Tanah di Kota Banjarbaru (Studi Kasus No: 21/G/2014/PTUN. BJM). Diss. Universitas Islam Kalimantan MAB, 2021.

4. Tehupeiory, Aartje. “Bongkar Mafia Tanah, Pakar Hukum Agraria Mendorong Pemerintah Lebih Serius Benahi Persoalan Tanah di Indonesia.” Inakoran. com (2020).

5. Silviana, Ana. “Urgensi Sertipikat Tanah Elektronik Dalam Sistem Hukum Pendaftaran Tanah di Indonesia.” Administrative Law and Governance Journal 4.1 (2021): 51-68.

Lisa Aprilia Gusreyna
Lisa Aprilia Gusreyna
Mahasiswa Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.